Selasa, 30 September 2025

Potret Keluarga Miskin di Pidie, Hidupi 12 Anak dengan Penghasilan Rp 30 Ribu Perhari

Meskipun sudah melahirkan 14 anak (dua meninggal), namun Husmawati menargetkan masih ingin memiliki tiga anak lagi di usianya sudah memasuki 47 tahun.

Editor: Wahid Nurdin
SERAMBI/NUR NIHAYATI
HUSMAWATI (47) warga Gampong Jeumpa Langgeu, Kemukiman Sanggeu, Pidie bersama tujuh dari 14 anak dimilikinya. 

Laporan wartawan Serambi, Nur Hayati

TRIBUNNEWS.COM, PIDDIE  -  Meskipun sudah melahirkan 14 anak (dua meninggal), namun Husmawati menargetkan masih ingin memiliki tiga anak lagi di usianya sudah memasuki 47 tahun.

Perempuan miskin asal Gampong Jeumpa Langgeu, Kemukiman Sanggeu, Kabupaten Pidie, ini tak merasa kerepotan dengan banyaknya anak yang harus ia urus.

Itulah Husmawati. Istri dari Abdul Muthaleb (53) ini, sehari-hari bekerja mengolah biji melinjo jadi emping.

Sedangkan suaminya, bekerja sebagai buruh kasar di Pasar Kota Sigli.

Dari pernikahan keduanya ini, ia sudah dikaruniai 14 orang anak. Namun, satu orang meninggal dalam kandungan, dan satu orang lagi meninggal usia tujuh hari.

Kini ia merawat 12 anak dengan umur bervariasi. Satu di antaranya bahkan sudah berkeluarga, dan 11 orang lagi masih menjadi tanggungan orang tua.

Saat Serambi berkunjung ke rumahnya, Minggu (31/1), Husmawati menyambut ramah. Ia memanggil anak-anaknya satu per satu, yang jarak umurnya cuma terpaut setahun antara satu dengan lainnya.

Dua dari 12 anaknya yang masih hidup, dua orang menderita kurang gizi, bernama Rasyidin (5) dan Dede Rafa (2).

“Dua anaknya ini sempat mengalami gizi buruk pada tahun 2013 lalu, namun terus-menerus diberi bantuan makanan pendamping. Kini berhasil diselamatkan dari derita gizi buruk dan kini kedua anak tersebut berstatus gizi kurang,” kata Muliani, kader Kesehatan gampong setempat.

Melihat sosok Husmawati dengan menghidupi 12 anak ini tentu bukan hal mudah.

Buktinya, dua anaknya menderita kelaparan (gizi buruk). mereka sekeluarga pun seluruhnya menghuni rumah panggung yang hanya berukuran 3x6 meter.

Bantuan beras mikin (raskin) yang ia terima per bulan, hanya cukup dimakan sekeluarga untuk lima hari.

Setelah itu, ia hanya berharap dari pendapatan suaminya menjadi buruh dipasar dengan upah sangat minim, dan upah untuk dirinya yang mengolah emping melinjo.

“Pendapatan harian kami rata-rata Rp 30.000 per hari. Kadang-kadang malah tak punya uang sama sekali. Kami semua pernah tak makan nasi karena tak ada uang untuk membeli beras,” ujarnya santai.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan