Pengacara Sebut KPU Tak Bisa Disalahkan Buntut Buron Pembunuhan Anak Dapat SKCK Jadi Anggota DPRD
Pengacara menyebut KPU tidak perlu sampai kroscek atau memeriksa ulang ke kantor polisi terkait SKCK para calon legislatif yang mendaftar.
TRIBUNNEWS.COM - Pengacara Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Young Lawyers Committee Surakarta, Agung Handi, mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bisa disalahkan dalam kasus buronan 11 tahun kasus pembunuhan anak, La Ode Litao, yang mendapatkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari kepolisian untuk menjadi anggota legislatif.
SKCK sendiri sering menjadi syarat mutlak bagi masyarakat yang hendak melamar pekerjaan, mulai dari buruh pabrik hingga pegawai negeri.
Litao diketahui bisa mendapatkan SKCK dan lolos menjadi anggota DPRD Wakatobi Fraksi Partai Hanura pada Pemilu 2024 lalu.
Padahal, dia masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus pembunuhan seorang remaja pada 2014 silam.
Polres Wakatobi, Sulawesi Tenggara pun mengungkapkan terdapat kelalaian dari internal aparat yang menerbitkan SKCK untuk Litao karena tidak melakukannya sesuai prosedur yang berlaku.
Sementara dari pihak KPU, mengungkapkan penerbitan SKCK itu bukanlah wewenang dari KPU sebagai penyelenggara Pemilu untuk mengurusnya.
Sebab, menurut aturan yang berlaku, syarat administrasi calon legislatif adalah surat pernyataan tidak pernah dipidana yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri.
Apalagi, saat masa tanggapan terhadap daftar calon sementara, tidak ada keberatan dari masyarakat, sehingga berkas pencalonan Litao tetap sah secara administratif.
Agung pun menyatakan, secara normatif, KPU memang tidak bisa disalahkan dalam kasus ini.
Pasalnya, secara peraturan, KPU telah menjalankan tugas mereka sesuai aturan yang berlaku.
"Sebetulnya KPU memang secara formal ya, secara normatif, mereka tidak bisa disalahkan kalau menurut saya, karena mereka telah menjalankan yang namanya perintah undang-undang atau peraturan KPU."
"Mereka (KPU) telah menjalankan syarat-syarat yang telah mereka minta gitu, termasuk dalam hal ini SKCK," jelas Agung dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews di program Kacamata Hukum, Senin (15/9/2025).
Baca juga: Fakta SKCK yang Loloskan Litao jadi Anggota DPRD Wakatobi, Berstatus DPO Sejak 2014
Agung juga menjelaskan KPU tidak perlu sampai kroscek atau memeriksa ulang ke kantor polisi terkait SKCK para calon legislatif yang mendaftar.
Sebab, produk hukum seperti SKCK yang secara resmi dikeluarkan oleh polisi itu sudah seharusnya bisa menjamin seseorang bersih dari pidana.
"Ketika mereka (KPU) dapat SKCK, mereka kan tidak mungkin untuk kroscek ke kantor kepolisian, artinya mereka sudah percaya bahwa produk hukum yang dikeluarkan oleh kepolisian ini merupakan produk resmi, dalam artian menjamin bahwa calon legislatif ini bersih dari pidana," kata Agung.
Kendati demikian, berkaca dari kasus ini, Agung berharap ke depannya KPU juga bisa memperbaiki sistem yang ada untuk mencegah agar hal serupa tidak terulang kembali.
Agung pun menyarankan agar KPU menambahkan poin dalam peraturan KPU terkait sistem atau aplikasi untuk mengecek rekam jejak seseorang.
"Namun, dalam hal ini menurut saya, ke depan perlu juga diatur dalam peraturan KPU, jadi harus ada sistem atau aplikasi untuk langsung mengecek, agar tidak kecolongan lagi seperti ini."
"Oke kepolisian menerbitkan SKCK, tapi KPU juga harus punya yang namanya sistem untuk mengecek, dalam artian, misalnya kita input nomor KTP, di situ kelihatan misal masuk daftar hitam atau daftar merah, orang-orang yang pernah dipidana. Itu mungkin bisa sebagai masukan ke depan untuk KPU," ujar Agung.
Sebagai informasi, aparat yang menerbitkan SKCK Litao, yaitu Mantan personel Reskrim Polres Wakatobi, Aiptu S, kini telah dijatuhi sanksi berupa demosi atau penurunan jabatan selama 3 tahun.
Selain itu, dia juga dimutasi ke Polres Butan Utara, sekaligus batal mengikuti pendidikan perwira.
Litao pun telah ditetapkan sebagai tersangka dan dipanggil oleh penyidik untuk pemeriksaan selengkapnya.
Penanganan kasus pembunuhan terhadap anak yang diduga dilakukan oleh Litao pun kini terus berlanjut.
Insiden pembunuhan terhadap almarhum Wiro (17), anak di bawah umur ini, terjadi di Lingkungan Topa, Kelurahan Mandati I, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, pada 2014 lalu.
Dalam perjalanannya, dua pelaku telah divonis Pengadilan Negeri (PN) Baubau pada tahun 2015.
Sementara itu, Litao melarikan diri dan sempat masuk dalam DPO dari Polres Wakatobi.
Litao diketahui baru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sultra pada 2025, atau setelah 11 tahun lamanya.
Padahal Litao sempat membuat SKCK di Polres Wakatobi sebelum terpilih menjadi Anggota DPRD.
Litao Janji Hadapi Proses Hukum
Terkait kasus ini, Litao telah memberikan pernyataannya dan berjanji akan menghadapi proses hukum yang saat ini menyeret namanya itu.
Melalui kuasa hukumnya, Jayadin La Ode, Litao mengungkapkan dirinya siap menjalani pemanggilan Polda Sulawesi Tenggara.
Namun, pada pemanggilan pertama 2 September 2025, Jayadin menyebut Litao telah meminta penangguhan pemeriksaan.
Saat dikonfirmasi TribunnewsSultra.com, Litao mengaku tidak bisa hadir pemeriksaan karena masih berada di Kabupaten Wakatobi, sehingga belum dapat memberikan pernyataan resmi hingga saat ini.
Jayadin juga memastikan Litao akan kooperatif menghadapi proses hukum ini.
Dia juga menjelaskan, terkait kasus pembunuhan 11 tahun lalu yang menyeret kliennya itu, diperlukan diskusi bersama Pimpinan, pihak Partai Hanura, hingga kuasa hukum untuk persiapan pembelaan.
"Yang bersangkutan sebagai Anggota DPRD Wakatobi untuk beberapa hari ini perlu konsultasi kepada Pimpinannya, Partai dan juga kuasa hukumnya untuk persiapan pembelaan," jelasnya.
Litao bakal dijemput paksa jika tak menghadiri panggilan kedua dari pihak kepolisian nanti.
Hal tersebut disampaikan Kasubdit IV Renakta Direskrimum Polda Sultra, Kompol Indra Asrianto, saat ditemui jurnalis TribunnewsSultra.com.
Kompol Indra Asrianto memastikan proses penyelidikan kasus ini terus berlanjut dan pihaknya kini juga telah memanggil Litao untuk diperiksa di Polda Sultra di Kendari.
"Kalau tidak hadir (lagi), kami akan terbitkan Surat Perintah Membawa (SPM)," ungkapnya, Rabu (10/9/2025).
SPM adalah surat yang dikeluarkan oleh penyidik untuk membawa paksa saksi atau tersangka yang tidak memenuhi panggilan sebanyak dua kali, sesuai dengan Pasal 112 ayat (2) dan 154 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Surat ini berfungsi sebagai perintah kepada petugas untuk mendatangkan seseorang yang tidak kooperatif ke hadapan penyidik atau hakim untuk dimintai keterangan.
(Tribunnews.com/Rifqah) (TribunnewsSultra.com/Desi)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.