Selasa, 7 Oktober 2025

Cerita Dari Roma: Melawan Hukum Alam

Musim di Eropa menjadi bahasan antara Hermawi Taslim dan Putut Prabantoro yang ditemani beberapa rohaniwan Indonesia yang belajar Roma.

Editor: Y Gustaman
Dokuemntasi Penulis
Hermawi Taslim, Ketua Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (Forkoma PMKRI) di depan banner NOSTRA AETATE (Zaman Kita), yang terletak di Universitas Gregoriana, Roma, Senin (26/10/2015). 

Dari tanggal 24 -31 Oktober 2015, Hermawi Franziskus Taslim - Ketua Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (FORKOMA PMKRI) dan AM Putut Prabantoro – Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) mengunjungi Italia. Kunjungan itu terutamanya untuk menghadiri Konferensi Internasional di Universitas Gregoriana, Roma, Italia dalam perayaan peringatan 50 Tahun diluncurkannya dokumen Nostra Aetate oleh mendiang Paus Paulus VI. Nostra Aetate adalah dokumen independen Konsili Vatikan II yang menjelaskan keterbukaan Gereja Katolik dalam hubungannya dengan Agama NonKristiani. Inilah beberapa catatan kunjungan mereka.

Tanpa direncana, kehadiran mereka berdua di Italia menandai datangnya musim gugur (autumn), setelah musim panas (summer) dan sebelum musim salju atau dingin (winter). Sebutan musim gugur diberikan karena kehendak alam, berguguran daun-daun yang senantiasa membuat kotor kota berhiaskan pohon-pohon besar. Itu terjadi setiap tahun sejak beribu-ribu tahun lamanya.

Hanya saja karena di Indonesia hanya ada dua musim yakni hujan dan kemarau, orang-orang tropis seperti Indonesia menerjemahkan autumn sebagai musim dingin mengingat udaranya yang mulai mendingin sekalipun matahari bersinar terang. Dan sebagai konsekuensinya, musim winter disebut dengan istilah musim salju yang dingin udaranya melebihi musim autumn itu sendiri dan suhunya bisa mencapai di bawah nol derajat. Bahkan jika musim salju ekstrem tiba, di beberapa belahan dunia suhu bisa mencapai minus 40 derajat dan tidak sedikit warga setempat menjadi korban.

Musim di Eropa menjadi bahasan antara Hermawi Taslim dan Putut Prabantoro yang ditemani beberapa rohaniwan Indonesia yang belajar disitu. Mereka adalah Indro Pandego Pr (Pastor yang berasal dari Keuskupan Tanjungkarang), Romo Haryanto SCJ dan Romo Leo Agung Srie Gunawan SCJ (dua pastor yang berkarya di Lampung dan Sumatera Selatan). Obrolan cuaca itu dilakukan sambil berdiri di depan gerbang Villa Aurelia, yang terletak di Via Leone XIII, Roma.

“Entah kebetulan atau tidak, kehadiran Pak Taslim dan Pak Putut menandai datangnya suatu masa dalam salah satu musim di Eropa. Masa itu ditandai dengan lamanya matahari terbit ataupun terbenam. Mulai nanti malam, Eropa dipercepat satu jam waktunya. Jika selisih waktu antara Italia dan Indonesia tadinya adalah lima jam, mulai nanti malam selisihnya enam jam,” ujar Romo Haryanto SCJ, Sabtu (24/10/2015).

Waktu bagi masyarakat bermusim empat termasuk Eropa merupakan nadi kehidupan itu sendiri. Menyetel jam atau alarm karena berbasis pada waktu yang salah akan memutus nadi kehidupan orang tersebut dan akan berakibat sial bagi satu hari kehidupan orang tersebut. Syukur-syukur hari sial itu hanya berlaku satu hari dan bisa diperbaiki ketika menyadari kesalahan yang dibuat. Tetapi tidak menutup kemungkinan kesialan bisa mengiringi yang bersangkutan sepanjang musim.

Oleh karena itu, perkiraan cuaca (bukan ramalan) merupakan budaya dan kehidupan itu sendiri bagi bangsa yang bermusim empat itu. Kapan harus pergi, ada ancaman cuaca apa, bagaimana harus mempersiapkan diri selalu didasarkan pada perkiraan cuaca.

Dan perkiraan cuaca itu adalah budaya karena hal ini mempengaruhi cara dan apa yang diminum, yang dimakan, yang dikenakan dan transportasi apa yang akan digunakan. Cuaca dan suhu akan datang dengan sendirinya secara otomatis dan hukum ala mini tidak mengenal agama atau keyakinan. Semua warga apapun agama dan keyakinannya harus menyesuaikan diri dengan iklim, cuaca, suhu yang datang pada musimnya.

Meski berdiskusi berpanjang lebar, keempat warga asal Indonesia itu tidak menyinggung dua hal pokok yang selalu muncul dalam perbincangan soal iklim dan cuaca. Kedua pokok itu menyangkut soal ayam dan pawang.

“Kami tidak bicara soal apakah ada pawang atau tidak di Italia terkait iklim. Di Indonesia pawang selalu hadir ketika kita akan mengadakan hajatan kawinan, kampanye, pidato terbuka, kunjungan jabatan dan alin sebagainya. Padahal pawang itu kalau mau dianalisa lebih lanjut berkaitan dengan melawan hukum alam. Ketika orang mau mengadakan hajatan, didatangkan pawang untuk menolak hujan sekalipun itu musim hujan. Ketika hujan tidak datang di musim kemarau yang panjang, seorang pawang akan didatangkan agar asap hilang,” ujar Hermawi Taslim, yang juga Wakil Ketua Badan Advokasi Bantuan Hukum (BAHU) DPP Partai NasDem.

Menurut Taslim, mungkin iklim di Indonesia itulah yang sebenarnya mengajarkan bagaimana seorang warga Indonesia melihat tanah air, bangsa dan negaranya. Kalau hukum alam saja dilawan oleh masyarakat Indonesia, demikian pengacara senior itu menjelaskan, tidak heran kalau hukum yang dibuat sendiri juga dilawan dan dibuat lumpuh bahkan oleh wakil rakyat sendiri. Karena terbiasa menantang hukum alam, tidak mengherankan pelanggaran atas sumpah jabatan terjadi terus.

“Kami juga tidak bicara soal ayam jantan kapan berkokok pertama kali di pagi hari jika waktunya dimajukan satu jam dari semula. Kokok ayam pertama itu pukul 03.00 pagi di mana-mana karena mengikuti matahari dan itu hukum alam juga. Tetapi kalau manusia memajukan waktunya menjadi satu jam lebih cepat, apakah itu artinya, ayam juga memajukan waktu kokoknya satu jam lebih awal,” ujar Putut Prabantoro yang profesinya sebagai konsultan komunikasi itu.

Apakah ada pawang hujan atau tidak, kedua delegasi dari Indonesia menyetujui untuk menyesuaikan arlojinya menjadi waktu yang berlaku di Eropa di musim gugur.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved