Minggu, 5 Oktober 2025

Wisata Kalsel

Masjid Agung Alkaromah Martapura: Saat Banjir Bandang, Konon Air Menghindari Masjid Ini

Tiang ini dan besi-besi tersebut tampak berusia tua, sangat kontras dengan tiang-tiang lainnya di sekelilingnya.

Banjarmasin Post/Yayu
Masjid Agung Alkaromah Martapura. 

Di bagian lain masjid ini, Anda kembali menemukan fakta lain yang bernuansa khas Banjar, yaitu di dekat mimbarnya ada banyak botol plastik berisi air doa.

Di dekat situ ada pula ember kecil, teko plastik, sehelai sajadah berwarna hijau dan baki kecil yang di atasnya ada beberapa buah gelas kecil dan teko aluminium warna emas khas Arab Saudi berisi air doa juga.

Mimbarnya pun tampak unik, dipenuhi ukiran-ukiran khas Banjar berbahan kayu ulin.

Semua ini ternyata bukan tanpa maksud.

Semuanya ini menandakan sebuah tradisi turun temurun yang sudah sangat mengakar di kehidupan relijius orang Banjar di Martapura.

Sebuah perpaduan pengaruh budaya Islam dan Hindu yang begitu kuat.

Sekretaris Masjid Agung Al-Karomah, Sya'rani Saleh mengatakan adat ini memang sudah ada sejak lama, bahkan sejak masjid ini dibangun pada 1280 Hijriyah atau 1863 masehi.

"Warga senang menggantungkan kembang barenteng di empat tiang guru masjid ini ada tujuannya. Biasanya kalau hajat mereka terkabul mereka menggantungkannya di situ sebagai ungkapan rasa syukur Allah telah mengabulkan hajat-hajat mereka," jelasnya.

Uniknya, hanya empat tiang guru itu yang digantungi kembang barenteng karena itu merupakan tiang utama masjid ini.

Warga menganggapnya keramat dan menurutnya tradisi ini sudah sangat mengakar di kehidupan umat Islam di Martapura, kendati zaman sudah modern.

"Mungkin ini satu-satunya masjid di Indonesia yang memiliki tradisi seperti ini. Masjid lainnya di Nusantara ini rasanya tidak ada yang memiliki tradisi ini, saya tidak pernah mendengar atau menemukan fakta seperti ini di masjid lainnya. Di Kalimantan Selatan pun, cuma masjid ini yang begini tiang gurunya," bebernya.

Empat tiang ini pun memiliki sejarah tersendiri saat pembangunannya dulu, yaitu berupa kayu ulin yang dibawa langsung oleh ulama pencetus pembangunan masjid ini, yakni Haji Muhammad Afif alias Datu Landak.

"Konon, empat kayunya ini dibawa Datu Landak dari Barito di Kalimantan Tengah hanya dengan berjalan kaki. Kayunya yang masih berupa gelondongan dijepitnya saja di bawah ketiaknya. Itulah kesaktiannya Datu Landak," jelasnya.

Sedangkan botol-botol air doa di dekat mimbarnya merupakan titipan warga yang ingin mengambil berkah dari air tersebut.

Di saat-saat tertentu, pengurus masjid ini juga melayani warga yang memiliki anak bayi berusia 41 hari untuk didoakan di sini.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved