Setahun Banjir Tomohon, Korban Masih Tinggal di Pinggir Jalan, Belum Pernah Dapat Bantuan
Hari ini, Kamis, 15 Januari 2015, tepat satu tahun bencana banjir bandang dan longsor menghantam Kota Manado dan Tomohon.
TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Hari ini, Kamis, 15 Januari 2015, tepat satu tahun bencana banjir bandang dan longsor menghantam Kota Manado dan Tomohon.
Kenangan pahit itu masih saja menghantui warga yang tinggal di bantaran sungai dan perbukitan.
Terlebih, tiga hari lalu, banjir dan longsor kembali melanda Kota Manado. Meski datangnya banjir dan longsor di tengah malam, namun warga sudah waspada sejak hujan terus mengguyur kota ini.
Bencana setahun lalu memang memorakpondakan Kota Manado dan menelan korban jiwa. Di jalur utama Manado-Tomohon, tepatnya di Kelurahan Tinoor II, enam orang tewas tertimbun longsor.
Mereka adalah Edo Hermansyah, dr Olwien Oroh, Rony Sion Moguni yang meninggal di Kilometer 16 jalur utama Manado-Tomohon.
Kemudian Fecky Karinda, Jeremia Pantouw, dan Linda Tan yang meninggal di Kilometer 13 Tambulinas jalur utama Manado-Tomohon.
Hari ini, keluarga yang ditinggalkan akan mengenang sosok yang telah pergi itu dengan menggelar ibadah di rumah.
Seperti di kediaman dr Fandy Hermansyah misalnya, telah didirikan satu tenda di depan rumah dilengkapi dengan kursi plastik kursi berwarna biru, untuk ibadah mengenang setahun kepergian istri tercinta, almarhumah dr Olwien Oroh dan anaknya, almarhum Edo Hermansyah ke pangkuan Bapa di Surga.
"Besok (hari ini) akan dilaksanakan ibadah di rumah, mungkin akan dimulai sekitar jam tiga sore," ungkap Ati, seorang wanita yang berada di kediaman dr Fandy Hermansyah ketika ditemui Tribun Manado, Rabu (14/1/2015) sore.
Di lokasi bencana, tak banyak yang berubah. Di Kilometer 16 tempat tak jauh ditemukannya dr Olwin misalnya, masih tampak bukit yang longsor memutus akses jalan.
Sementara itu di titik penemuan jenazah, sudah tampak tumbuh alang-alang yang cukup tinggi.
Ruas jalan yang dulunya putus sudah tersambung lagi, dengan di hot mix-nya jalan di samping jembatan bailey yang dibangun oleh TNI pasca terjadi longsor.
Sementara itu, jembatan bailey kini tinggal rangkanya saja, tak lagi digunakan akibat papan pengalasnya telah lapuk dan busuk.
Di Kilometer 13, kondisinya juga tak banyak berubah. Akses jalan yang putus hanya tersambung oleh dua jembatan bailey yang dibangun oleh TNI.
Di samping kiri-kanan, tebing masih tampak curam setelah di-cuting untuk memperluas akses jalan.
Di lokasi ditemukannya tiga jenazah ketika longsor masing-masing Fecky, Linda, dan sang cucu, Jeremia kini sudah ditumbuhi alang-alang juga. Hanya sedikit warga yang singgah untuk melihat lokasi bencana yang memilukan itu.
"Perbedaannya dengan dulu hanya tampak sepi saja, karena sudah tak ada lagi tetangga dekat yang tinggal disini," jelas Welly Mantik, warga setempat.
Welly merupakan satu di antara warga yang selamat dalam bencana tersebut. Ia tinggal tak jauh dari rumah yang ambruk seluruhnya akibat terbawa longsor hingga memakan korban jiwa.
Hingga kini rumah papan dua tingkat miliknya masih berdiri kokoh dipingir jalan Manado-Tomohon, dan masih ditinggalinya bersama sang istri, Yenny Rapar.
"Karena sudah panas-panas, maka saya kembali lagi untuk tinggal di sini sambil berjualan buah-buahan untuk menafkahi keluarga,' ujarnya.
Diakuinya, kendati rumahnya masih berdiri kokoh, namun ketika cuaca memburuk dengan derasnya hujan yang turun, tetap membuatnya bersama keluarga waswas, sehingga kadang tidak tidur semalam untuk berjaga-jaga dari bencana.
"Jika hujan turun malam-malam, maka saya dan keluarga tidak tidur, semuanya saya panggil keluar untuk memantau keadaan. Jika kondisi terlihat membahayakan, maka seluruh anggota keluarga langsung diungsikan ke tempat aman," tuturnya.
Menurut Welly, bersama keluarga, dirinya tetap bertahan tinggal di pinggir ruas jalan kendati disadari risiko terkena bencana cukup besar setiap waktu.
"Semua Yang di Atas yang tahu, karena tidak tahu lagi akan tinggal di mana lagi. Terpaksa tetap bertahan di sini, karena janji pemerintah untuk melakukan relokasi tak kunjung ditepati," katanya.
Kondisi di sekitar lokasi tinggalnya tambah dia cukup memprihatinkan. Sebab, setelah bukit-bukit di-cuting untuk perluasan jalan, tak ada lagi drainase yang tersedia, sehingga air banyak meresap ke dalam tanah dan ada juga yang mengalir di atas jalan saat hujan deras turun.
"Karena saluran airnya sudah tertutup akibat di- cuting pemerintah, maka air hujan banyak yang lewat di jalan. Kondisi ini tak baik karena bisa memicu terjadinya longsor. Jadi baiknya cepat dibuat drainase lagi, dan kalau bisa jalan diperbaiki atau diperlebar lagi agar lebih aman dilalui masyarakat," harapnya.
Sementara itu, Wali Kota Tomohon Jimmy Eman, hari ini mulai pukul 10.00 Wita akan mengadakan tabur bunga di lokasi bencana, yang diawali dengan ibadah bersama di Keluarga Toar-Purukan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kota Tomohon, Robby Kalangi mengatakan, tabur bunga ini dilaksanakan untuk mengenang peristiwabencana yang terjadi pada 15 Januari 2014 lalu, sekaligus mengingatkan seluruh masyarakat untuk cinta dan peduli dengan alam
sekitar.
"Masyarakat Tomohon selalu diingatkan akan pentingnya menjaga kelestarian
alam dan lingkungan sekitar kita, agar terhindar dari bencana yang mungkin terjadi dan membuat masyarakat susah," tukasnya.
Kami Tinggal di Tepi Jalan
"Hari ini genap 1 taong, mar torang blum pernah dapa bantuan for mo bekeng rumah yang da anyor."
Itulah curhatan hati Norton Worang (34), warga yang tinggal di bantaran Sungai Sanusehem, tepatnya di Kelurahan Tikela, Kecamatan Tombulu, Kabupaten Minahasa.
Sejak banjir bandang yang melanda rumahnya, 15 Januari silam, Norton bersama istrinya, Sandra Sorionsong dan ketiga anaknya terpaksa harus tinggal di pinggiran Jalan Ring Road dengan beragam keterbatasan.
Ia terpaksa membangun rumah dari sisa-sisa puing rumah mereka dan juga sumbangan dari pemilik usaha dimana ia bekerja.
Norton mengungkapkan, sejak banjir bandang yang menghanyutkan rumah beserta isinya, ia belum mendapatkan bantuan dari pihak pemerintah, baik dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara maupun Pemerintah Kabupaten Minahasa.
Ia pun mengeluhkan status tempat ia tinggal, dimana lokasi rumahnya termasuk Kabupaten Minahasa, padahal menurutnya rumahnya hanya berjarak 20 meter dari Kelurahan Perkamil dan menjadi bagian dari program bantuan Pemerintah Kota Manado.
"Torang pe rumah cuma dekat deng Perkamil, mar torang tamaso Minahasa. Jadi torang nda dapa bantuan dari Pemerintah Kota Manado. Jadi torang nda dapa noh itu 3 juta lebe itu," sesalnya.
Norton pun menceritakan, selama ini ia harus tinggal di rumah yang ia bangun di pinggiran Ring Road karena takut untuk membangun rumahnya kembali yang memang berada di pinggir sungai.
Ia pun melanjutkan pekerjaannya sebagai pembuat gipsum dengan berbagai keterbatasan.
Ia mengaku belum bisa bangkit sepenuhnya dari keterpurukan pasca banjir bandang yang membuat rumah dan barang-barangnya nyaris tak bersisa.
"Hampir semua anyor. Yang ta sisa tinggal baju deng peralatan kerja yang masih sempat torang kase selamat," katanya.
Norton pun berharap agar bantuan dari pemerintah bisa segera mereka terima. Selain digunakan untuk membangun kembali rumah mereka, bantuan yang dijanjikan pemerintah sebesar Rp 40 juta bagi rumah yang rusak parah akan digunakan untuk mengembangkan usaha yang ia jalani sekarang.
"Selain untuk bangun rumah, untuk mengembangkan usaha. Semoga bisa cepat cari, karena sudah hampir satu tahun, tepatnya besok ulang tahun." ujarnya lalu tertawa. (cya/war)