Wawancara Eksklusif
Ini Pengalaman Anak Blasteran Bule – Jawa, Sarat dengann Tragikomedi
Menjadi blasteran bule - Jawa itu sarat dengan tragikomedi. Mulai dianggap pinter sampai ayah yang bule beristri dua.
Pernah suatu ketika suka dengan teman sekelas, lalu dia nyeletuk "Bule kan pinter, masa kamu bodoh sih," seperti itu. Tapi ya sudah, dari itu saya belajar.
Pengalaman tak mengenakan apa yang kamu pernah alami?
Ada sih pengalaman waktu SD, ditanyain apakah bapak saya punya istri lain di negara asalnya.
Mungkin stereotip, perempuan (Indonesia) yang menikah dengan bule itu menjadi istri kedua, sementara si bule sudah punya istri di negara asalnya.
Sedangkan, waktu itu saya jelaskan, bahwa orang tua saya menikah di usia yang relatif masih muda, 26 tahunan.
Tetapi ketika itu guru saya tetap kekeh, tetap tidak menerima penjelasan itu.
Menurut saya bagian itu memang tidak lucu sih. “Mbuh tenan, mbuh ora,” mungkin seperti itu dia menerimanya.
Apa susahnya menulis buku? Dibandingkan menulis esai atau blog?
Kalau nulis buku itu harus ada idenya terus, itu sih susahnya.
Berpikir cerita selanjutnya tentang apa sih, sama dikejar deadline juga sih waktu itu. Kalau nulis artikel, ya, lebih bebas dan tidak ada deadline-nya.
Bagi banyak orang Eropa, feminisme adalah hal yang diterapkan cukup mapan di sana, di sini mungkin belum.
Dengan latar belakang sebagai seorang anak yang memiliki ayah orang Eropa, apakah ini cukup mendominasi dengan pemikiran-pemikiran kamu tentang wanita?
Iya sih, ini memang juga saya rasakan.
Terutama belakangan ini, ketika teman-teman wanita saya sudah di-oyak-oyak (dikejar-kejar) harus menikah, sedangkan bapakku santai aja begitu.
Memberi kebebasan saya untuk memilih, entah itu mau bekerja, dll.