Tribunners / Citizen Journalism
Pemilu 2019 dalam Kondisi “Darurat”
High cost politics (politik berbiaya tinggi) dalam pemilu menjadi pemicu tingginya angka korupsi di legislatif dan eksekutif.
Bupati Boyolali, Seno Samodro, saat memimpin demonstrasi “tampang Boyolali” juga diduga melalukan ujaran kebencian terhadap Prabowo, sehingga ia pun dilaporkan ke polisi. Ironis, memang. Dugaan ujaran kebencian dibalas dengan dugaan ujaran kebencian pula.
Pileg 2019 juga “darurat” caleg. Suatu parpol membajak caleg parpol lainnya. Ini membuktikan bahwa parpol gagal melakukan kaderisasi, sehingga harus membajak caleg parpol lain.
Tidak itu saja, dari pemilu ke pemilu selalu terjadi “darurat” caleg berkualitas. Tanpa memperhatikan kualitas dan integritas, parpol-parpol lebih mempriorotaskan caleg-caleg yang populer seperti artis, dan yang memiliki modal seperti pengusaha. Akibatnya, produktivitas legislatif rendah, terutama dalam penyusunan undang-undang.
Di DPR RI, rata-rata pencapaian pembuatan undang-undang sekitar 30% dari yang ditargetkan. Tingkat kehadiran anggota DPR RI juga rendah.
Pilkada pun demikian. Kebanyakan calon yang diajukan parpol adalah mereka yang punya sumber daya modal, kalau tidak petahana ya pengusaha. Itulah konsekuensi bahkan keniscayaan dari pilkada langsung yang berjalan sejak 2004, yakni high cost politics.
High cost politics, sebagaimana diakui KPK, menjadi salah satu pemicu tingginya angka korupsi di ranah politik, baik eksekutif maupun legislatif. Begitu terpilih, yang pertama terbersit dalam benak mereka adalah bagaimana bisa balik modal dan bahkan dapat untung buat modal pencalonan diperiode berikutnya.
Segala cara pun dihalalkan, dengan kewenangan yang mereka miliki, sebagaimana adagium Lord Acton (1834-1902), “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak akan mengorupsi secara mutlak pula).
Berbagai kedaruratan tersebut menunjukkan absennya logika dan akal sehat dalam politik. Kedaruratan bertambah parah bila ditambah dengan kadaruratan lainnya, yakni darurat nalar bermatematika yang juga bisa mengancam masa depan bangsa, karena absennya logika dan akal sehat dalam kehidupan.
Data Indonesia Family Life Survey (IFLS) pada tahun 2000, 2007 dan 2014, yang mewakili 83% populasi Indonesia, menunjukkan kedaruratan bermatematika. Lebih dari 15% lulusan SD, 75% lulusan SMP, dan 55% lulusan SMA hanya mampu menjawab soal dengan level kelas 2 ke bawah. Hanya sedikit yang bisa memecahkan soal matematika dengan level kelas 4 dan 5.
Melihat kedaruratan Pileg/Pilpres 2019, tingginya angka golput (golongan putih atau mereka yang tak menggunakan hak suaranya) menjadi ancaman nyata di satu sisi; dan di sisi lain para pemimpin yang dihasilkan, baik di eksekutif maupun terutama di legislatif, kualitas dan integritasnya akan jauh dari harapan.
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.