Semburan Gas Alam dari Lahan Bengkok di Banjarnegara
Keberadaan gas alam di lahan bengkok desa itu sebetulnya sudah diketahui lama oleh warga sejak puluhan tahun lalu
"Dulu sempat dimanfaatkan, tapi terus tidak dimanfaatkan oleh masyarakat hingga sekarang,"katanya.
Zaman telah berganti, tapi kebutuhan warga untuk memasak tak berubah.
Saat ketersediaan kayu bakar di hutan atau kebun kian menyusut, pemerintah menawarkan gas elpiji sebagai pengganti.
Masyarakat berbondong-bondong beralih ke tungku modern yang menjanjikan kepraktisan.
Tungku tradisional berbahan kayu bakar tergeser oleh kompor gas elpiji yang lebih memanjakan.
Tetapi dalam perkembangannya, masyarakat justru sering dibuat pusing dengan kenaikan harga gas elpiji yang kian mencekik.
Warga yang telah bergantung dengan gas elpiji tak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya menggerutu.
Demi kompor tetap menyala, untuk menjamin ketersediaan makanan untuk keluarga, berapapun harga gas itu pastinya dibeli.
Kini warga kembali melirik potensi gas alam di desa yang selama ini mereka siakan. Mereka rela membeli mahal gas mahal dari luar, sementara alam sekitar mereka menyediakan sumber gas alam.
Eko mewacanakan untuk memanfaatkan potensi alam itu demi kebermanfaatan yang lebih luas.
Pemanfaatan itu akan disinergikan dengan optimalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sehingga pengelolaannya lebih profesional.
Eko berharap, melalui BUMDes, gas itu bisa disalurkan ke masing-masing rumah tangga di desa sehingga dapat meringankan beban masyarakat yang selama ini bergantung dengan gas elpiji.
Ia pun berharap pemerintah dapat membantu pengembangan gas alam itu, mulai dari penelitian kandungan gas hingga pembangunan instalasi pendukung.
"Mungkin uji coba bisa disalurkan dulu ke balai desa," katanya.