Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ramadan 2013

Ramadan dan Persoalan Krusial Bangsa

Puasa adalah alat yang paling efektif untuk mengukurnya kembali

Oleh: Toni Ervianto *)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setiap tahunnya, umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia selama sebulan akan menjalani ibadah puasa, sebuah ibadah yang berfungsi untuk “merecharge” sifat-sifat kemanusiaan kita untuk tetap berjalan ke arah yang benar, serta untuk kontemplasi atau perenungan terkait kehidupan keagamaan kita selama ini berkorelasi signifikan dengan peningkatan tingkat pemahaman kita terhadap pluralisme serta kesadaran sosial kita, ataukah malah menunjukkan degradasi.

Puasa adalah alat yang paling efektif untuk mengukurnya kembali.

Hakekat berpuasa di bulan Ramadan sebenarnya mengajarkan kita khususnya umat Islam untuk introspeksi, tenggang rasa dan menahan amarah atau emosi. Ibadah puasa merupakan perpaduan alat ukur yang sempurna untuk mengetahui seberapa besar intellectual quotion, emotional quotion dan spiritual quotion kita menghadapi hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang plural dengan dinamika perkembangannya yang bergerak cepat.

Permasalahan pertama yang dihadapi dalam ibadah puasa 1434 H ini adalah, Ramadan tahun ini penuh keprihatinan karena dua hal penaikan harga bahan bakar minyak serta melonjaknya permintaan akan kebutuhan pokok selama Ramadan adalah benar, namun jangan memandangnya sebelah mata. Penaikan harga BBM dipicu oleh kebutuhan energi yang selalu meningkat di Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonominya, sedangkan melonjaknya permintaan akan kebutuhan pokok juga hal yang lumrah, dari sisi ekonomi, konsumsi merupakan salah satu item pendapatan negara, hanya saja dalam konteks dinamika sosial dan keagamaan sekarang ini, setidaknya sikap konsumtif tersebut ditujukan untuk keperluan beribadah (memberikan ta'jil, buka puasa dengan anak yatim, sodaqoh dll) bukan untuk kepentingan politik praktis apalagi kepentingan Pemilu 2014.

Ingat kepercayaan publik terhadap elit semakin menurun, bahkan publik tidak percaya moral elit berubah di Ramadhan sekarang ini, itu berdasarkan hasil survei LSI.

Belum ada Efek Puasa

Kalau kita jujur mengakui bahwa sebenarnya puasa yang telah bertahun-tahun kita laksanakan sebagai individu ataupun bagian dari publik Indonesia, maka kita secara mayoritas mungkin sepakat bahwa ibadah puasa tersebut belum berkorelasi secara signifikan dengan peningkatan rasa kebangsaan dan kecintaan kita terhadap negara.

Ada beberapa indikasi, seperti jumlah pelanggaran kode etik dan perilaku kehakiman kian hari makin meningkat. Tercatat, sudah 1.017 hakim "nakal' yang dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) sepanjang Januari hingga Juni 2013.
Laporan tersebut memperlihatkan peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 1.520 laporan. Dari laporan yang masuk tersebut, hanya 102 hakim yang diperiksa dan 22 hakim yang direkomendasikan sanksi. Sedangkan pada 2012 sebanyak 160 hakim diperiksa dan 27 orang direkomendasikan sanksi.

Meningkatnya laporan ini juga seiring dengan kesadaran masyarakat yang juga meningkat, terutama ketika mereka merasa adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim, sehingga kuantitas dan kualitas laporan yang masuk pun semakin meningkat.

Ditinjau dari lokasi penugasannya, para “hakim nakal” tersebut sebanyak 243 orang bertugas di Jakarta, Jawa Timur sebanyak 121 pengaduan, Sumatera Utara sebanyak 98, Jawa Barat sebanyak 85, dan Jawa Tengah sebanyak 68 laporan. Sementara laporan terbanyak berdasarkan jenis perkara adalah hakim yang menangani kasus perdata sebanyak 394, pidana 281, TUN 63, tipikor 34, dan agama 25. Jika “para hakim nakal” tersebut beragama Islam dan melakukan puasa, maka kita dapat menilai dengan sendirinya, bagaimana dampak puasa tersebut terhadap perilaku “para wakil Tuhan di dunia” tersebut.

Indikator lainnya adalah masih tingginya korupsi di Indonesia. Menurut  Ketua Komunitas Pengusaha Antisuap (Kupas) Ai Mulyadi Mamoer mengatakan, selama kurun waktu 2004-2011, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya naik 1,0, seperti yang dikutipnya dari hasil survei Transparency International Indonesia (TII), dimana kenaikan tersebut dinilai tidak signifikan, karena pada tahun 2004, IPK Indonesia 2,0.

Adapun pada tahun 2011, IPK Indonesia 3,0. Pada tahun 2011, IPK Indonesia menempati ranking ke-100 dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, sedangkan Singapura, yang indeks IPK-nya 9,2, Singapura menempati ranking 75.

Seharusnya, ada korelasi positif antara tingkat integritas dengan tingkat IPK. Apabila integritas tinggi, maka IPK juga tinggi, demikian juga sebaliknya. Jika integritas bangsa Indonesia tidak ditingkatkan, untuk menyamai IPK Thailand 3,5 (yang dicapai tahun 2011), Indonesia baru akan menyamai IPK Thailand pada tahun 2030.

Persoalan krusial bangsa lainnya yang mewarnai bulan puasa tahun ini adalah masih terus berlanjutnya sentimen negatif beberapa kelompok kecil masyarakat yang selalu menilai bahwa kinerja dan komitmen pemerintah dalam membela masyarakatnya kurang maksimal.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tags
Ramadan
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved