Selasa, 30 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Keakraban Jokowi-Xi Jinping

Selama pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, terlihat sekali keakraban antara Presiden Jokowi dng Presiden Xi Jinping dari Tiongkok.

Editor: Rachmat Hidayat
AFP PHOTO / POOL / FENG LI
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Presiden Tiongkok Xi Jinping. 

Oleh Dradjad Wibowo, Ekonom, Chairman DW & Partners

TRIBUNNEWS.COM - Selama pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA), terlihat sekali keakraban antara Presiden Jokowi dng Presiden Xi Jinping dari Tiongkok.

Bahkan tertangkap kesan, Perdana Menteri Shinzo Abe dari Jepang seperti tersisihkan. Karena saat ini hubungan Xi-Abe sangat dingin, keakraban Xi-Jokowi bisa berdampak geo-politik-ekonomi (GPE) yg serius.

Potensi manfaat politik ekonomi dari keakraban tsb sangat besar bagi Indonesia. Krn itu, saya sangat mendukung langkah Presiden Jokowi di atas. Apalagi terdapat kabar bahwa dua bank Tiongkok siap memberi pinjaman USD 50 milyar bagi Indonesia.

Meski demikian, saya mempunyai beberapa catatan agar Indonesia tetap hati-hati dan seimbang dalam percaturan GPE global yang bergerak dinamis. Seperti kata pepatah, jangan sampai "Beruk di rimba disusui, anak di pangkuan dilepaskan". Catatan tersebut adalah:

1. Hubungan tersebut perlu dijaga tetap seimbang. Jangan sampai Indonesia sekedar menjadi satelit untuk memenuhi kepentingan jangka panjang China.

Dewasa ini Tiongkok sedang mentransformasi pembangunan ekonomi jangka panjangnya. Jika semula ekonomi Tiongkok bergerak dalam rejim pertumbuhan super-tinggi bahkan sempat dua dijit.

Sekarang Tiongkok "mendinginkan" ekonominya ke dalam rejim pertumbuhan tinggi tapi sustainable pada level sekitar 7%. Presiden Xi adalah pelopor dari transformasi signifikan ini.

Pertimbangannya antara lain, laju pertumbuhan yang terlalu tinggi membuat konsumsi energi dan mineral China tumbuh di luar kendali, sehingga Tiongkok menjadi sangat rentan terhadap defisit pasokan energi dan mineral.

Kondisi ini memberi risiko strategis yg besar bagi China. Selain itu, China merasa terlalu tergantung kepada ekspor sbg sumber pertumbuhan, sehingga perlu berdiversifikasi ke konsumsi domestik.

Sanksi ekonomi AS dan Uni Eropa terhadap Rusia sebagai buntut krisis Ukraina menjadi rahmat tersembunyi bagi Tiongkok dalam proses transformasi ini. Rusia yang menoleh ke Tionkok akhirnya bersedia meneken kontrak pasokan gas Siberia ke Tiongkok senilai US$ 400 miliar selama 30 tahun.

Padahal negosiasi kontrak ini sempat buntu selama 10 tahun lebih karena perbedaan formula harga yang tajam antara kedua negara.

Bagi Tiongkok, Indonesia menjadi sumber gas, mineral, komoditi primer lain, dan sekaligus pasar ekspor. Dengan adanya kontrak gas Siberia, pasokan gas bagi Tiongkok sebenarnya relatif lebih aman. Namun Tiongkok tetap perlu mendiversifikasikan pasokan gasnya, termasuk misalnya dari ladang gas Tangguh. Demikian juga dengan batubara dan mineral seperti nikel, bijih besi dsb.

Tiongkok mengejar mineral-mineral tersebut dari Afrika, namun Indonesia lebih dekat geografisnya dan cukup kaya mineral. Jadi, dalam konteks transformasi ekonomi China, Indonesia menjadi bagian dari diversifikasi sumber gas, mineral, komoditi primer lain dan pasar ekspor.

Tentu fakta bahwa Indonesia berada di jalur Selat Malaka dan isu Laut China Selatan masuk dalam hitungan Tiongkok. Namun, Tiongkok sudah mengambil langkah mengurangi ketergantungan thd Selat Malaka dengan kerjasama Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC - China Pakistan Economic Corridor).

Dengan realitas di atas, jangan sampai, keakraban Jokowi-Xi membuat Indonesia justru lebih memilih ekspor ke Tiongkok daripada memenuhi kebutuhan domestik, seperti yang terjadi pada gas alam. Akibatnya antara lain, industri pupuk dan keramik kita kesulitan pasokan gas alam.

Jangan sampai program hilirisasi tambang juga gagal karena mineral mentah dijual ke Tiongkok. Industri nasional harus tetap menjadi prioritas supaya tidak menjadi korban kemesraan kita dengan Tiongkok.

2. Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa perlu diberi kenyamanan bahwa Indonesia tidak lari dari mereka. AS dan Uni Eropa memang rewel, bawel, dan cenderung mendikte dalam banyak isu, terutama AS. Sementara Tiongkok lebih fleksibel.

Namun, pasar keuangan dunia tetap didominasi AS, Uni Eropa dan negara pro-Barat lain seperti Jepang dan Singapura. Jika pelaku pasar keuangan jadi takut karena Indonesia dianggap lari dari Barat, kerugiannya besar sekali.

Dollar AS menguat sedikit saja, Rupiah sudah anjlok 15-19% dan membuat stabilitas APBN terganggu karena rendahnya penerimaan pajak. Bisa dibayangkan akibatnya jika Indonesia ditinggal pelaku pasar karena dianggap terlalu kiri dan terlalu mesra dengan tiongkok.Selain itu, AS masih tetap menjadi pasar ekspor utama Indonesia.

Saya melihat pemerintahan Jokowi kurang sreg dengan "lembaga boneka" AS dan Uni Eropa seperti Bank Dunia dan IMF. Saya sendiri sudah sejak lama melawan dominansi kedua lembaga tersebut dalam kebijakan ekonomi Indonesia.

Meski demikian, Indonesia tetap harus bermain cerdas. Indonesia justru harus mampu memaksimalkan keuntungan dari persaingan AS, Uni Eropa dan Jepang vs Tiongkok. Apalagi saat ini AS dipermalukan karena sekutu utamanya seperti Inggris dan Australia membelot ikut menjadi Anggota Pendiri Asian Infrastruktur Investment Bank (AIIB) yg dimotori China dan ditentang AS.

Intinya, jika cerdas, Indonesia mendapat manfaat. Jika konyol, Indonesia akan terinjak-injak oleh raksasa yang sedang bertarung.

3. Jangan tinggalkan Jepang dan mulai dekati Rusia.
Jepang juga "terkucilkan" dalam kancah AIIB. Selama KAA, PM Shinzo Abe juga seperti tersisihkan oleh Presiden Xi. Tapi jangan lupa, sekitar 1/3 utang Indonesia itu kepada Jepang dan berdenominasi Yen.

Jepang juga sudah terbukti menjadi mitra ekonomi yang bisa dipercaya. Terhadap Rusia, Indonesia terlihat masih menjaga jarak. Saat ini Rusia perlu teman, dan banyak manfaat yang bisa diperoleh dari peningkatan hubungan ekonomi dengan Rusia. Misalnya saja dalam bidang industri pertahanan, dirgantara, metalurgi, perdagangan hasil perkebunan dsb.

Energi nuklir tentu tidak termasuk, karena Indonesia berada pada jalur "ring of fire". Namun ada catatan, soal Crimea dan Ukraina, Indonesia berpegang teguh pada prinsip integritas teritorial untuk menjaga kesatuan teritorial kita sendiri.

4.Jangan sampai manfaat hubungan denga Tiongkok hanya dinikmati oleh kelompok usaha tertentu. Ada beberapa konglomerat yang memiliki lobi sangat kuat di Tiongkok. Siapa berhubungan dengan siapa sudah menjadi rahasia umum di kalangan konglomerat tsb.

Mereka memang mendorong agar Indonesia lebih merapat ke Tiongkok. Dengan kekuatan lobinya di kedua negara, proyek-proyek kerjasama dengan Tiongkok bisa didisain untuk keuntungan mereka, misalkan memberikan capital gain terhadap tanah yang mereka kuasai, memperluas akses pembiayaan dan pasar mereka dst.

Jangan sampai negara hanya diperalat mrk utk memperbesar konglomerasi saja, sementara masyarakat umum hanya mendapat sedikit manfaat.

5. Perlu memastikan realisasi program, bukan hanya sebatas MoU. Tiongkok baru saja meneken kerjasama dengan Pakistan untuk membangun Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan. Nilai investasi yang akan ditanam Tiongkok adalah USD 46 miliar.

Jika dihitung, komitmen pembiayaan regional dari Tionkok sudah mencapai US$ 200 miliar lebih, baik untuk AIIB, BRICS Development Bank, gas Siberia, Pakistan, Indonesia. Belum lagi untuk negara-negara Afrika, Australia dll.

Tentu pertanyaannya, bagaimana realisasinya? Sebagai contoh, sebagian proyek di Pakistan sebenarnya sudah disiapkan beberapa tahun lalu. Namun realisasinya masih tersendat hingga sekarang, baik karena faktor Tiongkok maupun Pakistan.

Hal yang sama bisa terjadi dengan Indonesia. Jadi, pemerintah harus aktif agar komitmen-komitmen Tiongkok-Indonesia benar-benar direalisasikan.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan