Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Nasib Novel Baswedan

KPK Tak Boleh Gadaikan Independensi dengan Menjadi Makelar Jabatan Novel

KPK tak boleh menggadaikan Independensinya dan menjadi makelar jabatan untuk menyingkirkan Novel Baswedan dari KPK guna memenuhi keinginan pihak lain

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan saat tiba di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (10/12/2015). Novel Baswedan memenuhi panggilan Bareskrim untuk pelimpahan berkas tahap dua dari Bareskrim ke Kejaksaan Tinggi Bengkulu terkait dugaan penganiayaan saat menjabat Kepala Satuan Reserse Polres Kota Bengkulu pada tahun 2004. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KPK tak boleh menggadaikan Independensinya dan menjadi makelar jabatan untuk menyingkirkan Novel Baswedan dari KPK guna memenuhi keinginan pihak lain.

Mahkota KPK justru terletak pada Independensi KPK itu sendiri, sehingga wajib hukumnya untuk dijaga oleh pimpinan KPK.

Karena itu tugas melindungi dan membela Novel Baswedan selaku Penyidik KPK dari upaya kriminalisasi pihak lain, juga merupakan bagian dari upaya menjaga Independensi KPK.

KPK juga jangan terlibat atau melibatkan diri dalam kompromi untuk membarter penghentian penuntutan perkara pidana yang didakwakan kepada Novel Bawesdan dengan jabatan Novel Baswedan selaku Penyidik di KPK dengan iming-iming jabatan lain di luar KPK.

Karena itu KPK tidak boleh diperalat oleh kekuatan manapun dan juga tidak boleh membiarkan dirinya untuk diperalat oleh kekuatan anti pemberantasan korupsi atas alasan apapun demi menyingkirkan Nobel Baswedan dari posisinya sebagai Penyidik KPK.

Kesalahan terbesar pimpinan KPK dalam kasus Novel Baswedan, adalah mengakomodir sikap Kejaksaan menarik berkas perkara dan surat dakwaan a/n. Terdakwa Novel Baswedan lantas terlibat dalam mencari opsi dan tawar menawar untuk memberhentikan Novel Baswedan sebagai Penyidik di KPK dengan mencarikan jabatan baru di tempat lain bagi Novel Baswedan, sebagai solusi untuk memuaskan keinginan pihak-pihak tertenTu.

KPK seharusnya melawan sikap Kejaksaan Agung yang menarik kembali berkas perkara dan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Novel Baswedan di Pengadilan Negeri Bengkulu dan mendorong berlangsungnya proses peradilan yang fair agar Novel Baswedan segera mendapatkan keafilan dan kepastian hukum.

Jika KPK bersikap diam dan membuka diri untuk melakukan kompromi, maka hal itu berarti Novel Baswedan tetap dalam penyanderaan kepentingan pihak-pihak tertentu untuk terus melakukan kriminalisasi tanpa batas waktu yang jelas.

Jika pimpinan KPK mengakomodir tawaran atau opsi "penghentian penuntutan perkara" Novel Baswedan dengan "pemberhentian Novel Baswedan dari jabatannya selaku Penyidik di KPK", maka disinilah titik awal kehancuran KPK.

Dan itu membuktikan bahwa ternyata pimpinan KPK secara serta-merta turut melibatkan diri dalam sebuah transaksi yang bersifat melanggar hukum, melanggar etika penegakan hukum.

Terlebih lagi, pimpinan KPK telah menggadaikan mahkotanya sendiri yaitu Independensinya, karena dengan mudah menjadikan KPK sebagai alat pihak lain untuk mengkriminalisasi Novel Baswedan yang seharusnya wajib KPK lawan demi melindungi Novel Baswedan.

Pimpinan KPK saat ini (Agus Rahardjo Cs.) ternyata tidak memiliki karakter kepemimpinan yang kuat dan gampang menyerah kepada kekuatan anti pemberantasan korupsi atau kompromistis terhadap kekuatan lain sekalipun harus melanggar hukum, mencedrai rasa keadilan publik dan mengkhianti komitmen publik untuk menjadikan KPK sebagai lembaga super body dalam memberantas korupsi sebagai musuh bersama.

KPK sebaiknya membentuk sebuah Tim Pembela yang kuat untuk membela Novel Baswedan dari upaya pihak lain yang mencoba melemahkan KPK dengan berbagai cara, termasuk melakukan pelemahan dari internal KPK sendiri.

Untuk itu KPK selain harus tetap fokus kepada tugas rutin yaitu penindakan, pencegahan dan penuntutan.

Namun KPK juga harus fokus kepada tugas utama lainnya yaitu tugas monitor berupa melakukan "pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistim pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi".

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved