Senin, 6 Oktober 2025

Rancangan KUHP

Kominfo Libatkan Masyarakat dan Akademisi Palu Sosialisasikan RUU KUHP

Kementerian Kominfo mengatakan perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehen

Penulis: Erik S
Editor: Johnson Simanjuntak
Ist
Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo, Bambang Gunawan  saat Sosialisasi RUU KUHP, di Palu, Selasa (15/11). 

“Walaupun sudah dinaturalisasi, karena itu merupakan produk kolonial Belanda, pasti belum mendasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terkait dengan perlindungan dasar falsafah negara kita Pancasila,” ungkapnya.

Menurut sejarahnya, ide pembaruan KUHP diawali sejak lahirnya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada 1958 yang kini sudah berganti nama menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Benny juga menjabarkan perbedaan antara KUHP WvS dan RUU KUHP, di mana secara sistematika ada perbedaan dalam jumlah buku. KUHP WvS memiliki tiga buku, sedangkan RUU KUHP memiliki dua buku saja.

“Dari tiga buku di dalam WvS, draft RUU KUHP menyederhanakan dengan menggabungkan Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran menjadi satu terminologi yang namanya Tindak Pidana. Sehingga draft RUU KUHP hanya ada dua buku, Buku I dan Buku II,” jelasnya.

Kritik-kritik yang mengatakan bahwa RUU KUHP overkriminalisasi atau banyak perbuatan yang diatur menjadi tindak pidana adalah tidak benar. Karena menurutnya, pasal-pasal yang ada di Buku II RUU KUHP lebih sedikit dari pada Buku II dan Buku III KUHP WvS digabungkan.

Benny juga mengungkapkan bahwa Komisi III DPR sudah menjadwalkan di tanggal 21-22 November untuk penetapan RKUHP ini menjadi Undang-Undang.

“Harapannya jadwal itu tidak meleset dan agenda untuk penetapan itu bisa benar-benar dilaksanakan,” harap Benny.

Lanjutnya, Benny mengatakan ada beberapa urgensitas terkait perlunya dilahirkan KUHP Nasional, antara lain telah terjadi pergeseran paradigma dari Keadilan Retributif menjadi paradigma Keadilan Korektif, Restoratif, dan Rehabilitatif.

“Dengan pergeseran paradigma ini memang menuntut KUHP WvS untuk segera diganti karena sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan hukum pidana saat ini, karena tuntutan dari paradigma baru berlaku secara universal di seluruh belahan dunia kita,” jelasnya.

Selain itu, hukum tertulis juga selalu tertinggal dari fakta peristiwanya, KUHP WvS sudah berumur 100 tahun lebih sehingga perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukumnya pasti sudah bergeser. KUHP WvS juga belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terhadap dasar falsafah negara Pancasila.

“Ini juga merupakan suatu urgensitas mengapa perlu segera dilahirkan KUHP Nasional,” ujar Benny.

Menurut Benny, lahirnya KUHP Nasional juga merupakan perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh. Hal ini merupakan kesempatan untuk melahirkan untuk melahirkan sistem Hukum Pidana Nasional yang komprehensif yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa, serta Hak Asasi Manusia yang sifatnya universal.

Pada sesi selanjutnya, Lektor Kepala Bagian Hukum Acara, Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Abdul Wahid mengatakan bahwa asas fundamental di dalam mempelajari hukum pidana adalah asas legalitas.

“Asas legalitas artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada aturannya terlebih dahulu, jadi jika tidak ada di dalam KUHP, tidak dapat dipidana. Dengan RKUHP yang baru ini, kita tidak melihat lagi asas legalitas secara kaku,” jelasnya.

Sekarang ini berkembang asas legalitas terbaru yang bersifat materil yang dikenal dengan living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi menurutnya, hukum bukan hanya apa yang kita lihat di dalam perundang-undangan, tetapi ada hukum yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat atau hukum adat.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved