Taruna STIP Tewas Dianiaya
Update Taruna STIP Tewas Dianiaya: Korban Sempat Curhat ke Pacar, Keluarga Pelaku Belum Minta Maaf
Penganiayaan yang dilakukan Tegar Rafi Sanjaya (21), terhadap Putu Satria Ananta Rustika (19) hingga tewas bukan kali ini saja terjadi.
Hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai senioritas di STIP.
"Jadi kita akan putus satu angkatan, memutus tradisi jelek dan tidak ada lagi senior junior," terangnya.
Baca juga: Langkah Kemenhub usai Kasus Tewasnya Taruna STIP: Direktur Dibebastugaskan hingga Ubah Kurikulum
Sistem asrama yang selama ini senior dan junior tinggal bersama juga akan diubah.
"Kami juga akan libatkan orangtua untuk ikut mengasuh anak didik, melalui komite sekolah," sambungnya.
Seragam serta atribut dinas STIP yang menunjukkan ada perbedaan senior dan junior juga diubah.
"Ke depan semua atribut kami hilangkan. Kami akan gunakan yang lebih humanis. Tidak setiap hari kami gunakan seragam itu (dinas), tapi ada seragam putih, batik, olahrahraga, dan libur bisa pakaian bebas," pungkasnya.
Peran 4 Tersangka
Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Pol Gidion Arif Setyawan, mengatakan keempat tersangka memiliki peran yang berbeda.
Tersangka FA berperan memanggil korban dan empat temannya dari lantai 3 ke lantai 2.
Korban dan teman-temannya dianggap melanggar lantaran masih mengenakan seragam olahraga yang seharusnya sudah mengenakan seragam dinas STIP.
"Ini yang diidentifikasi menurut persepsi senior tadi, salah atau menggunakan pakaian olahraga memasuki ruang kelas dengan mengatakan 'Woi, tingkat satu yang pakai PDO (pakaian dinas olahraga), sini!'," ungkapnya menirukan teriakan tersangka, Rabu (8/5/2024), dikutip dari TribunJakarta.com.
Baca juga: Profil Ahmad Wahid, Ketua STIP yang Dibebastugaskan Buntut Kasus Taruna Tewas, Punya Harta Rp 12,4 M
FA juga terekam kamera CCTV berdiri di depan toilet untuk mengawasi.
Kombes Pol Gidion menambahkan, tersangka WJP memprovokasi Tegar melakukan hukuman kekerasan ke korban.
WJP juga meminta korban membuktikan kekuatan fisiknya saat menerima hukuman pukulan.
Menurutnya, kata-kata provokasi yang digunakan tersangka hanya dipahami sesama taruna sehingga penyidik mendatangkan ahli bahasa menjadi saksi.
"Saudara W mengatakan 'jangan malu-maluin CBDM, kasih paham'. Ini bahasa mereka, maka itu kami menggunakan atau melakukan pemeriksaan terhadap ahli bahasa, karena memang ada bahasa-bahasa pakemnya mereka yang kemudian mempunyai makna tersendiri," lanjutnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.