Diusulkan Ada Pararem Larangan Konsumsi Anjing, Ini Alasannya
Sementara seperti yang diketahui untuk proses penyembelihan anjing dilakukan dengan penganiayaan, dengan dipukuli
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - One Health Collaborating Center (OHCC) Universitas Udayana (Unud) mengundang semua pihak membahas mengenai konsumsi daging anjing di Bali.
Dari hasil pertemuan itu, ada tujuh poin yang direkomendasikan ke pemerintah, satu di antaranya diusulkan harus ada perarem yang melarang konsumsi lantaran hingga kini belum ada regulasi yang tegas.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi One Health Forum: Human and Animal Welfare "Responding to Dog Meat Trade" oleh One Health Collaborating Center (OHCC) Universitas Udayana, Selasa (11/7/2017) di Hotel Sanur Paradise Hotel.
Dalam diskusi tersebut, mereka mencari masukan dari semua pihak, dinas terkait termasuk komunitas yang concern terkait permasalahan anjing.
"Untuk merespon isu yang beredar tentang konsumsi daging (sate) anjing di Bali. di Mana itu berdampak pada pariwisata di Bali. Kami OHCC Universitas Udayana mencari opini dari semua stakeholder," ujar Nyoman Sri Budayanti, Coordinator OHCC Universitas Udayana.
Dari hasil diskusi diperoleh rumusan rekomendasi yang akan diberikan kepada Pemerintah Provinsi Bali sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Poin itu adalah, pertama, berlandaskan filosofi Tri Hita Karana, telah disebutkan seyogyanya manusia diharapkan mampu membina hubungan baik antara lingkungan dan isinya termasuk anjing.
Kemudian poin kedua, tindakan mengonsumsi daging anjing bukan merupakan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat Bali karena bertentangan dengan budaya Bali yang percaya bahwa anjing memiliki peranan penting dalam kehidupan.
Selanjutnya merujuk Undang-undang No 18 tahun 2012 tentang pangan, daging anjing tidak termasuk kategori pangan, karena anjing bukan merupakan produk peternakan atau kehutanan.
Poin ke empat, ditinjau dari bidang kesehatan, praktik perdagangan anjing dan dagingnya sangat berpotensi terhadap penyebaran penyakit zoonosis terutama rabies di Bali.
Poin kelima adanya penegakan hukum (berupa perarem, bhisama) yang jelas dan tegas untuk mencegah penjualan daging anjing, penerapan kesejahteraan hewan dan peredaran/lalu-lintas hewan sebagai implementasi dari undang-undang dan peraturan yang ada.
Terkait belum adanya aturan yang tegas ini, Drh Ira Firgorita, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, mengatakan, memang tidak ada regulasi secara eksplisit mengenai perdagangan dan konsumsi daging anjing.
Namun jika ditelaah, pada UU No 18 Tahun 2012, sumber pangan hayati berasal dari perikanan, peternakan, perairan, air dan kehutanan.
Sementara anjing tidak masuk dalam hewan ternak, berdasarkan UU No 18 Tahun 2009 Juncto No 4 Tahun 2014, penyembelihan hewan harus dilakukan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan sakit, takut dan penganiyaan.
Sementara seperti yang diketahui untuk proses penyembelihan anjing dilakukan dengan penganiayaan, dengan dipukuli.