Bursa Capres
Once Mekel Tolak Wacana Presiden 3 Periode dan Siap Turun ke Jalan, Itu Tidak Lucu!
Once Mekel mengaku selama ini dirinya tertarik dengan dunia politik tapi dia menolak keras wacana presiden 3 periode.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyanyi Elfonde Mekel atau akrab disapa Once berbicara soal isu skenario masa jabatan presiden tiga periode. Sebagai seorang warga negara, Once terang-terangan menolak wacana tersebut.
Once Mekel mengaku selama ini dirinya tertarik dengan dunia politik. Pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, mengatakan aktif berdiskusi politik dengan teman sebayanya di kampus.
"Saya selalu tertarik dengan dunia politik tapi tidak tertarik dengan dunia politik praktis," ujar Once.
Disampaikan Once saat berbincang dengan Manager Pemberitaan Tribun Network Rachmat Hidayat di Studio Once, kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (24/6/2021).
Tak sedikit, menurut pria kelahiran Makassar ini, yang menawarinya untuk masuk ke dunia politik praktis. "Oh iya sering dari berbagai partai," kata Once.
Eks vokalis Dewa 19 itu berpandangan bahwa menjadi seorang politisi itu harus 100 persen, terutama untuk melayani dalam cakupan masyarakat yang besar.

Bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga.
"Jadi masalah, jika lingkaran tidak besar tapi mau ikut politik. Lingkaran kepedulian kecil begitu ikut politik cuma cari uang untuk memenuhi lingkaran itu saja. Kita harus punya kepedulian yang besar buat orang-orang lain."
"Lebih baik kita harus mampu untuk mawas diri," tutur Once.
Once memilih tetap berada di jalur musik. Namun, tetap mengamati dunia politik sebagai masyarakat Indonesia. Karenanya begitu mendengar ada isu masa jabatan tiga periode, Once terang-terangan menolak wacana tersebut.
Dia juga meyakini Presiden Joko Widodo (Jokowi) enggan untuk menjabat tiga periode. Toh, sudah disampaikan berulang kali diberbagai kesempatan, bahwa Jokowi menolak hal tersebut.
"Ya iya lah (turun ke jalan). Masa periode ketiga? Tidak lucu lah," tutur Once.
Berikut petikan wawancara eksklusif Tribun Network bersama Once:
Anda tertarik ke dunia politik?
Oh saya selalu tertarik dengan dunia politik tapi tidak tertarik dengan dunia politik praktis. Kalau dunia politik saya selalu tertarik untuk mengamati dan menganalisa.
Waktu mahasiswa banyak teman aktivis. Saya seumuran dengan Fadli Zon. Banyak teman-teman seumuran saya, dari angkatan 98.
Saya juga ikut dalam diskusi politik di kampus. Ada peristiwa penting dalam hidup saya yang merasa, politik (praktis) itu harus dijauhi karena politik itu harus ditekuni 100 persen.
Kalau tidak akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Dulu ada teman saya, yang pikir saya senang politik. Mereka suka ngajak. Saat ada pergolakan di markas PDI, saya disuruh ambil paket di LBH oleh teman kampus.

Lalu saya jalan banyak tentara, massa, itu tahun 1996. Reformasi dimulai awalnya dari peristiwa Kudatuli. Saya ambil paketnya dari LBH, saya taruh di angkutan umum.
Pas sudah dekat rumah, saya buka paketnya, isinya pamflet untuk melawan dengan gambar kepalan. Kalau digeledah sama tentara bisa digebukin aparat. Itu satu kisah. Banyak hal lain.
Saya merasa tidak punya potongan politisi. Politik itu harus 100 persen atau tidak sama sekali. Jadi musik saja lah, saya terpanggil. Tapi kalau politik mengamati.
Kalau politik harus 100 persen politik. Teman-teman saya ditangkap di rezim Pak Harto. Beberapa teman saya dipenjara.
Saya pikir tidak kuat mengikutinya. Tapi beberapa teman ini suka ngumpul untuk menganalisa kebijakan publik, tapi tidak serius.
Kalau sekarang sudah terlalu banyak orang hebat, nanti terlalu berisik. Jadi saya pikir tekuni musik saja.

Saya juga mengukur, kalau orang mau masuk politik harus bisa mengukur lingkarannya kecil apa besar. Ada orang lingkaran kecil ikut politik buat apa. Misal, hanya dia keluarganya.
Yang masalah lingkaran tidak besar tapi mau ikut politik. Lingkaran kepedulian kecil begitu ikut politik cuma cari uang untuk memenuhi lingkaran itu saja.
Kita harus punya kepedulian yang besar buat orang-orang lain. Lebih baik kita harus mampu untuk mawas diri.
Anda sering ditawari masuk partai politik?
Oh iya sering. Dari berbagai partai. Banyak ya. Saya cuma bilang saya belum selesai dengan diri saya sendiri. Saya masih mau cari uang, masih mau coba bikit di dunia usaha. Bukan tidak peduli dengan orang banyak.
Sebenarnya saya suka lebih aktif. Tapi saya pikir, politisi ideal harus selesai dengan dirinya sendiri dan mau melayani orang banyak.

Orang seperti Jokowi mungkin lingkarannya se-Indonesia. Soekarno lingkarannya Asia-Afrika mungkin dunia. Dia lingkarannya besar banget.
Wacana Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 bagaimana Anda melihatnya?
Tidak mungkin karena Pak Jokowi tidak berminat untuk mencalonkan diri lagi. Selain itu memang itu melanggar konstitusi, yang diperbolehkan hanya dua periode. Saya kira memang orang bisa saja punya wacana wah omongan saja.
Saya kira tidak. Kalau Pak Jokowi bilang tidak berencana dan tidak berminat untuk periode ketiga saya rasa itu super serius.
Baca juga: Once Mekel Sebut Pandemi Covid-19 Momen Musisi Muda Berlatih dan Berkarya di Rumah Saja
Kalau itu memang serius begitu itu terlalu menabrak aturan. Presiden Jokowi sering langkah kuda, tapi kalau menginginkan periode ketiga, itu bukan main catur lagi tapi menghancurkan.
Indonesia itu perlu juga ikut aturan yang ada. Dan lebih tinggi lagi menciptakan kebiasaan kenegaraan, budaya politik yang sehat.

Di Amerika saja mungkin cuma satu presiden yang empat masa jabatan, yakni Franklin D Roosevelt, itu pun karena super darurat. Kalaupun Pak Jokowi berniat saya tidak akan support dan saya akan menentangnya.
Ada rencana turun ke jalan?
Ya iya lah masa periode ketiga. Tidak lucu lah. Lagi pula Indonesia banyak pemimpin yang bagus. Ada lagi pemimpin-pemimpin yang akan tampil cuma kita harus memagari dia dengan aturan-aturan politik yang sehat dan budaya politik yang bagus di Indonesia.
Jangan bikin permainan kacau dan contoh yang buruk.
Kriteria next presiden menurut Anda?
Saya pikir Indonesia sudah punya pimpinan yang banyak bicara, sudah dari kalangan militer, represif, sedikit banget bicaranya. Lalu seperti apalagi yang kita perlu. Itu dinamis. Masyarakat akan berubah-berubah.
Namanya manusia kalau bosen ya. Masyarakat butuh pemimpin yang lebih komunikatif, artikulatif, Pak Jokowi hebat sekali bekerja, sedikit bicara.
Baca juga: Once Mekel Rasakan Pentingnya Berwiraswasta, Bisa Isi Dompet Saat Job Musik Sepi karena Pandemi
Bukan orang tidak suka itu, mungkin masyarakat menginginkan gaya yang berbeda.
Saya sendiri tidak suka pemimpin yang banyak bicara. Kadang-kadang orang banyak bicara kerjanya tidak bagus walaupun tidak semua.
Tapi kita tetap memerlukan pemimpin yang artikulatif, bisa merangkul semua orang dari berbagai golongan, karena masyarakat kita tetap terpolarisasi.

Dia harus punya agenda merangkul semua. Indonesia ada di masa krusial.
Orang-orang mengepalkan tangan, tegakkan keadilan, Pancasila, kehormatan kepada perbedaan. Tapi pada akhirnya kita harus membuktikan. Narasi tidak ada gunanya kalau kenyataannya berbeda.
Kita prinsip keren-keren tapi keadaan nyata luntur semua prinsip. Peraturan-peraturan itu gugur oleh suara-suara mayoritas.
Baca juga: Once Mekel Bicara Nasib Musisi Indonesia Pada Masa Pandemi Covid-19: Sulit Diprediksi
Keputusan pengadilan, MA, itu bisa dikalahkan suara mayoritas. Ini tidak sehat. Negara tidak bisa dipimpin oleh orang-orang yang memegang prinsip negara kita.
Kalau kita harus punya pimpinan yang menerapkan itu, bukan hanya prinsip kosong tidak berdaya ketika ada tantangan. Saya berharap ada ketegasan, dan menegakkan prinsip kenegaraan dengan benar.
Tidak perlu banyak bicara, kerja banyak, dan agenda yang berikut kalau kita lihat sekarang banyak kerja. Yang berikut menerapkan prinsip kenegaraan yang tegas. Kalau pekerjaan dan infrastruktur kita sudah lihat.
Kabarnya pernah berduet dengan Sri Mulyani, bagaimana ceritanya?
Itu kan saya menjadi bagian dari sebuah acara untuk penggalangan dana.
Dimana dananya akan dikumpulkan alumni UI nanti disumbangkan kepada korban-korban bencana alam dan pihak-pihak yang memerlukan di saat-saat yang tepat.
Saya melibatkan diri di acara itu, sebagai lulusan UI. Hari itu memang kita alumni, saya diminta teman-teman pengurus untuk ikut serta.
Lalu ada punya ide bagaimana kalau Anda nyanyi dengan Sri Mulyani. Supaya lebih banyak sumbangan. Saya sih mau saja.
Selain bisa membantu untuk mengumpulkan uang, saya juga bangga bisa nyanyi dengan Sri Mulyani. Nah buat saya sosok Sri Mulyani unik. Saya kenal beliau cukup lama.
Mungkin enam-tujuh tahun lalu. Ada beberapa acara yang saya datang. Ada acara santai. Ada juga satu kesempatan Ibu Sri Mulyani membuat lirik untuk lagu teman saya.
Saya menjadi perantara antara yang punya lagu dengan Ibu Sri Mulyani. Ibu Sri Mulyani benar-benar membuat lirik. Lalu dia e-mail liriknya, dan menjadi suatu lagu.
Lagu tentang wanita. saya melihat beliau memang wanita yang teguh dan cerdas. Punya warna-warna atau jiwa seni juga.
Ketika saya manggung dengan Bu Sri Mulyani di rumahnya, di antara kesibukan banyak, dia masih punya energi untuk melakukan kegiatan seni. saya sangat menghargai ya. Suatu yang istimewa dari beliau.
Latihannya tidak lama. Hari itu saya tidak direncanakan untuk nyanyi di jam itu, tapi karena ada perubahan rencana. Jadi saya datang.
Saya abis begadang tidur jam 04.00. Syuting jam 11 atau setengah 12 siang.
Ada latihan tiga atau empat kali. Saya kasih tahu ke Bu Ani. Enaknya seperti ini bagi suaranya. Bikin sedikit variasi. Yang mengiringi Erwin Gutawa. Pengalaman unik.
Bagaimana soal prosesi Sabda Alam?
Lagu Sabda Alam itu yang kami rekam sebetulnya sudah direkam sekitar empat tahun lalu. Tapi tidak pernah dirilis.
Jadi setelah empat tahun dibiarkan di label saya. Kemudian label lama tempat saya bergabung ngajak untuk yuk rilis saja.
Daripada tidak jadi apa-apa. Untuk tambah-tambahan di masa covid dan kreasi. Dirilis lah kemudian bikin video clip. Empat tahun lalu yang bikin musik Pay Slank. Mengarang Chrisye dan Junaedi.
Jadi sebetulnya sudah kerjaan lama. Tapi buat video clip yang baru. Di Puncak. Syukur dapat tanggapan yang lumayan.
Ada sisi personal dari lagu Sabda Alam buat Anda?
Sebetulnya saya senang sama lagu-lagu bikinan orang dulu. Lirik-liriknya tidak terperangkap dalam perasaan suasana hati aku dan kamu, kamu dan aku.
Bolak-balik saja. Musisi atau pengarang lagu dulu, sering membuat lagu-lagu yang deskriptif.
Suasananya terlihat, meskipun kita tidak melihat. Kita bisa merasakan suasana itu dari pemilihan kata-kata dan melodi yang sesuai. Lagu Chrisye, Eros Djarot, Debby Nasution, generasi di zaman itu banyak sekali yang sangat deskriptif.
Kita kalau lihat itu seperti melihat film. Beda sama beberapa lagu yang bicaranya ya aku-kamu, aku sakit hati, bukannya jelek ya. Tapi itu bedanya.
Progresi-progresi chord lagu-lagu di zaman Chrisye ini memungkinkan kita terbawa suasana yang lebih deskriptif dalam lagunya. Lagu dulu misal Lilin Kecil, depannya
"Oh.manakala mentari tua lelah berpijar,". Sabda Alam gitu juga kan, "Kicau burung bernyanyi tanda buana membuka hari. Dan embun pun memudar menyongsong fajar," kita masuk dalam suasana pagi.
Jadi itu yang unik dari generasi emas musik tersebut. Eros Djarot, Jockie Surjoprajogo, Chrisye, saya kira itu yang seru dari generasi mereka.
Musiknya juga banyak aransemen yang menunjang pemilihan kata itu lebih deskriptif. Visualisasi dalam lagu itu lebih hidup.
Generasi emas zaman dulu dan zaman sekarang apa pembedanya?
Saya tidak tahu juga ya apa bedanya. Kecuali teknologi sekarang lebih hebat saja. Banyak musisi sekarang yang hebat-hebat.
Cuma kadang-kadang tidak kelihatan karena terlalu banyak suplai musik di pasar Indonesia.
Apalagi yang jago-jago malu-malu untuk tampil. Lebih tidak kelihatan lagi. Orang yang ikut Indonesia Idol, ikut lomba nyanyi di TV. Yang tidak ikut mungkin banyak.
Apa banyak yang jago tapi tidak ikut? Banyak. Yang belum ikut saja.
Saya melihatnya perbedaan di teknologi. Teknologi membuat banyak orang bisa memproduksi lagu, bisa nyanyi, bagus banget ada lomba nyanyi di TV.
Karena nyanyi di TV itu sulit banget. Secara live, karena kita akan melihat dari rumah kesalahan-kesalahan lebih jelas.
Kalau kita rekaman kan kita bisa dengar karena volumenya kecil. Kalau dipanggung kan kita terbawa suasana. Sebetulnya sulit main di TV, tapi saya lihat banyak yang bagus-bagus nyanyi di ajang pencarian bakat di TV.
Masalahnya banyak lagi musisi-musisi hebat tenggelam oleh sensasi-sensasi yang lain. Yang berbeda. Teknologi memungkinkan begitu banyak orang bisa membuat musik, bernyanyi. Persaingan musisi sekarang lebih sulit.
Kita makanya tidak bisa dengan mudah melihat, siapa musisi yang wow. Mereka tenggelam, ada dalam saingan yang luar biasa.
Dulu kita jauh lebih ringan. Musisi rock itu, Dewa, Sheila on 7, Jamrud, Padi, dll. Itu saja di top ten. Kalau sekarang saingannya bukan main.
Anak-anak sekarang banyak juga yang bagus. Liriknya banyak juga yang deskriptif, mesti akui seperti Tulus, Pamungkan, Hindia, Raisa juga bikin liriknya bagus. Cuma kita mendapatkan sensasi sebesar Dewa atau apa karena saingannya banyak.
Raisa hits-nya banyak. Dulu ada namanya Reza hits juga banyak lagunya. Cuma di zaman dulu saingannya Reza tidak terlalu banyak.
Raisa hari ini saingannya banyak banget. Tiap dua minggu turun lagi ganti jagoan baru. Musisi hebat banyak, yang harus membuktikan diri berbeda dari musisi iseng-iseng.
Tadi saya bilang, seleksi Covid-19 akan ada seleksi alam. Apakah kita benar-benar serius menjadi musisi yang berdedikasi.
Atau cuma iseng-iseng. Kalau iseng mungkin sudah berhenti, lalu bikin usaha lain atau jadi YouTuber atau apapun.
Musisi tulen tetap berkarya, latihan, evolve, ambil positifnya saja. Saya rasa tidak ada bedanya dengan zaman dulu. Musisi Indonesia hebat-hebat.
Kalau sekarang mungkin banyak saingan juga dengan entertain lain, seperti YouTuber, komedian, belum lagi jaringan TV digital, Netflix, Mola TV, dan sebagainya.
Kalau dulu musik menempati tempat tertinggi saat remaja. Musisi Indonesia tantangannya berat.
Saya selalu menyuarakan untuk dorong pemerintah bekerja sama dengan swasta membuat gedung yang keren-keren di Indonesia. Supaya kita bisa manfaatkan momentum digital network.
Orang bisa menghubungkan penggemar dengan muda di sosial media. Kalau seorang artis bisa mengakses penggemarnya dengan mudah, mempromosikan event-event dengan mudah, dan ada gedung yang representatif.
Artis-artis, penyanyi, musisi yang serius bisa punya masa depan pendapatan yang lebih baik dari penampilan yang artistik karena ditunjang fasilitas gedung yang bagus. (tribun network/denis destryawan)