Tribunners / Citizen Journalism
Kadin: Keputusan Direksi Pelindo II Menaikan Tarif Progresif di Tanjung Priok Ngawur
Kadin sangat menyayangkan pernyataan Pelaksana tugas (Plt) Dirut Pelindo II Dede R Martin yang menegaskan bahwa penerapan tarif progresif atau pinalti
Ditulis oleh : Sekretariat Kadin Indonesia
TRIBUNNERS - Kadin sangat menyayangkan pernyataan Pelaksana tugas (Plt) Dirut Pelindo II Dede R Martin yang menegaskan bahwa penerapan tarif progresif atau pinalti sebesar 900 persen terhadap peti kemas impor mampu menekan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.
Apalagi jika dikaitkan bahwa penerapan tarif progresif itu tidak menyebabkan naiknya beban biaya logistik melalui pelabuhan.
"Beban biaya tarif progresif ini jelas akan dirasakan pengguna jasa," kata Rico Rustombi, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, Senin (14/3/2016).
Bagaimana mungkin tidak menjadi beban, karena perhitungan pengenaan tarif progresif 900 % sudah di berlakukan pada hari ke 2 setelah kapal sandar di pelabuhan, sementara pekerjaan bongkar muat peti kemas dilakukan oleh pihak Pelindo dan memerlukan waktu sekitar 4-5 jam.
Sementara rata-rata waktu kedatangan kapal pada pukul 10-11 malam, lewat jam 12 malam sudah di
kenakan tarif progresif, ujar Rico Rustombi.
Rico menambahkan bahwa keputusan yang tidak rasional, sebagai pembanding di negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand ) bahwa perhitungan dwelling time di hitung sejak selesai bongkar kapal dan bukan sejak sandar kapal.
Keputusan Pelindo II atas kenaikan tarif menunjukkan signal kepanikan perusahaan plat merah ini dalam mengatasi masalah dwelling time.
Kadin sangat memahami semua proses dan cost yang mesti dikeluarkan selama proses bongkar barang di Pelabuhan Tanjung Priok.
"Pernyataan pelaksana tugas itu terkesan mengabaikan beban yang mesti ditanggung para pelaku usaha, di tengah kelesuan ekonomi."
Dan lebih lagi keputusan ini jelas bertentangan dengan Permenhub No. 117/2015 tentang relokasi
barang/peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok menegaskan setiap pemilik barang/kuasanya wajib memindahkan barang yang melewati batas waktu penumpukan selama tiga hari dari lini satu pelabuhan atau terminal dengan biaya ditanggung oleh pemilik barang.
Pelindo II harus memahami tahapan hambatan yang perlu di benahi yaitu di level pre-clearance masih mengkontribusi 2.7 hari.
Custom clearance dan postclearance tidak terlalu signifikan menjadi hambatan namun diyakini masih bisa ditingkatkan.
Jadi seharusnya Keputusan Pelindo II untuk tarif progresif harus mengacu kepada regulasi manajemen pelabuhan yang sudah ada dan harus di sinergikan agar dwelling time bisa di turunkan.
Jelas-jelas bahwa dari data yang tersedia pre-clearance masih menjadi kontributor utama yang menjadi hambatan dalam menurunkan dwelling time, jadi semestinya hal tersebut yang perlu di benahi dulu ujar Rico.
Kadin sependapat dan mendukung inisatif pemerintah untuk memasukkan pihak yang memiliki kewenangan atas lartas (barang larangan dan atau pembatasan) dan izin impor dalam paket kebijakan ekonomi selanjutnya.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga senada dengan KADIN bahwa pre-clearence sendiri setidaknya melibatkan banyak kementerian seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Sucofindo, serta Direktur Jendral Bea Cukai untuk mengurus lartas dan izin impor.
Pada level pre-clearance inilah seharusnya Pelindo II mau berkoordinasi dalam mengurus manajamen pelabuhan dengan pihak-pihak yang terkait tersebut.
Hal senada disampaikan juga oleh Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy saat dihubung di Jakarta, Senin (14/3/2016).
Ia sangat keberatan jika penerapan tarif progresif penumpukan peti kemas impor itu dianggap tidak menyebabkan naiknya cost logistik melalui pelabuhan, karena aturan tersebut Justru memberi efek sebaliknya cost logistik semakin membumbung tinggi.
"Kita sebagai pengusaha juga tidak ingin kok barang menumpuk lama di pelabuhan. Kita inginnya cepat keluar pelabuhan,” ujarnya.
Inov, Sekjen API ini pun tak habis pikir dengan sikap Plt Dirut Pelindo II.
Seharusnya, lanjut dia, Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelindo II sebagai operator pelabuhan Tanjung Priok tentu sangat paham bahwa kapal yang mengangkut peti kemas impor itu, rata-rata bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok antara pukul 21.00 atau pukul 22.00.
“Kan tidak mungkin proses bongkar barang itu selesai hanya dalam waktu 2 jam. Tentu proses itu tembus hingga hari ke-2 atau bahkan hari ke-3 atau ke-4. Coba bayangkan berapa ongkos yang mesti dikeluarkan para pelaku usaha kalau tidak semakin membengkak tajam," katanya.
Jika mengacu pada Keputusan Direksi PT Pelindo II No. HK.568/23/2/1/PI.II tertanggal 23 Februari 2016 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Direksi PT Pelindo II No. HK.56/3/2/1/PI.II-08 tentang tarif Pelayanan
Jasa Petikemas pada Terminal Petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok, benar-benar menohok para pengusaha dan membuat mereka kelimpungan.
Bagaimana tidak, beleid yang berlaku sejak 1 Maret 2016 ini menetapkan kenaikan tarif jasa penumpukan petikemas isi impor ini langsung hingga 900 persen untuk proses bongkar di hari ke-2.
Detailnya, untuk hari ke-1, tidak dipungut tarif pelayanan jasa penumpukan. Ketentuan itu baru berlaku
ketika memasuki hari ke-2 dan seterusnya, dihitung per harinya sebesar 900 persen dari tarif dasar.
Saat ini tarif dasar storage peti kemas di pelabuhan Priok memang tergolong murah yakni hanya Rp 27.200/peti kemas 20 feet dan Rp 54.400/peti kemas 40 feet.
Namun, kata Inov, jika tarif progresif tersebut diberlakukan tentu angkanya akan sangat fantastis.
“Saya menghitung rata-rata penalti itu mencapai Rp 244.800 per peti kemas per hari untuk 20 feet. Sedangkan untuk 40 feet mencapai Rp 489.600 per peti kemas per hari. Angka tersebut belum termasuk biaya-biaya lainnya,” tuturnya.
Kemudian Inov merujuk sejumlah biaya-biaya tambahan. Untuk pelayanan jasa peti kemas isi, baik ekspor maupun impor sebesar antara Rp 65.000/box – Rp 75.000/box yang dipungut oleh para terminal di Pelabuhan Tanjung Priok.
Untuk pemindahan lokasi kontainer sekitar Rp 3 juta per kontainer 40 feet dengan rinciannya biaya trucking, lift off lift on dan biaya-biaya lainnya tapi belum termasuk biaya cost recovery.
“Jadi kebayang kan berapa mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan para pelaku usaha. Sudahlah jangan terus membodohi dan tidak bertanggung jawab seperti itu. Lebih baik, kita duduk bersama. Toh selama ini beleid
tersebut tidak tersosialisasi dengan baik, apalagi belied ditetapkan disaat kursi Dirut Pelindo II dan otoritas pelabuhan vakum."
Selanjutnya menurut Rico, Kadin juga memiliki data yang rinci soal cost-cost yang mesti dikeluarkan para pelaku usaha yang bersentuhan dengan Pelabuhan Tanjung Priok.
"Jadi, jelas sekali pernyataan Plt Dirut Pelindo II tidak bisa dipertanggung jawabkan, jangan demi mengejar dwelling time, lantas membuat peraturan kenaikan tarif tanpa memperhatikan daya saing kita di dalam negeri. Keputusan seperti ini sangat melukai keadilan ekonomi dan bukan win-win solution."
Rico kembali mengemukan dan mengingatkan Pemerintah bahwa tarif THC di Pelabuhan Tanjung Priok terbilang paling mahal di ASEAN.
Tercatat tarif THC dan penumpukan di Tanjung Priok tersebut sebesar US$ 95 (20 feet) dan US$ 145 (40 feet). Di Bangkok sebesar US$ 53 (20 feet) dan US$ 85 (40feet). Di Vietnam US$ 46 (20 feet) dan US$ 69 (40 feet). Port Klang, Malaysia US$ 76 (20 feet) dan US$ 113 (40 feet).
“Tarif ini membuat Indonesia tidak bisa sekompetitif negara lainnya di Asean. Semakin parah ketika birokrasi kita juga sangat amburadul,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, tak berlebihan jika Kadin mewakili pengusaha meminta agar beleid tersebut dicabut.
“Sebaiknya dicabut dan dibatalkan serta dikembalikan ke aturan sebelumnya,” tandasnya.
Beleid sebelumnya menyebutkan bahwa untuk proses bongkar pada hari ke- 1 hingga ke-3, free charge alias gratis.
Sedangkan untuk penumpukan kontainer di hari ke-4 sampai ke-7 dikenakan tarif 500 persen dan di atas 7 hari sebesar 700 persen.
Rico menegaskan, bahwa hal ini untuk kepentingan bersama dengan semangat yang sama memajukan Ekonomi, dan KADIN merupakan mitra pemerintah di bidang perekonomian sebagaimana yang telah di atur dalam UU Kadin No.1/1987, bahkan tidak hanya mengkritisi namun Kadin siap memberikan
solusi permanen atas dwelling time di Tanjung priok tanpa mengorbankan kenaikan biaya logistik apabila Pelindo tidak mampu mengatasi dwelling time.
Bahkan KADIN juga mengusulkan kepada pemerintah mengapa tidak melibatkan pihak swasta dalam mengelola pelabuhan.
Terakhir, perlu diketahui oleh pemerintah bahwa Kadin akan terus mendukung harapan pemerintahan Presiden Jokowi untuk menurunkan dwelling time.
Kadin menyerukan kepada semua elemen birokrasi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus bisa kompak dan bekerjasama untuk menyelesaikan isu-isu ekonomi yang membuat kita sulit bersaing di dalam negeri dan luar negeri.
"Untuk itu aturan itu harus dicabut."
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.