Selasa, 7 Oktober 2025

Lembaga Adat Pertanyakan Sikap Polisi Terkait Dugaan Penganiayaan Pekerja TPL Terhadap Bayi 3 Tahun

Sementara, pengaduan masyarakat terhadap pemukulan Mario Ambarita anak tiga tahun belum juga ada penetapan tersangka

Tribun Medan
Marudut Ambarita (tengah) mengendong Mario Ambarita, bayi tiga tahun, korban pemukulan dari pekerja PT TPL saat terjadi bentrok di lahan sengketa PT TPL dengan masyarakat adat Lamtoras Sihaporas, Pematang Sidamanik, Simalungun, Sumut, Senin (16/9/2019). Mereka melapor ke Polres Simalungun di Pematang Raya, Selasa (17/9/2019). 

TRIBUNNEWS.COM, SIMALUNGUN - Masyarakat Desa Sihaporas Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun menilai polisi tidak adil dalam menangani kasus konflik dengan perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL).

Warga Sihaporas, Mangitua Ambarita mengungkapkan polisi diduga terkesan tidak netral.

Baca: Korban Penganiayaan di Putussibau Alami Trauma, Keluarga Minta Pelaku Dihukum Berat

Wakil ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) ini mengatakan polisi begitu cepat menetapkan Thomson Ambarita dan Joni Ambarita sebagai tersangka pemukulan karyawan TPL.

Sementara, pengaduan masyarakat terhadap pemukulan Mario Ambarita anak tiga tahun belum juga ada penetapan tersangka.

"Iya. Kami jadi curiga. Pengaduan kita pemukulan terhadap si anak (Mario) kok belum diproses. Saya melihat ini tidak adil. Kenapa pengaduan hanya sepihak direspon," ujarnya via seluler seraya mengatakan akan melaporkan ini ke Kapolda dan Kapolri hingga presiden, Selasa (24/9/2019).

Mangitua mengungkapkan perkelahian itu dipicu oleh Humas PT TPL Bahara Sibuea.

Katanya, saat itu masyarakat sedang melakukan kegiatan menanam jagung di lahan yang disengketakan PT TPL dengan masyarakat adat.

Bahara Sibuea mencoba menghalangi kegiatan itu dengan melakukan dorongan yang kasar.

Lalu, peralatan tani disita secara paksa.

Perkelahian tak terelakkan lagi, kata Mangitua ketika Bahara Sibuea melakukan pemukulan terhadap Mario Ambarita anak usia tiga tahun.

"Menurut kami terjadi problem dipicu oleh Bahara Sibuea. Ditangkap cangkul dengan kasar dan didorongkan. Disitulah terjadi pemukulan terhadap anak tiga tahun. Pingsanlah dia (Mario). Masyarakat emosi. Disitulah terjadi bentrok," ujarnya seraya mengatakan Mario mengalami memar pada bagian belakang leher.

Mangitua mengungkapkan warga akan melakukan aksi protes ke Polres Simalungun.

Mereka akan menanyakan tentang dugaan tidak profesional polisi.

Dan, menanyakam tentang perkembangan pengaduan pemukulan Mario yang dilayangkan pada 17 September 2019.

Ronald Syafriansyah dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) menilai ada kejanggalan dalam penetapan Thomson Ambarita dan Joni Ambarita sebagai tersangka.

Kata Ronald, Thomson dan Joni diminta datang ke Polres Simalungun hari ini untuk menjadi saksi atas laporan pemukulan Mario.

Namun, saat jeda makan siang, usai pemeriksaan sebagai saksi, polisi langsung datang membawa surat penangkapan dengan dugaan pemukulan karyawan TPL.

"Setelah diperiksa, break makan siang, tau-taunya polisi datang menangkap. katanya atas laporan TPL. gak tahu detail laporannya dan langsung membawa surat penangkapan,"ujarnya.

Ronald juga berharp polisi Simalungun bertindak netral.

Pihaknya akan terus melakukan pendampingan dalam kasus ini.

"Pada prinsipnya kita pastikan kita akan lakukan pendampingan dan upaya hukum. Dan kita juga berharap ke Polres Simalungun jangan berpihak pada sepihak. laporan masyarakat juga harus ditindaklanjuti,"ujarnya.

Menanggapi hal ini, Kasat Reskrim Polres Simalungun AKP Muhammad Agustiawan mengatakan belum menerima catatan medis terkait pemukulan terhadap anak tiga tahun yang dilakukan Humas PT TPL Bahara Sibuea.

Katanya, belum bisa memastikan siapa yang memukul Mario Ambarita.

AKP Agustiawan juga membantah ada bentuk pemukulan terhadap anak tiga tahun itu.

"Masih proses penyidikan. Kami harus mencari siapa yang memukul sebenarnya. Kami masih memastikan ke medis posisi pingsan sejak kapan. Kan namanya riwayat pingsan ada catatan medisnya. Nafas tak beraturan. Kemudian sekian menit tak berdaya. Ada gak catatan medis. Riwayat visum hanya pingsan doang. Bekas pemukulan tidak dibunyikan. Makanya kami sangat hati-hati. Apalagi menyangkut anak. Betul tidak itu dipukul maka pingsan. Kalau hanya pingsan saja," katanya.

Seperti diketahui, pada Senin 16 September 2019 terjadi konflik masyarakat dengan karyawan TPL di lahan Desa Sihaporas Pamatang Sidamanik Kabupaten Simalungun.

Penetua Lamtoras, Judin Ambarita menceritakan kejadian bermula saat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), semampu daya merebut kembali lahan mereka yang selama ini dirampas PT TPL.

Mereka mendatangi lokasi dan bercocok tanam jagung di areal yang baru panen kayu eukalyptus itu.

Melihat hal itu, pihak Humas dan sekuriti perusahaan PT TPL mendatangi warga.

Kehadiran pihak PT TPL pada pukul 11.30 WIB dikomando Humas Sektor Aek Nauli, Bahara Sibuea.

Tiba di lokasi, Bahara langsung melarang warga yang menanam jagung. Bahara Sibuea kemudian bertindak kasar, merampas alat kerja berupa cangkul.

Setelah perampasan alat kerja, berlanjut juga melakukan pemukulan terhadap warga, dan mengenai Mario Ambarita, ayahnya, dan beberapa masyarakat adat Lamtoras Sihaporas.

Pada Pukul 11.34 WIB kondisi semakin memanas.Melihat Mario Ambarita yang masih usia tiga tahun terkulai lemas di pelukan bapaknya, kaum ibu masyarakat adat Lamtoras histeris.

Dalam suasana panik, masyarakat adat Lamtoras Sihaporas kemudian melakukan pembelaan diri dan perlawanan.

Seluruh warga-masyarakat adat Lamtoras pun pulang untuk mengutamakan pertolongan pertama, membawa berobat anak Mario Ambarita dan beberapa masyarakat adat Lamtoras yang terluka.

Judin Ambarita, membeberkan histori lokasi itu. Tanah moyang mereka yang dicaplok penjajah Belanda pada tahun 1910-an.

Setelah penjajah pulang ke negerinya, tanah tersebut diambil alih pemerintah Republik Indonesia yang merdeka tahun 1945, kemudian diusahai PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Humas PT TPL, Norma Hutajulu ketika dikonfirmasi tidak mengelak soal adanya bentrokan tersebut.

Namun, Norma menuding warga yang melakukan tindakan penganiayan dan menyebabkan karuawn TPL terluka. Katanya, keadian ini bermula sekitar pukul 10.00 WIB.

Personel keamanan yang berjaga di Compt B 068 dan B. 081 melaporkan bahwa warga Sihaporas melakukan penanaman jagung di Compt B 553.

Menurutnya, Humas TPL melakukan mediasi dan menyampaikan kepada warga agar kegiatan penanaman jagung diberhentikan dahulu dan diadakan musyawarah dan dibicarakan secara baik-baik.

Saat upaya dialog damai dilakukan Humas TPL untuk dapat duduk berbicara bersama di salah satu tepian lokasi, warga Sihaporas bersikeras melakukan penanaman.

Baca: Kasus Penganiayaan Oknum Polisi Terhadap Sekuriti di Taman Sari Berakhir Damai

Dijelaskannya, areal penanaman tersebut merupakan areal konsesi PT TPL yang telah memiliki izin dan telah memasuki rotasi tanam ekaliptus yang keempat.

Mulia Nauli, Direktur PT TPL mengatakan, “Izin konsesi PT TPL berada di kawasan hutan negara, dengan izin pengelolaan yang terbatas dalam kurun waktu tertentu. Pada pelaksanaan operasionalnya, persero selalu menghormati hak-hak masyarakat dan komunitas adat yang berada dalam wilayah kerja persero dengan mengedepankan proses dialog yang terbuka yang dilandasi undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam penyelesaian masalahnya." (tmy/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved