Tribunners / Citizen Journalism
Pilpres 2019
Jokowi, Prabowo dan Kuda Tunggangan
Jokowi menaiki kuda putih bernama Salero, Prabowo menaiki kuda cokelat bernama Principe.
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Diplomasi kuda! Itulah yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ketika keduanya bertemu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Senin (31/10/2016).
Jokowi menaiki kuda putih bernama Salero, Prabowo menaiki kuda cokelat bernama Principe.
Akankah Salero dan/atau Principe menjelma kuda Troya yang menyusup ke benteng pertahanan lawan untuk menghancurkan musuh masing-masing dari dalam, sebagaimana pasukan Yunani menyusup ke kota Troya (kini Turki), seperti tersurat dalam puisi epos “Aeneid” karya penyair Romawi, Virgil (abad pertama SM), dan buku “Odyssey” karya Homer (725 SM)?
Déjà vu! Kini, petahana calon presiden Jokowi akan kembali bertarung dengan capres Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2019 setelah sebelumnya keduanya berlaga di Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi.
Publik kemudian memaknai diplomasi kuda itu bukan secara harfiah saja, melainkan juga secara simbolik.
Baca: Hasil Surveinya Prabowo-Sandi Menang, Puskaptis Bantah Dibayar
Keduanya diasumsikan menunggangi satu sama lain. Jokowi menunggangi Prabowo dengan isu khilafah, Prabowo menunggangi Jokowi dengan isu Partai Komunis Indonesia (PKI), asing dan Aseng.
Selain menunggangi, keduanya juga ditunggangi. Jokowi diasumsikan ditunggangi komunisme dan kepentingan asing, serta Aseng sehingga Tiongkok minded, sementara Prabowo ditunggangi kepentingan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ide negara khilafah.
Dalam kampanyenya, masing-masing capres kemudian sibuk meng-counter isu-isu miring yang menyerang mereka daripada "menjual" visi, misi dan program kerja masing-masing.
Jokowi yang berpasangan dengan KH Maruf Amin ini berkali-kali menegaskan PKI sudah dibubarkan sejak 12 Maret 1966, atau ketika dirinya baru berusia empat tahun, sehingga tidak masuk akal bila PKI kini ditakutkan, dan tidak masuk akal pula bila dirinya dituding sebagai kader PKI.
Jokowi juga menegaskan dirinya bukan antek-antek asing dan Aseng.
Prabowo pun berkali-kali menegaskan dirinya dilahirkan dari rahim seorang ibu yang beragama Nasrani, sehingga tidak mungkin akan mendirikan negara khilafah.
Namun, dalam empat hal ini keduanya mencapai titik temu, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masing-masing capres mengklaim sebagai yang paling Pancasilais.
Mengapa komunisme lebih mudah 'menunggangi' Jokowi daripada Prabowo? Partai politik pengusung utama Jokowi, baik di Pilkada DKI Jakarta 2012, Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019 adalah PDI Perjuangan, dan di organ tubuh PDIP banyak bercokol mereka yang diasumsikan sebagai keturunan kader PKI, seperti Ribka Tjiptaning Ploretariati yang menulis buku, “Aku Bangga Jadi Anak PKI”.
Di pihak lain, ayah dari Prabowo, yakni Soemitro Djojohadikusumo adalah musuh politik Bung Karno identik dengan PDIP, di mana Soemitro pernah melakukan 'pemberontakan' terhadap Presiden Soekarno bersama PRRI/Permesta.
Begitu Bung Karno tumbang pada 1966, Soeharto yang menggantikannya kemudian memanggil pulang Soemitro dari pelariannya di luar negeri dan kemudian diangkat menjadi arsitek ekonomi rezim Orde Baru.
Selain itu, Prabowo berlatar belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan jabatan terakhir Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad), dan TNI identik sebagai musuh PKI, karena TNI-lah organ utama yang menumpas pemberontakan PKI.
Mengapa HTI lebih mudah menunggangi Prabowo daripada Jokowi? Padahal, Prabowo selalu mengklaim Pancasilais dan patriotis, sesuatu yang bertentangan dengan paham khilafah.
Pertama, untuk menunggangi Jokowi, jelas HTI akan lebih kesulitan, karena Jokowi-lah Presiden yang membubarkan HTI melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan juga Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI.
Kedua, terjadi simbiose mutualisme antara Prabowo dan HTI. Prabowo butuh suara HTI dalam kontestasi pilpres, sementara HTI butuh topangan Prabowo karena bila Prabowo menang maka HTI bisa dihidupkan kembali.
HTI kini dalam kondisi mati suri bahkan zombie, sehingga butuh Prabowo untuk menghidupkannya kembali bila kelak menjadi Presiden. Sebaliknya bila Prabowo kalah, maka HTI akan menjadi mumi untuk minimal lima tahun ke depan.
Meski berkali-kali mengelak dikaitkan dengan HTI, termasuk dalam kampanyenya di Manado, Minggu (31/3/2019), namun dalam kampanye Prabowo itu berkibar Al Liwa, bendera yang diidentikkan dengan HTI.
Ustaz Bachtiar Nashir kemudian mengulangi klaimnya itu dalam kampanye Prabowo-Sandiaga Uno di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (7/4), dengan menyebut mereka yang menuduh Prabowo hendak mendirikan khilafah adalah “tolol”.
Mungkin saja Prabowo memanfaatkan HTI hanya untuk kepentingan pilpres, karena bila mengacu pada latar belakangnya yang TNI dengan Sapta Marga-nya, serta statemen-statemennya yang Pancasilais dan patriotis, nyaris tidak mungkin Prabowo akan membiarkan berdirinya negara khilafah. HTI hanya dipakai Prabowo sebagai kuda tunggangan sesaat.
Lalu, apa kuda tunggangan Jokowi? Antara lain mereka yang menolak ide negara khilafah.
Mereka itulah silent majority (mayoritas diam)? Apakah mereka para keturunan dan simpatisan PKI?
Bisa jadi, tapi tidak seluruhnya. Faktanya, para penganut Islam moderat banyak yang mendukung Jokowi.
Apakah bila Jokowi menang lalu PKI akan bangkit dari kuburnya? Belum tentu, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Sebab, PKI sudah dibubarkan melalui Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966, dan kini tak ada lagi lembaga negara yang berwenang mencabut Ketetapan MPRS, termasuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sendiri.
Kalau memang mau menghidupkan PKI, bukankah peluang Jokowi terbuka sejak terpilih menjadi Presiden pada 2014? Mengapa harus menunggu terpilih kembali?
Jokowi pro-asing? Faktanya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah “menasionalisasi” Freeport, Blok Mahakam dan Blok Rokan yang selama berpuluh tahun dikuasai asing. Utang luar negeri Indonesia yang nyaris mencapai Rp 4.500 triliun, menurut sejumlah pakar independen, termasuk Rhenald Khasali, juga masih dalam batas aman.
Jokowi pro-Aseng? Faktanya, Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok di Indonesia “hanya” 32 ribu orang saja.
Alhasil, bila ada yang mengatakan Pilpres 2019 yang akan digelar pada 17 April mendatang adalah pertarungan PKI, yang diasosiasikan dengan Jokowi, melawan khilafah yang diasosiasikan dengan Prabowo, tidaklah sepenuhnya benar.
Sebab, semua capres butuh kuda tunggangan untuk mendaki tangga istana. Mereka tetap berkomitmen menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Bedanya, bila Jokowi sudah memberikan bukti, sedangkan Prabowo masih perlu pembuktian.
Karyudi Sutajah Putra: Analis politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.