Kabar Artis
Shandy Aulia Alami Mom Shaming setelah Beri MPASI Sang Anak, Pegiat Smart Parenting Beri Tanggapan
Shandy Aulia mengalami mom shaming setelah umumkan beri MPASI pada sang anak di usia 4 bulan. Pegiat smart parenting beri tanggapan.
"Jadi lebih reaktif daripada dipikir duluan. Itulah kenapa perempuan itu biasanya lebih main pada perasaan daripada hal-hal yang bersifat logika," lanjutnya.
Oleh karena itu, Nina mengatakan, hal ini tentunya dapat dikendalikan dengan melatihnya.
Baca: Pro Kontra Pemberian Madu untuk MPASI Anak Shandy Aulia, Amankah Madu untuk Bayi?
Menurut Nina, apabila seseorang dapat membiasakan diri untuk melatih otak neokorteksnya, yaitu otak yang dominan dengan kemampuan logika, maka mereka tidak akan memiliki waktu untuk melakukan mom shaming.
"Otak neokorteks dengan otak reptil ini tidak bisa menyala bersama-sama, sehingga kalau neokorteksnya menyala, reptilnya akan padam."
"Sehingga kalau seseorang terbiasa dilatih pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang positif, akademis, berbobot, biasanya mereka tidak punya waktu untuk mom shaming, body shaming, or comenting to order actions gitu karena otaknya sudah biasa untuk memikirkan hal-hal yang lebih baik," jelas Nina.
Akan tetapi, Nina mengatakan, berdasarkan observasi yang pernah ia lakukan, para ibu saat ini lekat dengan sesuatu yang serba instan.
Menurutnya, hal itu kemudian akan mempengaruhi kemampuan untuk bersabar dan berpikir sebelum bertindak.
"Saya kurang begitu paham ya untuk masalah seperti generasi milenial, generasi X, generasi Y, tapi angkatan saya ke bawah artinya jadi ibu di usia 20-an sampai 30-an tahun itu biasanya memang lebih memilih sesuatu yang cepat."
"Artinya mereka tidak dibangun, tidak dibiasakan untuk bersabar, tidak dibiasakan untuk berpikir sebelum bertindak, semuanya serba instan, semuanya serba segera," bebernya.
"Nah mereka yang reaktif biasanya akan lebih banyak menuai pro dan kontra, mereka yang reaktif akan lebih banyak untuk memperbaiki sesuatu daripada mencegah sesuatu," tambahnya.
Sementara itu, Nina menilai, saat ini semakin banyak orang yang kurang menyaring perkataannya dalam memberi komentar ataupun berpendapat.
Menurutnya, hal itu juga tak terlepas dari kebebasan berpendapat saat ini.
Sayangnya, Nina menambahkan, kebebasan tersebut justru membuat sejumlah orang tidak memikirkan konsekuensi dari perkataannya.
"Karena kebebasan berpendapat yang sudah sebegitu bebasnya, mereka juga kurang memikirkan hal-hal yang bisa menjadi konsekuensi dari yang mereka katakan, bahwa ini bisa menjadi social judging, bahwa ini bisa membuat orang lain depresi."
"Empati kepada orang lain pun menjadi kian pupus, kian tipis karena yang ada di pikiran mereka adalah saya, saya, dan saya, mereka merasa menjadi the center of universe," ujarnya.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta)