Tribunners / Citizen Journalism
Ayooo Semarakan AG 2018
Ini kali kedua pula negeri kita didatangi oleh puluhan negara Asia untuk berpesta di arena olahraga. Harapan kita, tentu saja kita berharap
Oleh: M. Nigara
INI kali kedua kita menjadi tuan rumah Asian Games. Ini kali kedua pula negeri kita didatangi oleh puluhan negara Asia untuk berpesta di arena olahraga. Harapan kita, tentu saja kita berharap ini juga akan jadi kali kedua meraih sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi.
Bung Karno tahun 1962, bukan hanya sukses sebagai penyelenggara serta meraih prestasi (atlet kita menempati posisi runner up di bawah Jepang. M. Sarengat dan kawan-kawan mersih 21 emas, 26 perak, dan 30 perungu), tapi secara politik BK justru meraih jauh dari semua itu.
Diakui atau tidak, BK adalah the rising star from thr east . John F Kennedy, Presiden Amerika, perdana menteri RRT (saat itu Cina disebut Tiongkok) Chou Enlai, dan Nikita Khrushchev perdana menteri Uni Soviet, sedang 'memperebutkan' BK untuk melebarkan pengaruhnya.
Dan, meski (ini juga kehebatan diplomasi BK) meski Soviet dan Khruschev sudah meminjamkan 12,5 juta dolar untuk membangun komplek keolahragaan di atas empat kampung: Bendoengan, Bendoeangan Oedik, Grogol Selatan, dan kampun Senajan begitu megahnya, BK masih memperlihatkan sikap bebasnya.
Sebagai event besar pertama di tanah air, seluruh pertandingan dari semua cabang tidak sekalipun sepi. Rakyat berbondong-bondong menyaksikannya. Antusiasme sangat luar biasa.
Ada dua catatan saya tentang hal ini: pertama, event AG adalah hiburan yang luar biasa. Masyarakat saat itu sangat membutuhkan hiburan dan di negeri ini, hiburan yang bersifat masih dan terbuka nyaris tak ada. Di era itu, jamu atau anggur kolesom yang dijajakan ke kampung-kampung menggunakan mobil khusus dan memeragakan saudara-saudara kita kaum dwarfisme saja selalu dipadati.
Kedua, kecuali sepakbola, seluruh event gratis. Tidak hsnya itu, sebagian penonton pun memperoleh souvenir AG 1962.
Jadi, jika catatan sejarah AG ke-4, 1962 menorehkan kata sukses, tak seorang pun yang bisa menyanggahnya. Saya sendiri yang kala itu masih berusia lima tahun, sangat bersuka cita ketika diajak ayah saya ke Senajan. Padahal harus berjalan kaki menyusuri jl. Jendral Sudirman dari daerah Guntur sejauh sekitar 7-8 kilo meter. Dan, sepanjang jalan, begitu banyak orang dengan tujuan yang sama.
Berbeda
Lalu, bagaimana AG ke-18, Agustus 2018 ini?
Harapan kita, saya dan anda sekalian tentu pesta olahraga ini akan sama suksesnya dengan AG ke-4 tahun 1962 itu. Meski demikian, pemerintah tentu harus memiliki kiat yang jitu agar pesta tak terasa hambar.
Pertama, pemerintah hendaknya menyiasati euforia Piala Dunia. Kita tahu, pesta sepakbola dunia itu mampu mengalahkan segala aktivitas di bumi. "Sekarang saya baru percaya bahwa sepakbola mampu menyihir dunia. Piala dunia telah menghentikan segala aktivitas dunia," ujar Bill Clinton, Presiden Amerika saat penutupan Piala Dunia 1994 di Roseball Stadion, Pasadena, California.
Ya, meski saat AG digelar, piala dunia 2018 sudah usai, tapi gemanya masih ada hingga sebulan kedepan. Artinya, orang masih tetus membincangkannya. Jika tidak diantisipasi, maka orang akan malas datang ke AG.
Solusinya, selain laga-laga resmi, panitia harus juga mampu membuat daya pikat lain. Kemudahan ke dan dari tempat laga, mutlak harus diberikan.
Kedua, tahun 2018-19 adalah tahun politik. Tahun di mana semua orang ingin terlibat dan pasti melibatkan diru di dalamnya. Tahun di mana perbincangan soal siapa yang akan maju dan jadi presiden menjadi begitu dahsyat beritanya. Bahkan tidur pun, orang akan berpikir tentang itu.
Apalagi 10 agustus adalah hari terakhir pendaftaran bakal calon. Artinya, berita di luar pilitik akan sulit menembus benak kita, kecuali yang sungguh-sungguh luar biasa.
Jadi, jika pemerintah tidak memiliki kiat yang jitu, maka AG bukan tidak mungkin akan menjadi sangat hambar.
Terakhir, diakui atau tidak, kehidupan sudah semakin sulit. Daya beli di masyarakat sudah sangat menurun. Artinya, masyarakat siapa pun dia, saat ini sudah akan membuat skala prioritas perbelanjaan. Mayoritas masyarakat saat ini pasti mengutamakan perbelanjaan pada kebutuhan pokok.
Untuk itu, meski harus diakui dalam 20 tahun terakhir ini AG seperti juga Olimpiade dan Sea Games, sudah menomersatukan nilai bisnisnya, pemerintah hendaknya mampu menyiasati hal ini. Contoh konkretnya, tiket pertandingan yang mahal, suka atau tidak akan menjadi kendala.
Benar pemerintah tidak perlu dan tidak mungkin mengikuti jejak BK dengan menggratiskan, tapi membiarkan tiket mahal juga bukan solusi.
Jadi, kondisi AG 1962 dengan AG 2018 , perbedaannya seperti bumi dan langit. Dulu orang datang karena: patriotisme masih tinggi, tidak ada hiburan yang masif, gratis, dan mudah ke tempat tujuan.
Saat ini, hendak tidur pun orang modern bisa menjangkau hiburan. Patriotisme kita tergerus karena negara saat ini tidak memiliki batas yang jelas, sulitnya tingkat kehidupan ada di depan mata.
Meski begitu, jangan menyerah dulu. Ayoo pemerintah bahu-membahu untuk menggiring orang ke event. Libur sekolah adalah langkah positif, tapi itu masih kurang. Memberi rangsangan lain, tampaknya juga akan menambah solusi.
Namun begitu, jangan sekali-sekali memanfaatkan AG untuk kepentingab politik. Jangan ada pencitraan untuk kepentingan seseorangan. Rakyat sudah sangat pandai melihat mana citra mana yang bukan citra.
Semoga AG 2018 bisa sukses seperti AG 1962.
*M. Nigara, Wartawan Olahraga Senior

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.