Selasa, 7 Oktober 2025

Kisah AKBP Sumy: Cari Tulang Manusia Hingga Raih Gelar Doktor Forensik Pertama di Asia

Tambah membanggakan lantaran Hastry, sapaan akrabnya, juga menyelesaikan program Doktornya berstatus cumlaude dengan pujian.

Penulis: Muh Radlis
Editor: Wahid Nurdin
zoom-inlihat foto Kisah AKBP Sumy: Cari Tulang Manusia Hingga Raih Gelar Doktor Forensik Pertama di Asia
Ist
AKBP Dr. Sumy Hastry Purwanti, dr, DFM. Sp.F

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Radlis

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG  -  Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) patut berbangga hati setelah seorang anggota Polri mendapat gelar Doktor Forensik pertama di Indonesia.

Bahkan di Asia, anggota Polri yang bergelar Doktor Forensik itu disandang satu satunya oleh AKBP Dr. Sumy Hastry Purwanti, dr, DFM. Sp.F, Kasubbid Dokpol Bid Dokkes Polda Jateng.

Gelar Doktor Forensik ini diraih wanita kelahiran Jakarta, 23 Agustus 1970 silam ini setelah menyelesaikan desertasi berjudul Variasi Genetika Pada Populasi Batak, Jawa, Dayak, Toraja dan Trunyan Dengan Pemeriksaan D-Loop Mitokondria DNA Untuk Kepentingan Identifikasi Forensik di Universitas Airlangga, Surabaya.

Tambah membanggakan lantaran Hastry, sapaan akrabnya, juga menyelesaikan program Doktornya berstatus cumlaude dengan pujian.

"Total saya selesaikan selama tiga tahun 10 bulan. Penelitiannya saya selesaikan satu tahun," kata Hastry kepada Tribun Jateng, Senin (14/3/2016).

Hastry mengatakan, dia ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa tulang manusia pun masih bisa diselidiki dan menentukan identitas tulang tersebut.

"Total sampel ada 70, namun yang berhasil diperiksa 50. Rata rata sampel yang saya ambil sudah meninggal selama 50 tahun," katanya.

Bukan perkara mudah bagi Hastry untuk mengumpulkan sampel tulang kerangka manusia yang akan diteliti.

Dari semua sampel yang berhasil dikumpulkan, perjuangan berat harus dilewatinya. Terlebih, sampel yang akan diteliti harus betul betul keturunan asli dari Jawa, Dayak, Batak, Toraja dan Trunyan (Bali) tanpa ada campuran DNA dari populasi lain.

"Saya harus berhadapan dengan adat istiadat, terlebih bagi keluarga sampel yang akan diteliti awalnya menolak. Karena bagi mereka itu hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya," katanya.

Hastry menceritakan, untuk bisa mengambil sampel kerangka manusia Batak, dia harus membongkar tugu dimana kerangka manusia itu dikuburkan.

Untuk mengambil kerangka manusia Batak, Hastry harus meminta izin agar tugu yang dijadikan kuburan kerangka itu bisa dibongkar. Selain itu, ada prosesi upacara dan tari tarian yang harus dilakukan agar masyarakat mengizinkan Hastry meneliti kerangka Batak.

"Ada upacara, nyanyi nyanyi dan tarian ritual. Mereka bingun harus berdoa seperti apa karena selama ini belum pernah ada ritual seperti itu," katanya.

Hal yang sama juga dilakukan ketika mengambil sampel kerangka manusia asli Dayak. Hastry harus masuk ke pedalaman hutan, meminta izin ketua adat serta melakukan ritual ritual.

Ritual ini pun dilakoni Hastry mulai dari malam hingga pagi hari.

"Kalau di Dayak, upacara potong hewan babi. Tapi karena saya muslim, jadi potong ayam dan saya harus makan ayam itu. Ada ritual, menari dan makan sirih dan kapur. Itu ritualnya dari malam sampai pagi, di tengah hutan," katanya.

Beda Batak, Dayak, beda pula dengan Toraja. Di Toraja, Hastry harus membeli emas dan kertas khusus sebagai alat ritual agar diizinkan oleh pemuka adat Toraja dan keluarga kerangka yang akan diteliti.

Meski semua syarat ritual sudah dipenuhi, bukan berarti Hastry bisa langsung mengambil sampel kerangka atau tulang yang akan diteliti.

"Awalnya pasti keluarga menolak, namun setelah dijelaskan bahwa ini untuk kepentingan penyelidikan akhirnya mereka mau," katanya.

Dari hasil penelitian DNA Mitokondria itu Hastry menemukan hasil yang mencengangkan. DNA Mitokondria dari tiga populasi Dayak, Jawa dan Batak memiliki kesamaan. Menurutnya, ada hubungan kekerabatan antara populasi Batak, Dayak dan Jawa, sedangkan Toraja dan Trunyan (Bali) tidak memiliki kesamaan dengan populasi lainnya.

"Ada beberapa persamaan dari DNA Mitokondria. Dari pola pewarisan yang diturunkan oleh ibu. Ini bisa dideteksi sampai 33 generasi," katanya.

Hastry berharap temuannya ini bisa menjadi acuan identifikasi di lingkup Forensik dan Polri kedepannya.

"Jadi pencarian data antemortem bisa dipersempit setelah tahu sampel yang akan diteliti. Jadinya lebih mudah mengidentifikasi," katanya.

Dukungan dari institusi Polri selama Hastry menyelesaikan gelar Doktornya juga sangat tinggi. Selain izin yang tidak dipersulit dari kesatuan, kemudahan dalam penelitian juga dirasakannya.

"Karena saya polisi, jadi pengurusan izinnya juga mudah. Selama penelitian, mencari sampel juga dibantu sama polisi di daerah sampai menjelaskan maksud dan tujuan penelitian saya ke keluarga sampel yang akan saya teliti. Kalau saya dokter biasa, mungkin sampai sekarang penelitian saya belum selesai," ujarnya.(*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved