Tribunners / Citizen Journalism
Adu Kuat Kedaulatan Negara Vs Hegemoni Korporasi Dalam Kasus Freeport
Dinamika relasi kuasa antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan PT. Freeport Indonesia (PTFI) setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No
Memiliki dasar hukum yang kuat, PTFI kemudian merasa dirugikan atas disahkannya UU No 4/2009 tentang Minerba, PP Nomor 77 tahun 2014 dan PP Nomor 1 tahun 2017 dan menolak untuk serta merta melaksanakan perintah dari peraturan perundang-undangan tersebut yang isinya banyak bertentangan dengan KK-nya yang masih berlaku.
Menyadari keabsahan KK yang masih berlaku dan kemungkinan dilakukan sengketa dagang internasional melalui arbitrase, pemerintah Indonesia nampaknya tidak mau mengambil resiko.
Berselisih hukum dengan perusahaan multinasional adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan bagi pemerintah. Ada dua kasus yang telah menjadi mimpi buruk bagi pemerintah Indonesia saat berhadapan dengan ancaman dan perselisihan dagang internasional.
Pertama, dikeluarkannya Perpu Nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU No 19 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan Lindung.
Perpu ini menuai kontroversi karena PTFI dan beberapa perusahaan multinasional bidang pertambangan mengajukan keberatan karena Perpu tersebut berisi larangan bagi sipapa pun untuk melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan lindung.
Padahal dalam KK masing-masing perusahaan multinasional tersebut membolehkan aktivitas pertambangan di dalam kawasan hutan dengan memenuhi beberapa syarat.
Mengetahui ancaman beberapa perusahaan untuk menggugat pemerintah di arbitrase internasional, pemerintah atas persetujuan DPR akhirnya menetapkan UU No 19 Tahun 2004 yang kembali membolehkan aktivitas pertambangan di dalam kawasan hutan lindung.
Kedua, kasus perselisihan bisnis antara Pertamina dan Karaha Bodas. Kasus ini bermula saat Kraha Bodas Company (KBC) dan Pertamina menandatangani kesepakatan kerjasama investasi senilai 264 juta dollar tahun 1994.
Karena krisis ekonomi dan atas tekanan IMF, proyek tersebut dihentikan dan KBC pun menuntut di arbitrase internasional di Swiss.
Dalam keputusannya arbitrase memenagkan KBC dan Pertamina diminta membayar ganti rugi 261 juta dollar.
Putusan arbitrase ini diperkuat oleh pengadilan AS pada awal Oktober 2006. Jika Pertamina tidak membayar ganti rugi, maka aset Pertamina yang ada di luar negeri termasuk di Bank of America akan dibekukan.
Meski banyak pihak mendesak Pertamina untuk tidak membayar kompensasi karena proyek ini memiliki indikasi megakorupsi, Pertamina tidak punya pilihan lain.
Arbitrase internasional memiliki kewenangan untuk menyita aset-aset Pertamina yang ada di luar negeri apabila menolak membayar kompensasi sesuai yang diputuskan oleh pengadilan internasional (detikfinance, 2007).
Kedua kasus tersebut di atas menunjukkan bagaimana hegemoni korporasi bekerja.
Mereka memiliki justifikasi hukum yang kuat, sekaligus akses tanpa batas terhadap rezim hukum internasional yang memberikan posisi yang menguntungkan. Korporasi juga terbukti memiliki jejaring yang kuat di lapis elit-elit politik penentu kebijakan di mana mereka beroperasi.
Penetapan Perpu No. 1/2004 menjadi UU No. 19/2004 misalnya berlangsung begitu cepat. Di tengah jadwalnya yang begitu padat, DPR RI dengan sigap bersidang kemudian menetapkan Perpu kontroversil tersebut menjadi UU yang memuluskan kembali kegiatan pertambangan perusahaan multinasional di kawasan hutan lindung.
Piawai Dalam Berunding
Meski telah diberitakan bahwa perundingan antara PTFI dan pemerintah telah menemui kesepakatan atas beberapa isu penting, tidak serta merta masalah antara kedua belah pihak telah selesai.
Pemerintah melalui menteri ESDM (Selasa, 29/8/2017) mengklaim bahwa PTFI telah sepakat dengan perubahan rezim KK ke rezim IUPK dengan masa berlaku pepranjangan operasi maksimum 2 X 10 tahun, artinya tahun 2031 dan 2041.
Menurut Menteri Jonan, IUPK 10 tahun kedua akan diperpanjang apabila review hasil kesepakatan lainnya mencapai target, termasuk pembangunan smelter yang harus selesai dalam 5 tahun yaitu 2022. Menteri ESDM juga menyatakan bahwa PTFI telah sepakat untuk melakukan divestasi saham sampai 51%.
Di pihak lain, CEO Freeport-McMoran Richard Adkerson dalam jumpa persnya menegaskan bahwa kesepakatan merubah KK menjadi IUPK akan memberikan hak-hak operasi jangka panjang bagi PTFI hingga 2041.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.