Gempa di Sulteng
Cerita Relawan Evakuasi Korban di Palu, Bermodal Helm Sepeda hingga Ikut Merasakan Gempa
Tidak sedikit relawan yang berasal dari Kaltim khususnya dari Samarinda berdatangan ke lokasi bencana.
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Christoper Desmawangga
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi salah satu kawasan yang terdekat dengan Sulawesi Tengah (Sulteng). Hal itu juga yang membuat tidak sedikit bantuan yang berasal dari Kaltim.
Tidak hanya bantuan berupa barang kebutuhan sehari-hari untuk korban gempa dan tsunami di Palu, Donggala, dan Sigi, namun juga bantuan tenaga dari berbagai pihak, termasuk relawan.
Tidak sedikit relawan yang berasal dari Kaltim khususnya dari Samarinda berdatangan ke lokasi bencana, guna membantu apa saja yang dibutuhkan korban, maupun saat proses pencarian korban.
Nusa Indah (42) atau yang akrab disapa Andre, salah satu relawan asal Samarinda yang turut serta membantu tim SAR maupun warga di sana.
Nusa berangkat dibawah naungan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Kaltim, bersama 13 personel ACT lainnya.
Berangkat pada 30 September, dengan menumpang KM Lambelu dari Pelabuhan Semayang, Balikpapan, ACT dan rombongan lainnya tiba di Pelabuhan Pantoloan, Palu pada 1 Oktober sekitar pukul 08.30 Wita.

Rombongan langsung menuju Korem 132/Tadulako guna pembagian regu serta penempatan tugas.
Peralatan yang dibawa oleh personel ACT Kaltim hanya kelengkapan pribadi masing-masing, di antaranya sepatu safety, senter, HT untuk komunikasi dan masing-masing personel membawa helm sepeda.
"Sampai di pelabuhan, kita langsung menuju Korem, saat itu juga kita langsung bertugas. Jadi kami bergabung dengan anggota ACT dari daerah lainnya," ucapnya saat menceritakan kisahnya selama berada di Palu kepada Tribun Kaltim, Kamis (11/10/2018).
"Yang jelas, saat pertama kali lihat kondisi di sana, ya memang seram. Tapi, kita semua membekali diri dengan peralatan yang safety, kalau helm, memang kita bawa helm sepeda, karena kita tidak punya helm yang biasa digunakan oleh tim SAR," tambahnya.
Baca: Anggota Yakuza Jepang Mulai Memasuki Pasar Tenaga Kerja Konstruksi
Selama kurang lebih 10 hari berada di lokasi bencana, dia mendapatkan banyak pelajaran, serta pengalaman.
Sebab Nusa baru pertama kali itu terjun langsung ke lokasi bencana besar.
Kendati selama ini dia telah berupaya dan mencari kesempatan untuk turut serta dalam misi kemanusiaan di berbagai wilayah yang terkena bencana.

Nusa menceritakan, di hari pertama bertugas, dia mendapatkan tugas di Rumah Sakit Undata, guna proses evakuasi jenazah yang menumpuk di halaman rumah sakit.
Terdapat sekitar 139 jenazah yang harus dimasukkan ke kantong jenazah dengan aroma yang sangat menyengat.
Baca: TERPOPULER, Akui Kepintaran Prabowo Cs, Ruhut Sitompul Sebut Jokowi-Ma'ruf Jadi Korban Kasus Ratna
Dari pagi hari proses itu dilakukan, hingga selesai sekitar pukul 22.00 Wita.
"Radius 50 meter lebih, aroma menyengat sudah tercium. Jadi saya dan teman-teman lain satu per satu memasukkan mayat ke kantong. Itu hari pertama, dan regu saya dapat tugas disitu," ucap pria yang juga ketua LSM Sungai Kapih Peduli (SKP).
Di hari selanjutnya, regunya dipindahkan ke Hotel Roa-roa bergabung dengan Basarnas dan TNI.
Kebetulan di hari itu Presiden Joko Widodo kembali berkunjung, dan rombongan kepresidenan melihat langsung proses evakuasi, serta pencarian korban di hotel tersebut.
"Kebetulan saat itu rombongan Presiden ke Hotel Roa-roa, walaupun ada Presiden, tapi kita tetap lakukan pencarian, sesuai dengan instruksi beliau. Saat itu kami berhasil dapatkan lima jenazah, kondisi jenazah saat itu masih bisa dikenali," jelasnya.
Selain di dua lokasi tersebut, Nusa Indah juga sempat bertugas di Petobo, di wilayah perkampungan warga, dimana kampung tersebut telah rata dengan tanah.

Baca: Hendak Mengantar Makanan, Basuki Kaget Tubuh Ayahnya Sudah Membusuk
Selama menjalankan misi kemanusiaan di sana, setiap hari dia membuat catatan harian.
Tidak hanya mencatat seluruh aktivitas rescue, namun juga hal-hal diluar nalar yang didapatkannya secara langsung maupun tidak langsung, termasuk aksi penjarahan yang terjadi pasca gempa dan tsunami.
Dia mencatat, terdapat empat kejadian yang tidak biasa yang diketahuinya melalui cerita warga di sana, dan satu kali kejadian mistis yang dialaminya sendiri.
"Saya memang membuat catatan harian selama ini. Ada empat kejadian, kalau saya bilang itu mukjizat, ini saya dapatkan dari kisah warga di sana selama kejadian itu terjadi. Kalau saya sendiri, sempat waktu shalat magrib, di rakaat kedua saat sujud, saya merasa ada orang di belakang saya, padahal di belakang saya itu dinding," terangnya.
"Yang jelas saya dapat pengalaman luar biasa. Disini kita buktikan sebagai relawan, tidak hanya di daerah asal saja, tapi di luar juga kita mampu. Saat hendak kembali, saya merasa sedih meninggalkan teman-teman yang masih bertugas di sana," urainya.

Baca: Abu Jenazah Dewa Yoga Diarak di Sungai Jalani Prosesi Pengabenan
Sementara itu, Nurani (43) yang merupakan Ketua harian Masyarakat Relawan Indonesia (MRI), ACT Kaltim menambahkan, waktu istirahat di malam hari pun tidak membuat dirinya dan rekan-rekannya dapat tidur dengan tenang.
Pasalnya, ancaman gempa kerap terjadi pada malam hingga subuh dini hari.
"Malam pertama kami disana, sempat terjadi gempa mencapai 5,3 SR. Kami sempat berlarian ke jalanan saat itu, dan gempa dengan skala kecil sering terjadi. Hal itulah yang membuat banyak warga di sana ingin mengungsi, mereka trauma," ungkap Nuraini.
Nurani yang juga pernah berangkat ke Aceh saat peristiwa gempa dan tsunami 2004 silam.
"Di sana kita juga bertemu dengan relawan dari Samarinda, banyak yang datang ke sana, dengan misi yang sama," ujar dia.