Tribunners / Citizen Journalism
Pemilu PSSI 2016
Amerika Serikat baru saja menyelesaikan pekerjaan besar politiknya. Negara adilkuasa itu memiliki presiden baru untuk lima tahun kedepan.
Oleh: TB Adhi
Amerika Serikat baru saja menyelesaikan pekerjaan besar politiknya. Negara adilkuasa itu memiliki presiden baru untuk lima tahun kedepan.
Donald Trump menjadi penerus Barack Obama setelah secara mengejutkan mengungguli Hilarry Clinton.
Pilpres AS 2016 ini tepat dilangsungkan sehari sebelum 'pemilihan umum' PSSI yang digelar Kamis besok.
Tepat di perayaan Hari Pahlawan, 10 November, PSSI akan memiliki 'presiden baru' yang secara remi menggantikan La Nyalla Mahmud Mattalitti.
La Nyalla sebenarnya baru terpilih pada Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 18 April 2014 di Surabaya. Jika sesuai aturan masa bakti La Nyalla baru akan berakhir tahun 2018.
Namun, karena dimakzulkan oleh pemerintah, La Nyalla harus merelakan pengabdiannya berakhir lebih cepat. Kongres pada Kamis ini di Hotel Mercure, Ancol, menentukan ketua umum PSSI periode 2016-2020.
Memang tak ada korelasi langsung atau tidak langsung antara Pilpres di AS pada Rabu ini dengan Pilpres PSSI, Kamis besok.
Memperbandingkan kedua pemilu ini menjadi menarik dengan mengacu pada kemungkinan adanya kesamaan efek kejutannya.
Mungkinkah akan ada kejutan pada Pemilu PSSI? Saat ini masih ada sembilan calon ketua umum--yang dalam statuta FIFA disebut sebagai presiden.
Sembilan nama tersebut mengerucut menjadi dua nama, yakni mantan Panglima TNI Moeldoko, dan Pangkostrad Edy Rahmayadi.
Dua nama di atas itulah yang hingga detik-detik terakhir menuju Kongres Pemilihan PSSI 2016 masih bertahan di urutan teratas dalam bursa pemilihan ketum PSSI 2016-2020.
Menariknya, baik kubu pro Moeldoko dan Edy Rahmayadi sama-sama mengklaim didukung oleh mayoritas voters.
Dalam lintasan sejarah dari mayoritas Kongres Pemilihan PSSI bisa dikatakan bahwa saling klaim itu wajar.
Kekecualian mungkin pada KLB PSSI 2014 di Surabaya, di mana La Nyalla menang telak atas beberapa kandidat ketum lainnya.
Namun saling klaim menjelang Kongres Pemilihan 2016 tetap menarik karena melibatkan dua perwira tinggi dari korps baju hijau, walau yang satu sudah purna tugas dan satu lainnya masih aktif. Menarik juga memahami bahwa ternyata tidak ada figur yang 'mengalah'.
Di satu sisi ini membuktikan bahwa keduanya sama-sama memiliki kepedulian dan kecintaan luar biasa pada PSSI dan sepakbola Indonesia pada umumnya.
Di sisi lainnya, kenyataan 'siap perang' itu menjadi antitesis dari pemilihan ketua umum dari cabor lainnya. Dari pengalaman, ketika dua kandidat dari latarbelakang yang sama diajukan sebagai calon pemimpin, yang tingkatannya lebih rendah biasanya mundur teratur.
Budaya olahraga Indonesia memang belum terbiasa dengan situasi seperti yang sekarang ini terjadi di PSSI.
Kendati demikian, jika merunut kebelakang, kultur 'ewuh pakewuh' tersebut sudah coba dihilangkan bahkan melalui pemilihan figur pemimpin tertinggi dari keolahragaan nasional yakni KONI Pusat.
Masih ingat kalau pada pemilihan Ketua Umum KONI Pusat periode 2015-2019 Tono Soeratman yang bintang dua (Mayjen) mengungguli Hendardji yang bintang tiga (Letjen)? Kesediaan Moeldoko yang purnawirawan bintang empat 'bertempur' dengan Edy Rahmayadi yang pati bintang tiga (aktiv) tentu bisa memberi warna baru bagi kehidupan berorganisasi dan budaya perpoilitikan dalam konteks pemilihan ketua umum PSSI.
Kedua jenderal ini pastinya sudah siap menang dan siap juga untuk kalah. Itulah filosofi yang harus dijunjung tinggi dalam sebuah pemilihan.
Berbeda dengan Pemilu AS yang bersifat "The Winner take at all"--sang pemenang meraih segalanya--Pemilu PSSI seyogyanya tidak menganut prinsip seperti itu.
Siapa pun yang merebut kursi presiden PSSI 2016-2020 tentunya diharapkan tetap mampu mengakomodir atau merangkul insan-insan sepakbola terbaik dalam kepengurusan, khususnya untuk posisi-posisi vital di kesektariatan jenderal (sekjen), komite-komite, serta otoritas Liga Indonesia dan badan-badan.
Bersifat paradok dengan mengedepankan paradigma 'bumi hangus' sudah tidak pada tempatnya lagi jika mengingat pengalaman buruk dari kepengurusan periode 2011-2015 yang diketuai oleh Djohar Arifin Husin.
Terpilih dari KLB 11 Juli 2011 di Solo melalui paket dukungan Arifin Panigoro dan George Toisutta (yang kala itu masih aktiv sebagai KSAD), kepengurusan Djohar Arifin Husin pada kenyataannya lebih banyak menuai prahara karena PSSI kemudian terbelah.
Stakeholder PSSI tentunya tidak menginginkan hal itu terulang lagi. Pencinta sepakbola nasional pastinya menginginkan PSSI yang solid, bersatu, berwibawa, bermartabat, dan akhirnya berprestasi. Selamat ber-Kongres Pemilihan.
Selamat kepada Ketua Umum, Waki Ketua Umum dan 12 anggota Exco terpilih. Selamat bertugas memajukan sepakbola Indonesia!
* TB Adhi, Pemerhati Sepakbola Nasional
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.