Tribunners / Citizen Journalism
Noorsy: Hatta Plt Menkeu Bentuk Praktek Nepotisme Vulgar
Banyak orang menyoroti Hatta sebagai pelaksana tugas Menkeu merupakan praktek nepotisme vulgar
Oleh Pengamat Ekonomi dan Politik, Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Banyak orang menyoroti Hatta sebagai pelaksana tugas Menkeu merupakan praktek nepotisme vulgar. Upaya menghimpun logistik menjelang Pemilu 2014, sekaligus menunjukkan pelanggaran etik kepemerintahan.
Argumen yang menyertai sorotan itu memang logis dan rasional. Meski demikian persoalan utamanya justru terletak pada buruknya perencanaan dan pelaksanaan keuangan publik.
BPK boleh saja menerbitkan audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagai Wajar Dengan atau Tanpa Pengecualian.
Dalam soal perencanaan anggaran, misalnya, kasus kelangkaan BBM, cabai, bawang, kisruh impor daging, bahkan impor garam menunjukkan APBN di bawah kepemimpinan SBY dan penguasa keuangan dari Mafia Berkeley gagal memenuhi amanat konstitusi guna memakmurkan rakyat.
Saat yang sama, mereka menyatakan APBN mengalami tekanan karena subsidi BBM dan mendikotomikan miskin-kaya tanpa memberi kejelasan tetang enerji sebagai hajat hidup orang banyak dan pengertian subsidi itu sendiri.
Para pejabat fiskal berpendapat, surat utang pemerintah yang dijual dengan bunga tinggi pada hakikatnya adalah wujud subsidi orang miskin kepada orang kaya. Hal itu terjadi dalam soal obligasi rekapitalisasi perbankan.
Saat yang sama Silpa dan penyerapan anggaran juga menggambarkan buruknya kinerja anggaran walau sejumlah aturan teknis untuk itu sudah diterbitkan.
Yang lebih menarik lagi, saat lemahnya fungsi anggaran dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
Ini nampak pada besarnya konsumsi pemerintah sebagai unsur penyumbang pertumbuhan ekonomi yang kecil dibanding konsumsi masyarakat dan swasta.
Atas dasar itu, tidak mungkin menyerahkan jabatan Menkeu ke sosok yang berpikir dan bertindak konvensional dalam manajemen keuangan publik.
Padahal antara perencanaan dan penganggaran sudah bertentangan secara struktural disebabkan tidak sinkronnya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional.
Di hadapan Komisi XI saat diundang menjadi narasumber untuk perubahan UU 17/2003 saya menyebutkan betapa pentingnya mereduksi peranan Menkeu yang bobot kewenangannya dalam soal keuangan negara melampui peranan Wakil Presiden.
Sayangnya RUU yang muncul untuk perubahan UU 17/2003 ternyata tidak mengubah posisi Menkeu yang merangkap sebagai bendahara negara, penanggung jawab APBN, penguasa perpajakan, dan penguasa pemeriksa dan pengawasan keuangan internal pemerintahan.
Sayangnya, bukan malah memperbaiki kinerja keuangan publik bagi kepentingan domestik, SBY malah memilih Hatta.
Dari sudut politik anggaran, saat perencanaan dan pelaksanaan anggaran sudah buruk, maka dapat diyakini soal distribusi (yang jika benar akan melahirkan rasa keadilan) dan stabilisasi, hampir dipastikan juga bernasib sama.
Karena itu ditempatkannya Hatta sebagai Pelaksana Tugas Menkeu akhirnya membuahkan tudingan sekadar untuk memenuhi kepentingan logistik dan akses anggaran bagi keberdayaan politik parpol tertentu.
Saya kira, di tengah demikian terpuruknya pemerintahan dan kewibawaan pemimpin nasional, penunjukkan itu sekadar menambah masalah. Dan itu berarti petanda bahwa Pemilu 2014 memang tidak membawa manfaat untuk tegaknya kedaulatan keuangan NKRI.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.