Berita Viral
Viral Kisah Wanita Dihamili & Dipaksa Aborsi, Psikolog Ingatkan Pentingnya 'Consent' dalam Hubungan
Viral sebuah kisah wanita yang dihamili dan dipaksa aborsi oleh kekasihnya, Psikolog ingatkan pentingnya 'consent' dalam hubungan.
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah utas di sosial media Twitter menggegerkan jagat maya.
Pasalnya, utas tersebut menceritakan seorang kekasih yang selama berpacaran melakukan sexual abuse.
Sexual abuse atau pelecehan seksual itu dialami oleh seorang penyintas wanita berinisial R.
R diketahui berpacaran dengan pria berinisial NC selama dua tahun.
Selama itu pula R menjadi sex slave atau budak seks kekasihnya.
Kisah memilukan itu dibagikan R kepada temannya, akun @jerujiemas, yang memviralkan cerita R.
Dalam cerita tersebut, R dihamili dan dipaksa aborsi oleh NC hingga empat kali, selama dua tahun menjalin hubungan.
Parahnya, setiap kali mereka berhubungan seksual, NC tidak ingin memakai alat kontrasepsi atau pengaman.
Baca: Viral Kisah Korban Sexual Abuse oleh Sang Pacar Selama 2 Tahun, Dihamili & Aborsi Sampai Empat Kali
R pun tidak diperbolehkan menggunakan pil KB untuk mencegah kehamilan.
Alasannya, NC tidak ingin adanya efek samping yang berkaitan dengan hormon R.
Alhasil R berulang kali hamil, dan NC pun berulang kali memaksa untuk menggugurkan kandungan.
Upaya yang dilakukan NC adalah dengan memaksa R meminum obat misoprostol, yang dikenal bisa meluruhkan janin.
Dalam cuitan panjangnya, R yang kondisinya tengah mengandung ini, segera mendatangi dokter karena pendarahan yang ia alami.
"Dokter memberitahu kepada saya bahwa mengkonsumsi misoprostol sendiri sesuai dosis itu sangat berbahaya."
"Apalagi saya telah mengkonsumsi lebih dari yang disarankan (8 biji) tanpa resep dokter."
"Dan jika saya mengkonsumsinya lagi, hal itu dapat merusak rahim saya dan dapat membunuh saya akibat kehilangan darah yang terlalu banyak," tulis R dalam utas @jerujiemas.
Kini, penyintas R tengah berjuang sendirian untuk mempertahankan janinnya.
Meski desakan untuk menggugurkan kandungan dari keluarga kekasihnya, NC, masih amat kuat.
Kisah pilu tentang penyintas R yang menjadi korban pelecehan seksual selama dua tahun pun menjadi viral di jagat maya.
Hingga Minggu (22/3/2019), cuitan tersebut telah di retweet sebanyak 50 ribu dan disukai 70 ribu warganet di Twitter.
Namun cuitan tersebut telah menghilang di Twitter karena akun @jerujiemas telah mengganti akunnya menjadi akun pribadi.

Baca: Puluhan Wanita Mengadukan Aksi Pelecehan Seksual Harvey Weinstein, Produser Film Ini Sempat Berkelit
Lantas bagaimana tanggapan Psikolog atas kasus yang dialami oleh penyintas R?
Psikolog Iis Amalia yang biasa berpraktik di Pelayanan Terpadu Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Berbasis Gender Seruni, Semarang, Jawa Tengah menekankan pentingnya 'consent' atau persetujuan dalam berhubungan.
"Wanita itu perlu tahu consent, perlu tahu bagaimana melakukan hubungan yang aman," tutur Iis kepada Tribunnews, Minggu (22/3/2020).
"Harus ada persetujuan kedua belah pihak (jika ingin melakukan hubungan seksual -red)," lanjut Iis.
Menurut Iis, consent diperlukan agar tidak menimbulkan penyakit dan kehamilan tidak terduga.
Pasalnya, selama ini, Iis banyak menemui kekerasan seksual dalam berpacaran diakibatkan adanya pemaksaan.
"Kekerasan seksual dalam pacaran itu bisa terjadi karena ada pemaksaan."
"Pemaksaan itu juga bisa dari bujuk rayu yang mengatasnamakan cinta, jadi dia (penyintas R) tidak tahu dia itu menjadi korban," ungkap Iis kepada Tribunnews melalui sambungan telepon.
Meski begitu, Iis amat mengapresiasi langkah penyintas R karena mau membuka suara atas kekerasan yang ia alami.
Baca: Aktivis Perempuan Anindya Restuviani Tanggapi Maraknya Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia
"Saya apresiasi korban mau speak up karena dia sudah sadar dan ingin mencari bantuan," imbuhnya.
Lebih lanjut, Iis mengaku khawatir karena korban menceritakannya di media sosial.
"Meski ada consent dari korban untuk di ekspose di media sosial, namun feedback yang di dapatkan dari media sosial juga berbahaya."
"Karena masih banyak masyarakat Indonesia yang menempatkan korban itu sebagai pelaku," jelas Iis.
Sebab, sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap pelecehan seksual terjadi akibat 'penampilan dari luar'.
Misalnya, pakaian yang minim dan tidak menutup aurat.
"Masyarakat Indonesia juga masih berpikir orang yang terkena pelecehan seksual itu adalah orang yang pakaiannya minim atau pulang malam."
"Padahal selama ini yang saya temui korban kekerasan seksual tidak seperti itu."
"Semuanya bisa menjadi korban, usia dua tahun pun atau lansia pun bisa, bahkan wanita berhijab dan bercadar pun bisa jadi korban kekerasan seksual," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)