Senin, 29 September 2025

Panen Padi Perdana di Distrik Wanam Merauke dapat Dukungan dari Haji Isam

Sebanyak 2,5–2,8 ton padi per hektare (Ha) berhasil dipanen di Distrik Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Penulis: Erik S
Editor: Hasanudin Aco
Istimewa
KUNJUNGI PAPUA - Presiden Prabowo Subianto saat berkunjung ke Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, beberapa waktu lalu. Presiden menyempatkan melihat panen padi kala itu. 

TRIBUNNEWS.COM, MERAUKE -  Sebanyak 2,5–2,8 ton padi per hektare (Ha) berhasil dipanen di Distrik Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, pada Jumat pekan lalu (16/5/2025).

Pengamat ekonomi dan kebijakan publik UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) Freesca Syafitri menilai program cetak satu juta hektare sawah di Papua Selatan sebagai proyek nasional yang digagas Presiden Prabowo Subianto itu telah membuka lembaran baru. 

"Tidak hanya dalam ketahanan pangan nasional, tetapi juga dalam politik pembangunan nasional yang lebih adil secara spasial dan sosial," tutur Freesca saat dihubungi  di Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Keberhasilan panen perdana itu tak lepas dari peran besar pengusaha asal Kalimantan Selatan, Andy Syamsuddin Arsyad atau biasa disapa Haji Isam yang sejak awal berkontribusi sangat banyak mewujudkan gagasan pemerintah menjadikan Papua Selatan sebagai salah satu lumbung pangan di Tanah Air.

Pemilik Jhonlin Group itu tahun lalu memesan 2.000 unit ekskavator dari China guna mendukung program cetak satu juta hektare sawah. 

Menurut Freesca, keberhasilan panen perdana tersebut mematahkan pesimisme sebagian kalangan bahwa Papua Selatan dapat dijadikan lumbung pangan.

Freesca menyebutkan selama bertahun-tahun, determinisme ekologis telah membentuk persepsi pembangunan bahwa hanya wilayah-wilayah tertentu yang layak digarap untuk sektor pangan. Namun, survei tanah dan air membuktikan bahwa kawasan Wanam memiliki kesesuaian tinggi untuk pertanian. 

"Dengan pemilihan varietas adaptif seperti Inpara dan metode tanam sederhana, hasilnya mampu menandingi kawasan sentra pertanian konvensional. Hal ini menjadi kritik penting terhadap pendekatan pembangunan yang terlalu bergantung pada input modern dan sering mengabaikan potensi lokal," kata Freesca.

Menurut Freesca, lebih dari sekadar keberhasilan teknis, panen di Papua Selatan juga menandai transformasi sosial yang fundamental. Masyarakat yang sebelumnya menggantungkan hidup pada pola berburu kini mulai dikenalkan pada pertanian. Bukan dengan pemaksaan, tetapi melalui pendekatan edukatif yang pelan namun menyentuh akar. 


"Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal investasi fisik, melainkan juga pembentukan agricultural citizenship, warga negara yang sadar akan peran mereka dalam sistem pangan," ujar Freesca menerangkan.


Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UPN Veteran Jakarta dan Wakil Direktur German Centre itu menyoroti dalam konteks geopolitik pangan global yang makin rentan, Indonesia membutuhkan model pembangunan pangan yang tidak semata mengejar surplus produksi, tetapi juga memastikan distribusi geografis dan sosial yang adil. 


"Proyek di Papua Selatan berpotensi menjadi preseden bagi paradigma baru, yakni bahwa pembangunan pangan tidak harus bersifat eksploitatif, tetapi regenerative baik terhadap tanah maupun masyarakatnya," kata Freesca.

Ia menilai keberhasilan panen perdana di Wanam, menandai awal dari reorientasi geopolitik pangan nasional ke wilayah timur Indonesia. Selama ini, narasi ketahanan pangan terpusat di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera, sementara kawasan timur hanya dianggap sebagai penyangga. "Keberhasilan ini menunjukkan bahwa Papua tidak hanya sebagai objek pembangunan, tetapi mampu menjadi subjek kunci dalam arsitektur baru ketahanan pangan berbasis kawasan," jelasnya.

Dari Pertanian Modern Menuju Pertanian Kontekstual

Freesca mencermati keberhasilan panen tanpa bahan kimia sintetis di Papua Selatan memberi pelajaran penting, yaitu modernisasi pertanian tidak selalu identik dengan mekanisasi. Justru, menurut dia, konteks lokal dan kearifan ekologis dapat menghasilkan model pertanian berkelanjutan yang lebih resilien terhadap krisis iklim. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan