Senin, 6 Oktober 2025

Liputan Khusus

Jawa Tengah Jadi Limbah Barang Bekas, Surga Bagi Penyelundup Pakaian Bekas Impor

Jawa Tengah kini jadi surga bagi para penyelundup pakaian bekas impor. Harganya memang murah, branded, tapi beresiko timbulkan penyakit.

Editor: cecep burdansyah
dok. Bea Cukai
Balpres dimusnahkan dengan cara dibakar dalam acara pemusnahan yang disaksikan oleh pejabat dari instansi terkait. 

Direktur Kepabeanan Internasional dan Antarlembaga Ditjen Bea Cukai, Syarif Hidayat menyebutkan, ketentuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) berlaku untuk pakaian baru.

"Impor pakaian bekas dilarang dengan Permendag," kata Syarif Hidayat beberapa hari lalu.

Untuk diketahui, pemerintah melarang impor baju bekas dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.

UU Perdagangan, importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Kecuali ditentukan lain oleh pemerintah pusat.

Di pasal 46 angka 17 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 51 ayat 2 UU Perdagangan juga kembali menegaskan importir dilarang mengimpor barang yang ditetapkan sebagai barang yang dilarang untuk diimpor, atau dalam hal ini pakaian bekas.

Baca juga: Mesin Parkir Puluhan Miliar di Kota Bandung Rusak Tak Berfungsi, Tarif Parkir Dinaikkan

Limbah Barang Bekas
Maraknya penjualan pakaian impor bekas (seken) berpengaruh pada aktivitas perdagangan garmen di dalam negeri.

Pengusaha garmen di Kota Semarang, Dedy Mulyadi mengatakan, fenomena jual beli pakaian bekas impor memang memiliki pengaruh terhadap perdagangan pakaian dalam negeri meski tidak terlalu signifikan.

Baginya selaku eksportir, hal itu tidak terlalu berpengaruh. Justru, pengaruh lebih kepada pedagang kecil.

"Bagi pedagang kecil, ada pengaruh. Mungkin karena harga lebih murah dibanding produksi, tapi prosentase tidak begitu besar," kata Dedy, Minggu (2/1/2022).

Dedy mengakui, harga beli baju impor bekas memang lebih murah dibanding harga produksi barang. Biasanya, ini dijualbelikan dalam kiloan atau partai besar. Hal itu yang mungkin menjadi faktor para pedagang kecil lebih memilih berdagang baju bekas.

Padahal, impor barang bekas berisiko penyakit. Apalagi, kondisi saat ini sedang dalam suasana pandemi Covid-19. Seringkali masyarakat tinggal memakai saja tanpa memikirkan risiko yang bisa timbul.

Di samping itu, impor baju bekas juga tidak diperbolehkan. Beredarnya baju bekas impor ini menandakan adanya penyeludupan.

"Secara aturan, impor baju bekas tidak boleh. Itu artinya ada penyeludupan. Itu seharusnya diselesaikan supaya negara tidak dirugikan. Tidak bayar bea masuk, kasihan pedagang di sini," ujarnya.

Menurutnya, orang-orang menyeludup baju bekas lantaran pedagang kecil tidak berproduksi karena bahan baku terlalu mahal. Impor kain, kata dia, cukup sulit.

Ada biaya masuk tambahan yang cukup tinggi. Sehingga, impor baju bekas menjadi pilihan. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada baju saja, namun barang-barang branded bekas lainnya misalnya sepatu. Bea masuk terlalu tinggi.

Jika tidak ingin Indonesia menjadi 'limbah' barang-barang bekas, pemerintah perlu membuka keran-keran impor untuk bahan-bahan khusus yang tidak diproduksi di Indonesia.

Jika tidak, penyeludupan bisa saja terjadi, satu diantarnya maraknya penjualan baju-baju bekas. Hal itu justru tidak ada kontribusi terhadap negara. (afn/eyf/jti/fba)

Baca juga: Mohctar Kusuma-atmadja Sediakan Pulau Galang bagi “Manusia Perahu” yang Malang

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved