Jumat, 3 Oktober 2025

Melongok Kampung Terisolir di Bangka, Andalkan Jampi-jampi dan Melahirkan Tanpa Bidan

Padahal, keberadaan mereka tak begitu jauh dari pusat pemerintahan ibu kota provinsi maupun kabupaten.

Editor: Hendra Gunawan
Bangka Pos/Riki Pratama
Suasana Kampung Pengkalen Batu 

TRIBUNNEWS.COM, BANGKA - Setelah 72 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih ada warga di Provinsi Kepulauan Babel yang hidup terisolir.

Padahal, keberadaan mereka tak begitu jauh dari pusat pemerintahan ibu kota provinsi maupun kabupaten.

Hanya saja akses menuju pemukiman mereka yang membuat keberadaan warga ini seperti tak terjamah.

Inilah kisah tentang warga di Kampung Pengkalen Batu, Desa Ranggung, Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Rata-rata penduduk di sini tidak bersekolah.

Pun dengan akses kesehatan dan layanan publik lainnya, bagi mereka barang mewah yang entah sampai kapan terpenuhi.

Hidup mengandalkan sampan dan bertempat tinggal di rumah panggung adalah ciri khas warga Pengkalen Batu.

Baca juga: Duh, Polwan Ini Hamil di Luar Nikah, Yang Menghamili Polisi Sudah Beristri

Sebanyak 120 orang Pengkalen Batu sehari-hari menggunakan perahu sebagai alat transportasi.

Tampak pada Jumat (25/8/2017) siang lalu, belasan perahu bertambat di rawa-rawa Sungai Pabrik.

Rawa-rawa inilah pintu masuk menuju kampung Pengkalen Batu yang puluhan tahun terisolir dan tanpa fasilitas pelayanan publik yang memadai.

Perahu inilah yang digunakan untuk membawa jenazah, karena kampung itu belum memiliki Tempat Pemakaman Umum (TPU).

"Setiap ada yang meninggal dunia kami membawanya menggunakan keranda, lalu dinaikkan ke atas perahu. Sulitnya bila musim kering, airnya sering surut. Warga harus mendorong dulu perahu hinga ke tengah agar perahu jalan," kata Pardi, warga Pengkalen Batu.

Warga di Pengkalen Batu yang hidup dengan cara sederhana dan fasilitas seadanya.
Warga di Pengkalen Batu yang hidup dengan cara sederhana dan fasilitas seadanya.

Jurnalis Bangka Pos, Riki Pratama bisa sampai ke Pengkalen Batu setelah sempat bertanya di Desa Ranggung, Kecamatan Payung, yang merupakan desa terdekat.

Berhasil menghubungi Pardi, warga Pengkalen Batu, Bangka Pos ditunggu di pinggir Sungai Pabrik, Desa Ranggung.

Lokasi itu menjadi titik utama Sungai Pabrik untuk menuju Pengkalen Batu. Begitu juga sebaliknya.

Meski termasuk wilayah Kabupaten Bangka Selatan, kampung ini lebih dekat Pangkalpinang.

Dari Pangkalpinang, warga atau pendatang menempuh jarak 93 kilometer untuk sampai ke Pengkalen Batu.

Pardi cukup mahir mendayung sampan yang membawa Bangka Pos menyusuri hutan dan rawa yang cukup luas.

Menurut Pardi, warga Pengkalen Batu sudah puluhan tahun mengandalkan transportasi sungai. Tidak ada akses lain yang bisa digunakan selain alur Sungai Pabrik.

Sekitar 20 menit berlayar dari Desa Ranggung, Bangka Pos tiba di pangkalan perahu Pengkalen Batu.

Wajar saja Pardi harus mahir mendayung sampan. Alur sungai yang dilalui bersama Bangka Pos cukup berkelok-kelok dan sempit.

Kawasan pemukiman Pengkalen Batu berjarak sekitar satu kilometer dari pangkalan perahu.

Jalan tanah berkerikil membawa Bangka Pos di perkampungan yang hanya mengandalkan listrik dari mesin diesel dan tenaga surya tersebut.

Pardi menyebut panel tenaga surya baru-baru ini saja dinikmati warga Pengkalen Batu.

"Sebelumnya kami menyumbang tiap minggunya sebesar Rp 15.000 per rumah untuk biaya bahan bakar diesel. Itupun hanya dihidupkan dari pukul 18.00 sampai 22.00. Panel tenaga surya itu bantuan dari Dinsos Basel," ujarnya.

Setidaknya ada 29 rumah di Pengkalen Batu. Rumah-rumah itu berbahan kayu dan beratap seng.

Tidak ada fasilitas publik seperti sekolah atau pos kesehatan. Menurut warga, kondisi ini sudah berlangsung meski Indonesia berhasil merdeka dari penjajahan Jepang.

Lilawati, warga Pengkalen Batu lainnya menyebut warga lebih sering berobat ke orang pintar dibandingkan fasilitas kesehatan.

Hal ini tidak terlepas dari jarak tempuh untuk mendapatkan pengobatan modern.

"Warga sini ada bisa bantu urut, bila ada orang yang patah kaki. Lalu ada juga warga bisa mendoakan atau jampi-jampi air putih, biasanya kami berobat ke situ dulu, namun ketika sudah parah dan tidak berkurang kami pergi ke desa," tuturnya.

Keadaan lain yang sangat memprihatinkan di Pengkalen Batu adalah ketika ada warga yang melahirkan.

Umumnya proses kelahiran dibantu warga setempat. Lilawati mengaku pernah melahirkan dibantu orangtuanya sendiri.

Kondisi rumah warga di Pengkalen Batu. (bangkapos/riki pratama)
Kondisi rumah warga di Pengkalen Batu. (bangkapos/riki pratama)

"Biasanya kami saling membantu, tidak ke puskesmas atau rumah sakit, melahirkanya di sini. Siapa yang bisa bantu, diminta pertolongannya, tanpa bayaran, saya melahirkan dulu orangtua saya yang bantunya, " ujarnya.

Lilawati menjelaskan bahwa, dirinya juga sering membantu apabila ada warga yang mau melahirkan, dengan bermodalkan gunting serta kain, ia menolong ibu melahirkan.

Kemampuan itu didpatinya secara otodidak, hanya berdasarkan pengalaman.

"Saya juga pernah menolong orang melahirkan, sudah dua orang saya tolong,ketika itu waktu siang hari, ibunya sudah sakit perutnya, tidak bisa lagi membawanya ke Desa, jadi melahirkan di sini, lalu warga juga banyak tidak mau membawa ke desa karena biaya bawa ke sana," ujarnya.

Tak punya MCK

Warga di Pengkalen Batu juga tidak memiliki fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus) dan sumber air bersih yang memadai.

Apabila warga ingin buang air besar, membuangnya di belakang rumah, dekat semak semak hutan.

Sementara untuk tempat mandi mereka harus pergi ke kolong, sumber air yang berada tidak jauh dari perkampungan.

Kondisi airnya juga seadanya, terlihat hanya lubang di tanah berbentuk persegi empat yang berisikan air, jaraknya pula berdekatan dengan perigi sumber air minum warga dan kakus tempat warga buang air besar.

Warga mengambil air bersih. (bangkapos/riki pratama)
Warga mengambil air bersih. (bangkapos/riki pratama)

Bukan dusun

Camat Payung, Hendari mengatakan Pengkalen Batu belum bisa dikatakan sebagai dusun. Pasalnya didaerah itu hanya ada satu Rukun Tetangga (RT).

Sementara syarat administriasi sebuah dusun adalah terdiri dari tiga sampai lima RT.

"Mengatakan dusun jangan salah kaprah, pemahaman dusun memiliki tiga sampai lima RT di wilayahnya, kalau cuma satu RT, belum layak menjadi dusun, karena belum mempenuhi persyaratan, selain tinggal, banyak warga di situ hanya berkebun dan ada rumahnya di Desa Ranggung, kami berkesimpulan seperti itu," kata Hendari.

Sementara, mengenai masalah fasilitas publik seperti Pendidikan menurut Hendari sudah di tindak lanjuti, sudah diberikan perhatian.

Anak di Pengkalen Batu sudah bisa bersekolah pada sekolah darurat, dan sebanyak delapan orang siswa yang mengikuti kelas tersebut.

Potensi lain, sambung Hendari bahwa daerah itu akan dijadikan destinasi wisata, rumah penduduk akan dibiarkan seperti itu, untuk menjaga keasliannya dan daya tarik bagi siapapun yang mengunjunginya.

"Untuk relokasi memindahkan mereka, melihat perkembangan, tergantung masyarakat situ, kalau mereka betah di situ. Sementara kalau untuk tranportasi yang menggunakan perahu itu sudah jadi kesenangan, karena bisa dikatakan tidak jauh jaraknya, hanya beberapa menit, cuma memang masyarakat itu tadinya kurang dikunjungi,"ujarnya.

Selain masalah pendidikan yang sudah mulai tersentuh, Hendari juga mengatakan masalah kesehatan yang mana daerah Pengkalen batu akan dijadikan kampung KB, sehingga akan ada bantuan kesehatan terus menerus di wilayah tersebut nantinya.

"Selain itu kita juga masih memperjuangkan, masalah batas desa, karena wilayah itu masuk Desa Bedengung, bukan Ranggung, namun warganya memang warga Ranggung. Lalu status tanahnya di situ masih hutan produksi kalau memang bisa diahlifungsikan menjadi hutan budidaya, atau lainya, akan bisa dikembangkan, kami mau memperjuangkan itu, karena mereka yang bermukim di situ tidak memiliki surat rumah atau tanah,"ujarnya. (Riki Pratama)

Sumber: Bangka Pos
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved