Tribunners / Citizen Journalism
Aksi Pembakaran Bendera, Mengapa Anak-anak Ada di Situ?
Seiring dengan kian hangatnya tahun politik menyongsong 2019, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) tidak antipolitik. Politik, bagi LPAI, dapat
Dirikimkan oleh LPAI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seiring dengan kian hangatnya tahun politik menyongsong 2019, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) tidak antipolitik. Politik, bagi LPAI, dapat dibedakan menjadi dua ragam. Pertama, low politics. Politik yang satu ini tidak jauh-jauh dari persoalan menang kalah, hitam putih. LPAI pilih buang muka.
Baca: Kiai Maruf Lantik TKD dan Pimpinan Rumah KMA Provinsi Kalimantan Tengah
Politik kedua, diistilahkan sebagai high politics, berurusan dengan hajat hidup orang banyak. Titik pandang tidak sebatas pada siapa pemenang dan siapa pecundang. High politics hidup di bahasan-bahasan tentang bagaimana menyejahterakan sebanyak mungkin warga bangsa, teristimewa anak-anak. Kepentingan anak menjadi lantai, langit, sekaligus ufuk kerja LPAI. Terhadap high politics, LPAI tak memalingkan muka.
Betapa pun kasus yang menggedor pintu LPAI bersangkut paut dengan low politics, namun kami tetap berikhtiar menanganinya dengan pijakan high politics.
LPAI menjaga jarak dari polemik tentang bendera dan ormas yang melakukan pembakaran. Sebagai organisasi perlindungan anak, kerisauan LPAI berpusat semata-mata pada adanya perlibatan anak-anak pada aksi pembakaran bendera oleh ormas tersebut.
Pembakaran bendera sebagai sebuah aktivitas simbolik tidak serta-merta dapat dipahami oleh anak-anak sebagaimana pemahaman yang dipunyai orang dewasa.
Dengan kebersahajaan pola pikir kanak-kanak, perilaku membakar bendera sedemikian rupa justru dapat memunculkan kebingungan luar biasa pada anak.
Anak-anak dapat bertanya-tanya ihwal apa yang salah dengan bendera tersebut, mengapa pembakaran bendera diadakan pada momen tertentu, mengapa pembakaran dilakukan oleh pihak tertentu, dan apa tujuan yang ingin dicapai lewat aksi pembakaran tersebut.
Dan karena referensi utama anak-anak untuk memberikan makna terhadap dunianya adalah informasi/pengetahuan yang bersumber dari keluarga, tempat pendidikan, kelompok di mana anak menjadi anggotanya, serta teman-teman sebayanya, maka berpotensi menjadi persoalan yang tidak ringan bagi seluruh pihak tersebut untuk membangun sekaligus mengintegralkan pemahaman utuh pada diri anak mengenai pembakaran tersebut.
Baca: Ingin Makan Malam tapi Takut Gendut? Konsumsi 6 Makanan Ini Aman Tanpa Naikkan Berat Badan
Di dalam ruang pemahaman yang vakum pada anak-anak itulah yang LPAI khawatirkan akan terisi interpretasi-interpretasi yang tidak positif bahkan potensial berisiko buruk bagi proses tumbuh kembang anak.
Ambil misal, LPAI waswas, aksi pembakaran sedemikian rupa akan lebih terasosiasi dengan low politics ketimbang high politics.
Aksi pembakaran sulit ditafsirkan sebagai kegiatan penyejahteraan warga bangsa. Aksi pembakaran justru lebih rentan dimaknakan sebagai gelagat permusuhan satu pihak ke pihak lain (destruktif).
Manakala tindak-tanduk yang terkesan destruktif itu menyertakan anak-anak dalam perlibatan aktif, sadar tidak sadar berlangsunglah proses transmisi unsur destruktif itu dengan begitu derasnya ke anak-anak.
Padahal, terhadap anak-anak, adalah mutlak bagi semua pihak untuk memastikan terpenuhinya hak mereka atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Atas dasar itu, LPAI mengingatkan semua warga bangsa atau individu maupun kelompok, terlebih di tahun politik ini, untuk terus-menerus menempatkan anak-anak sebagai subjek (bukan objek) pada konteks high politics (bukan low politics).
Segala bentuk tindakan atau perlakuan yang memanfaatkan kebersahajaan pola pikir anak harus dijauhkan sejauh-jauhnya.
Perlibatan anak hanya bisa dibenarkan, bahkan didukung, sepanjang perlibatan tersebut sebangun dengan harkat martabat mereka serta mendukung terpenuhinya hak anak sebagaimana tersebut di atas.
LPAI menyemangati pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga terkait untuk melakukan penelitian cermat guna memastikan anak-anak yang terlihat pada aksi pembakaran bendera dimaksud terbebas dari seluruh bentuk perlakuan yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Demikian pula, apabila hasil penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak dimaksud telah menjadi objek penyalah-gunaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dan/atau telah menerima perlakuan salah dan/atau lainnya, maka kepada anak-anak tersebut harus selekasnya diberikan perlindungan khusus.
Ini merupakan mandat berdasarkan UU Perlindungan Anak.
Seiring dengan itu, apabila teridentifikasi bahwa anak-anak telah mengalami perlakuan sebagaimana tertulis pada poin ke-9 di atas, maka otoritas terkait patut meminta pertanggungjawaban sosial dan hukum dari orang-orang dewasa yang menjadi pelakunya.
Guna memaksimalkan terlaksananya poin ke-9 di atas, LPAI menyemangati Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk memfungsikan diri sesuai pasal 76 (a) UU Perlindungan Anak, yakni, Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Demikian pula, ketika situasi menuntut adanya langkah meminta pertanggung-jawaban dari orang-orang dewasa, untuk memastikan berjalannya langkah tersebut, pasal 76 (g) UU Perlindungan Anak perlu diaktualisasikan tanpa keragu-raguan.
Yakni, Komisi Perlindungan Anak Indonesia memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap UU dimaksud.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.