Selasa, 30 September 2025

Kita Semua Ternyata Berpotensi Jadi Teroris, Ini Penjelannya

Rentetan serangan teror di sejumlah negara sejak medio November mengagetkan dunia. Dengan keji, banyak orang menjadi korban.

Editor: Sugiyarto

Berikutnya, calon pelaku teror akan diajak menyelami makna hidup. Perekrut akan membuat hidup calon pelaku teror tak bermakna. Dalam kasus radikalisasi berdasar paham agama, mereka akan dibuat jadi orang penuh dosa dan lemah.

Untuk jadi hebat lagi, harus bertobat. Setelah berubah, calon pelaku teror itu diberi penghargaan diri baru hingga termotivasi hidup lebih bermakna, mau melakukan apa pun demi kejayaan kelompoknya.

Identitas itu akan terus diperkuat pimpinan kelompok yang membenarkan tindakan mereka. Cara paling sering digunakan adalah membandingkan teror kelompok lain terhadap kelompok mereka di tempat lain, atau mencari kambing hitam atas berbagai ketidakadilan yang dialami kelompoknya. Pembenaran itu membuat pelaku teror tega berbuat keji.

Gazi menambahkan, indoktrinasi akan berlangsung hingga pelaku teror sampai pada titik tak mungkin kembali. "Pada saat itu, hidup atau mati sama saja. Bahkan, kematian sering dianggap jalan menuju kehidupan yang lebih baik," ujarnya.

Kelompok rentan

Mudah tidaknya seseorang terjebak kelompok teror amat bergantung penghargaan diri dan kebermaknaan hidupnya. "Mereka yang penghargaan dirinya rendah rentan direkrut kelompok teror," kata Mirra.

Rendahnya penghargaan diri dipengaruhi pengalaman hidup. Seseorang tanpa peran penting dalam keluarga atau masyarakat atau punya masalah keluarga berpeluang jadi pribadi labil.

Saat kepercayaan mereka terguncang sedikit, kelompok teror mudah memperdayanya.

Dalam perkembangan psikologi manusia, kelompok umur 21-28 tahun yang paling rentan mengalami krisis identitas. Secara biologis mereka dewasa, tetapi secara psikologi belum matang.

"Terlebih, usia psikologi manusia Indonesia cenderung mundur akibat proses otonomi diri yang lebih lambat," katanya.

Di Indonesia, anak dianggap mampu mengembangkan otonomi diri setelah bekerja. Sebelum itu, tidak hanya bergantung secara ekonomi ke orangtua, tetapi juga arah hidupnya.

Karena itu, orangtua perlu memberi anaknya tanggung jawab dalam keluarga. Jika terjadi kesalahan, itu hal wajar karena mereka sedang belajar dan perlu dituntun agar memperbaiki diri.

Selain itu, mereka yang rentan terjebak terorisme adalah individu yang berpikiran tertutup, pola kognitifnya kaku, dan hanya melihat sesuatu dengan cara benar dan salah, sangat tekstual.

Mereka tidak terbiasa melihat sesuatu yang berbeda, sulit menoleransi ketidakpastian maupun menghargai proses.

"Kondisi itu diperparah dengan pola pendidikan yang mendukung pola pikir tertutup, kurang menghargai kreativitas berpikir," kata Gazi.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan