Royalti Musik
Carut-marut Royalti Musik di Indonesia, Sistem Digital Diyakini Jawab Keluhan Musisi
Vedy menegaskan, solusi yang mereka bangun bukan sekadar pemutar musik, melainkan infrastruktur tata kelola royalti yang utuh.
Carut-marut Royalti Musik di Indonesia, Sistem Digital Diyakini Jawab Keluhan Musisi
Willem Jonata/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM - Carut-marut royalti musik terus menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku industri musik dan masyarakat penikmat musik.
Tak terkecuali pelaku usaha kafe, restoran, dan toko ritel, yang menggunakan musik sebagai bagian dari servis terhadap pelanggannya.
Yang menjadi sorotan, yakni mengenai ketidakjelasan mekanisme penarikan dan pendistribusian royalti.
Baca juga: Polemik Royalti Musik, Praktisi Hukum Deolipa Yumara Desak Audit LMKN Demi Transparansi
Penarikan dalam hal ini, ketika lembaga di bawah naungan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKM), seperti halnya Wahana Musik Indonesia (WAMI), menagih royalti ke kafe, restoran, dan hotel yang menggunakan musik dalam layanannya.
Penarikan royalti disebut tak jelas jika perhitungannya berdasarkan jumlah bangku, bukan berdasarkan lagu yang diputar.
Bukan itu saja.
Baru-baru ini musisi Ahmad Dhani menyoroti berita berjudul "Royalti Musik Karaoke Naik Rp 15 Juta Per Room, Pengusaha Menjerit".
Dalam keterangan postingannya, Ahmad Dhani mengaku sebagai komposer tidak mengetahui aturan tersebut.
Dikutip Kompas.com, biaya royalti untuk rumah karaoke mengalami lonjakan signifikan, dari sebelumnya sekitar Rp 3 juta per room, kini naik hingga Rp 15 juta per room.
Kebijakan tersebut memicu gelombang protes, termasuk dari pengusaha karaoke di kawasan Bandungan, Kabupaten Semarang.
Masalah lainnya, yakni pendistribusian royalti dari lembaga manajemen kolektif ke para komposer atau pencipta lagu yang memiliki hak ekonomi atas lagu ciptaanya.
Ari Lasso misalnya. Lagu-lagu hitsnya sering diputar di kafe dan restoran, tapi hanya mendapat transferan royalti dari WAMI tak lebih dari Rp 500 ribu, tepatnya Rp 497.300.
Karena hal itu, Ari mempertanyakan rumus WAMI, untuk menetapkan angka royalti yang menjadi hak si pencipta lagu.
Bahkan ia sampai membuat petisi agar WAMI diaudit.
Masalah itu hingga kini belum menemui titik terang. Namun, dalam suasana tersebut, VNT Networks, perusahaan teknologi nasional, menghadirkan sistem digital sebagai solusi carut-marut royalti musik Indonesia.
Presiden Direktur VNT Networks, Vedy Eriyanto, meyakini sistem digital bisa menjawab kebuntuan tata kelola royalti yang selama ini dikeluhkan musisi dan pelaku usaha.
“Sejak 2023 sudah ramai ribut soal royalti. Banyak yang bingung harus komunikasi ke mana. Kami akhirnya pelajari dari hulu ke hilir, termasuk regulasi PP 56/2021. Dari situlah kami kembangkan sistem agar semua lebih transparan,” ujar Vedy Eriyanto di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (19/8/2025).
VNT Networks kemudian memperkenalkan empat platform digital: Velodiva untuk pemutaran musik di ruang komersial, Velostage untuk pencatatan musik di acara live, Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM), serta Pustaka Data Lagu dan Musik (PDLM).
Velodiva, menurut Vedy, memungkinkan hotel, restoran, atau pusat hiburan memainkan musik secara legal sekaligus otomatis melaporkan penggunaannya ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Menggunakan Ccara tersebut, royalti bisa tercatat lebih akurat tanpa bergantung pada survei manual.
“Kalau pakai alat deteksi konvensional, hasilnya acak dan noise besar. Kami membangun teknologi agar laporan jelas dan real-time,” kata Vedy.
Sementara SILM dan PDLM berfungsi sebagai tulang punggung tata kelola.
SILM menampung dan mengolah data penggunaan musik dari berbagai sektor, sementara PDLM menjadi pustaka metadata lagu, baik lokal maupun internasional.
Sistem ini, kata Vedy, menjawab masalah klasik yang kerap dipersoalkan musisi.
"Ari Lasso pernah klaim lagunya diputar di banyak tempat tapi royalti yang diterima kecil. Itu karena hulu sistemnya tidak jelas. Ada yang bayar tapi tidak lapor, ada yang tidak bayar sama sekali," jelasnya.
Vedy menegaskan, solusi yang mereka bangun bukan sekadar pemutar musik, melainkan infrastruktur tata kelola royalti yang utuh.
"Royalti di Indonesia masih pakai sistem blanket license. Kami ingin bantu agar prosesnya lebih adil. Begitu pengguna bayar langganan, laporan otomatis masuk, distribusi jelas, semua transparan," katanya.
Adapun Velostage disiapkan untuk dunia konser dan acara langsung. Melalui platform ini, promotor bisa mendeklarasikan daftar lagu yang dimainkan, artis yang tampil, hingga lokasi acara.
Data tersebut menjadi dasar distribusi royalti kepada para pencipta dan pemilik hak.
Meski sudah mendapat perhatian dari sejumlah pelaku usaha dan asosiasi, Vedy menilai adopsi sistem ini tetap membutuhkan dukungan pemerintah.
"Hari ini LMKN selalu bilang belum ada SILM karena keterbatasan anggaran. Kami ingin menunjukkan teknologinya sudah ada, dan ini karya anak bangsa. Kalau semua pihak mau duduk bersama, masalah royalti bisa selesai," tegasnya.
Bagi Vedy, inti persoalan royalti bukan hanya pada besaran biaya, melainkan soal kejelasan dan keadilan.
“Royalti yang adil dan transparan bukan lagi mimpi. Teknologi bisa memastikan pencipta, produser, hingga co-writer tahu lagu mereka diputar di mana saja dan dapat haknya,” ujarnya.
Dengan kehadiran sistem ini, Vedy meyakini, Indonesia berpeluang memiliki tata kelola royalti yang setara dengan standar internasional.
Royalti Musik
Bahas RUU Hak Cipta di DPR, Ahmad Dhani Hampir Diusir karena Menyela Ariel dan Judika |
---|
Ariel NOAH Berharap Ada Kejelasan soal Tata Kelola Royalti: Kasihan Penyanyi jadi Takut |
---|
Besok DPR akan Rapat Bahas Peta Masalah Royalti Musik |
---|
Rapat Perdana Tim Perumus Revisi UU Hak Cipta Digelar Rabu Besok |
---|
Keras ke WAMI dan LMK, Tompi Tegaskan Kritiknya untuk Lembaga Bukan Personal |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.