Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

KPU Vs Bawaslu: Koruptor Bersorak

Pasal 76 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa dalam hal PKPU diduga bertentangan dengan UU, maka pengujiannya dilakukan oleh MA.

Editor: Hasanudin Aco
Ist for ribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Ironis, memang. Bagaimana bisa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang sama-sama lembaga penyelenggara pemilu “bertikai” dalam soal yang sama: koruptor menjadi calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2019? Koruptor pun bersorak-sorai.

“Pertikaian” KPU versus Bawaslu ini mengingatkan kita akan “pertikaian” antar-lembaga negara yang berada di ranah yang sama, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI versus Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI (legislatif); Mahkamah Agung (MA) versus Komisi Yudisial (KY), dan MA versus Mahkamah Konstitusi (MK) (yudikatif).

KPU berpegang pada Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual anak menjadi caleg. KPU mengklaim PKPU No 20/2018 ini merupakan turunan dan implementasi dari Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sebaliknya, Bawaslu berpegang pada UU No 7/2017 yang tidak melarang mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual anak menjadi caleg asal sudah mendeklarasikan diri soal statusnya itu, sebagaimana dimaksud Pasal 240 ayat (1) huruf g.

Maka, sejumlah caleg mantan koruptor yang sudah dicoret KPU pun diloloskan oleh Bawaslu, termasuk M Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang juga Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta.

Taufik, mantan Ketua KPU DKI, pernah divonis selama 18 bulan penjara pada 27 April 2004 dalam kasus korupsi. Ada 5 caleg lainnya yang diloloskan Bawaslu. Mereka berasal dari Rembang (Jawa Tengah), Pare-Pare dan Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Aceh dan Sulawesi Utara.

Bawaslu berpendapat, PKPU 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan UU No 7/2017, juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Namun, KPU masih melakukan penundaan atas putusan Bawaslu tersebut, sampai judicial review PKPU 20/2018 diputuskan MA. Judicial review diajukan enam pemohon, yakni M Taufik, Waode Nurhayati, Djekmon Ambisi, Jumanto, Mansyur Abu Nawas, dan Abdul Ghani.

Tapi MA menghentikan sementara proses uji materi PKPU 20/2018 lantaran ada judicial review UU Pemilu terhadap UUD 1945 di MK terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan periode masa jabatan presiden-wapres.

Sejatinya, Bawaslu bisa melakukan koreksi atas keputusan Bawaslu daerah, sebagaimana dimaksud Pasal 95 huruf (h) UU Pemilu, bukannya justru mengamini keputusan mereka. Pasal 95 huruf h menyebutkan, “Bawaslu berwenang melakukan koreksi terhadap putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota jika putusan dan rekomendasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

Bawaslu juga tak sepatutnya mengabaikan PKPU yang malarang mantan koruptor menjadi caleg. Pasalnya, PKPU No 14/2018 tentang Pencalonan DPD, dan PKPU No 20/2018 masih berlaku dan sah, karena sudah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Pasal 76 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa dalam hal PKPU diduga bertentangan dengan UU, maka pengujiannya dilakukan oleh MA.

Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bawaslu tak semestinya menarik kesimpulan sendiri karena koreksi atas PKPU bukan ranah dan wewenang Bawaslu, melainkan wewenang MA.

Langkah KPU melakukan penundaan atas keputusan Bawaslu itu sudah tepat. Apalagi bila dilaksanakan, keputusan Bawaslu tersebut juga menimbulkan ketidakadilan bagi mantan koruptor lainnya yang sudah terlanjur tidak dicalonkan partainya karena terhalang PKPU No 20/2018. Kita tunggu putusan judicial review MA.

Keputusan Bawaslu tersebut di samping kontrapruduktif terhadap common sense (perasaan umum) untuk menciptakan parlemen yang bersih dan berkualitas, juga melukai rasa keadilan publik, mengingat korupsi sudah menjadi common enemy (musuh bersama) bangsa ini.

Betapa tidak? Korupsi telah menggerogoti seluruh sendi bangsa ini, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang merupakan trias politika. Di ranah eksekutif, data Kementerian Dalam Negeri, sedikitnya 313 kepala daerah terjerat korupsi.

Sejak berdiri tahun 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini telah memproses 98 kepala daerah dalam 109 perkara korupsi dan money laundering (pencucian uang). Ini belum termasuk perkara yang ditangani kepolisian dan kejaksaan.

Pun belum termasuk sejumlah menteri yang terlibat korupsi seperti Said Agil Husein Al Munawar, Jero Wacik, Andi Mallarangeng, Suryadharma Ali, Siti Fadilah Supari, dan terbaru Idrus Marham.

Di ranah legislatif, dalam 10 tahun terakhir KPK mencatat sedikitnya 135 anggota DPR RI terlibat korupsi. Sedangkan anggota DPRD yang terlibat korupsi sedikitnya 3.650 orang. Top pimpinan legislatif juga terlibat korupsi, yakni mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dan mantan Ketua DPD RI Irman Gusman.

Di ranah yudikatif, sepanjang 2005-2016 ada 41 penegak hukum terlibat korupsi, meliputi hakim, panitera dan pengacara. Tahun 2017, KPK melakukan empat kali operasi tangkap tangan terhadap aparat penegak hukum. Sejak 2011, KPK telah menangkap 20 hakim nakal, terbaru adalah Merry Purba, hakim Pengadilan Negeri Medan yang ditangkap KPK, Selasa (28/8/2018).

Itu belum termasuk hakim nakal yang terkena sanksi MA. Sepanjang 2107, MA menjatuhkan sanksi kepada 38 hakim nakal. Sedangkan tahun ini, sejak Januari hingga Juni, MA telah menjatuhkan sanksi kepada 81 pegawai pengadilan mulai dari hakim, pegawai nonhakim, hingga pegawai peradilan lainnya seperti kepaniteraan, kesekretariatan, hingga staf. Top pimpinan yudikatif juga terlibat korupsi, yakni mantan Ketua MK Akil Mochtar.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) perlu turun tangan untuk “mendamaikan” KPU dan Bawaslu. Tapi apa pun hasilnya, bila eks-koruptor diperbolehkan menjadi caleg, jangan berharap lembaga legislatif akan bersih. Kalau legislatif tak bersih, bagaimana bisa mengawasi eksekutif? Koruptor pun akan bersorak-sorai.

Keputusan akhir ada di tangan rakyat, apakah mau memilih atau tidak memilih caleg eks-koruptor di daerah pemilihan caleg bersangkutan. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved