Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menikmati Intervensi

Akhir tahun 2014 lalu saya menulis di berbagai media tentang perang harga minyak yang berkaitan dengan upaya AS memulihkan perekonomian domestiknya

Editor: Rachmat Hidayat
Tribunnews/Dany Permana
Pengamat politik-ekonomi, Ichsanuddin Noorsy (kanan), mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier (kiri), dan moderator, Hendrajit berdiskusi mengenai ekonomi dan politik di Jakarta, Jumat (5/12/2014). Diskusi yang bertajuk Membedah Kebijakan Ekonomi Politik Pemerintahan Jokowi-JK digelar dalam acara peluncuran portal FastNewsIndonesia.com. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) 

Oleh Ekonom Dr Ichsanuddin Noorsy

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akhir tahun 2014 lalu saya menulis di berbagai media tentang perang harga minyak yang berkaitan  dengan upaya Amerika Serikat  memulihkan perekonomian domestiknya sambil memukul perekonomian Rusia, Venezuela, dan Iran.

Amerika Serikat  juga memberi pelajaran pada RRC agar tunduk pada ketentuan hak cipta intelektual, hak asasi manusia demokrasi, dan kampanye perobahan iklim global. Hasil sementaranya adalah, AS menjadi penentu pertumbuhan ekonomi dunia.

Sebagai akumulasi perang ekonomi, perang harga minyak ini  memberi pelajaran menarik dan penting: dunia yang tanpa batas, perekonomian yang serba terbuka (liberal), dan hubungan internasional yang multipolar menyajikan peluang sekaligus ancaman, serta menjanjikan keuntungan atau penghisapan lalu berbuah ketimpangan.

Di awal tahun 2015 ini peristiwa eksekusi mati 6 terpidana narkoba juga menceritakan hal itu. Campur tangan kepala negara karena warganya dieksekusi mati memberi pesan seolah hak hidup seseorang adalah segala-galanya walau orang itu telah mengakibatkan kematian 40 orang setiap harinya.

Mereka yang berteriak hak hidup dilarang dicabut begitu saja seakan tidak melihat bahwa peperangan ekonomi dan perang militer --untuk kepentingan ekonomi dan perebutan sumberdaya ekonomi-- bahkan telah mengakibatkan kematian puluhan ribu orang tidak bersalah.

Dalam dunia yang terbuka dengan prinsip liberalnya, survival of the fittest dan the winner takes all adalah hukumnya. Pembenaran dicari, justifikasi bisa diberikan, dan pembentukan opini sesuai kepentingan dapat dilakukan untuk dan atas nama kemenangan perang menyeluruh dan terpadu.

Di sanalah lahir pembenaran campur tangan suatu negara terhadap negara lain. Tidak peduli negara itu kecil atau besar, mempunyai kekuatan atau biasa saja. Yang terpenting adalah campur tangan untuk dan atas nama kedaulatan negara, kehormatan dan perlindungan warga negaranya.

Campur tangan bahkan dibenarkan jika atas nama demokrasi liberal (menurut paham Barat), hak asasi manusia, dan pembangunan (dalam cara pandang Barat). Sebuah negara boleh diintervensi jika tidak menegakkan salah satu prinsip-prinsip itu. Barat juga boleh melakukan penekanan kalau media massa suatu negara dipandang tidak bebas disebabkan regulasi dan kebijakan negara berdaulat, sebagaimana mereka

Di balik semua itu adalah soal pilihan sistem nilai suatu negara. Barat dengan segala “keunggulannya” menyatakan bahwa sistem nilainya adalah yang terbaik dan teruji mampu menjalankan tugas-tugas kemanusiaan. Kawasan Asia Timur, terserak walau nampak utuh, memberi jawaban alternatif: ekonomi boleh liberal, tapi politik harus teratur.

Belahan Amerika Latin, seperti Brazil, Venezuela, dan Bolivia berpandang pentingnya mereka kembali ke nilai-nilai yang mereka miliki sendiri tanpa harus menjiplak dan mengekor Barat atau AS.

Sementara Timur Tengah terus menerus konflik karena politik pecah belah dan adu domba. Di kawasan Asia Tenggara, intervensi AS tak terhindarkan sebagaimana media massa di AS sendiri memberitakan dengan alasan-alasan seperti di atas.

Khusus untuk Indonesia dengan latar belakang keterjajahannya, intervensi asing demikian akrabnya. Saking akrabnya, penjajahan dengan segala wajahnya tidak terasa lagi sebagai penjajahan. Inilah yang saya sebut sebagai symbolic torture, kekerasan simbolik dan stockholm syndrome, sindrom Stockholm.

Dengan kekerasan simbolik, orang tidak merasa keberatan bahwa sistem nilai dan cita-citanya telah diubah karena keberhasilan brain wash melalui pendidikan formal atau melalui media apa saja.

Dengan keberhasilan itu, walau dirinya menjadi korban, dia tidak merasakan penderitaan. Lihatlah Indonesia yang kaya secara potensial tapi miskin
secara nyata. Bahkan demoralisasi berlangsung di setiap dimensi kehidupan. Lihatlah AS yang mampu menjadi penentu dunia namun mengidap berbagai penyakit sosial ekonomi yang kronis dan mengakar.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved