Tribunners / Citizen Journalism
Pemerintah Perhatikan Petani Saat Terjadi Gejolak Harga Karet
Masa kejayaan petani karet bisa dikatakan di tahun 2011, bagaimana tidak kondisi dimana harga karet berada di puncak tertinggi.

Ditulis oleh: Alias Zulkipli Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masa kejayaan petani karet bisa dikatakan di tahun 2011, bagaimana tidak kondisi dimana harga karet berada di puncak tertinggi.
Perkebunan karet mendadak diminita petani, Lahan petani yang tadinya kosong di sulap petani menjadi lahan perkebunan karet. Komoditi sebelumnya bukan tanaman karet mendadak diganti petani dengan tanaman karet.
Petani yang tadinya hanya menjadikan sumber pendapatan sampingan menjadikan sumber pendapatan utama. Ini karena petani menaruh harapan yang sangat besar terhadap komoditi yang satu ini.
Baca: Istri Nelayan Muara Angke Kini Diajari Jualan Abon Lewat Online
Namun, Perubahan harga karet yang cepat dan signifikan menjadikan petani hanya bisa gigit jari, dimana petani yang tadinya merasakan angin segar dan berharap banyak pada komoditi ini mendadak kecewa dan frustasi.
Bagaimana tidak yang tadinya harga mencapai Rp 24.000 – Rp 30.000 per kilogram saat ini hanya Rp 9.000 – 11.000 perkilogram atau turun hampir 1/3-nya untuk karet jenis bulanan.
Banyak pendapat yang menyatakan kondisi ini akibat adanya gejolak harga dunia dan permintaan karet dunia, diantaranya adanya pergeseran atau perubahan konsumen terhadap karet alam dengan karet sintetik dan rendahnya harga karet sintetik dibandingkan dengan harga karet alam, rantai pasar yang panjang, dan iklim investasi pada sektor pengolahan yang belum memadai dan terakhir isu yang sudah lama yaitu tentang rendahnya harga karet dipengaruhi oleh produksi karet Indonesia yang kalah kualitasnya bersaing dengan Negara-negara produksi karet alam lainnya seperti Thailand, Malaysia, Vietnam.
Melihat dari kualitas, dapatkan dikatakan benar karena komposisi perkebunan karet Indonesia merupakan perkebunan karet dengan karakteristik hampir 81 persen dari total perkebunan karet yang dimiliki di Indonesia merupakan perkebunan karet rakyat.
Hal ini juga akan beriringan dengan kualitas produksi yang dihasilkan petani, artinya banyaknya petani atau yang membudidayakan karet akan menjadikan standar karet yang di produksi petani juga berbeda-beda.
Hal ini lah yang seharusnya di selesaikan, ketika memang masalahnya terletak pada standar kualitas produksi karet yang dihasilkan petani kita.
Tingkat harga sesungguhnya akan berbengaruh pada motivasi dan kinerja petani dalam melakukan budidaya usaha perkebunan karet.
Melihat harga 5 tahun terakhir timbul keresahan pada petani, penulis ingat betul ketika harga karet mencapai harga 4,5 USD per kilogram untuk karet SIR 20 menjadikan petani sangat termotivasi dan berlomba-lomba dalam membudiyakan karet.
Tingkat daya beli petani sangat tinggi hal ini dibuktikan pada saat itu setiap kepala keluarga berlomba-lomba untuk membeli peralatan elektronik, kendaraaan bermotor dan pasar-pasar relatif ramai oleh pembeli dan daya beli pada saat itu dirasakan sangat tinggi.
Baca: Strategi Pembangunan Hortikultura 2019
Namun kondisi itu sangat berbalik dari kondisi sekarang petani banyak yang mengeluh dengan harga yang tak kunjung meningkat malah cenderung menurun.
Bagaimana tidak petani membandingkan harga karet dengan harga bahan pokok yaitu beras.
Saat ini harga beras yang mencapai 10,000 per kilogram tidak sebanding dengan harga lump atau karet jenis mingguan yang hanya di hargai sebesar 5000 sampai 6000 Rupiah.
Artinya petani tidak begitu muluk meminta harga yang tinggi ketika melihat kondisi ekonomi saat ini yang saat sulit, petani hanya meminta harga lump mingguan sama dengan harga bahan pokok yaitu beras perkilogramnya.
Kondisi harga karet saat ini bagi petani merupakan konsi yang sangat sulit, iya bagi petani yang mempunyai lahan yang cukup luas, namun bukan kah petani kita karekter lahan yang dimiliki merupakan lahan gurem, bisa dikatakan lahan perkebunan karetnya rata-rata hanya 1 ha bahkan kurang dan kalau dilihat dari produktivitas juga sangat rendah.
Produktifitas karet petani kecil bagaimana tidak, bibit atau benih yang digunakan petani kita sebagian besar masih menggunakan bibit local dan belum terstandarisasi, sehinga perlu adanya edukasi dan sumbangsih dari semua pihak untuk keadaan yang berkaitan dengan produktifitas baik dari akademisi, pemerintah dan pengusaha.
Bagi petani meminta harga kembali di angka Rp 24.000 – Rp 30.000 perkilogram (jenis Karet Bulanan) merupakan sesuatu yang mustahil dengan melihat kondisi lima tahun terakhir ini, namun petani masih mempunyai asa yang besar terutama bagi petani kecil asa itu diletakkan kepada pemangku kebijakan yaitu pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Keinginan petani pada dasarnya sederhana mereka meminta untuk di perhatikan sama ketika pemerintah memperhatikan ketika adanya gejolak harga yang ada dikomoditi sawit.
Seperti yang kita ketahui ketika harga sawit turun, akan dengan cepat pemerintah atau stakeholder bertindak atau merespon, hal ini menimbulkan pertanyaan besar bagi petani termasuk saya apakah komoditi karet tidak sestrategis komoditi sawit, atau komotidi sawit yang banyak dimiliki petani besar atau pengusaha dan penguasa bukan rakyat kecil menjadikan itu demikian?
Semoga persepsi itu salah. Karena bagaimanapun penyerapan lapangan pekerjaan petani atau petani yang mengusahan karet bisa di kategorikan sektor utama di beberapa daerah, salah satunya Sumatera Selatan hampir 46% penduduk sumatera selatan menaruh harapan besar pada komoditi ini.
Sehingga bagaimanapun kehadiran pemerintah akan sangat membantu petani, setidaknya ada perhatian khusus dan merajut kembali benang kusut di sektor perkebunan karet baik dari masalah produktivitas, kualitas dan manajemen budidaya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.