Berita Eksklusif Jawa Timur
Dulu Perceraian Itu Aib, Kini Malah Ekspos Diri
Sayangnya, tidak sedikit keputusan itu diambil berdasarkan pandangan yang berasal dari tayangan yang begitu bias. Misalnya, sinetron yang kisahnya tid
News Anaylis
Yuni Apsari
Dekan Fakultas Psikologi UK Widya Mandala Surabaya
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Perubahan zaman ternyata membawa dampak sosial yang tinggi.
Dari berbagai hal yang ditimbulkan, ada satu masalah sosial yang juga tidak bisa dianggap remeh.
Masalah itu adalah perceraian. Kasus ini dalam kurun waktu belakangan memang menunjukkan angka yang meningkat.
Ada banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya mahligai pernikahan. Faktor itu datang dari dalam atau hubungan suami istri serta yang melingkupinya.
Misalnya seperti lingkungan dan keluarga. Faktor lain adalah sistem yang berlaku di negara kita yang ternyata turut ‘memudahkan’ perceraian.
Bukan hanya sekadar ngurusi administrasi, negara sebenarnya harus hadir dalam urusan rumah tangga.
Sistem di negara ini harusnya memikirkan bukan hanya sebelum melainkan setelah pernikahan apa dan bagaimana pasangan ini berprilaku. Memang bukan negara langsung yang mengaturnya.
Dari faktor sosial, saya melihat banyak sekali stimulan yang menjadi inspirasi masyarakat untuk mengambil keputusan.
Sayangnya, tidak sedikit keputusan itu diambil berdasarkan pandangan yang berasal dari tayangan yang begitu bias. Misalnya, sinetron yang kisahnya tidak selalu ada di dalam realitas.
Stimulan ini makin kuat dengan perubahan norma sosial dalam memandang perceraian.
Mungkin 20 tahun lalu, perceraian itu menjadi aib yang memalukan bagi masyarakat.
Perceraian adalah bentuk dari kegagalan dua insan yang sudah berjanji mengikat hidup dalam biduk rumah tangga. Artinya, perceraian itu adalah hal yang tidak boleh diumbar.
Nah, saat ini semuanya berubah. Norma sosial itu hilang. Menjadi janda misalnya, menjadi sesuatu yang bisa diumbar seenaknya. Terutama di kalangan artis.
Mereka sepertinya bangga kalau statusnya janda. Memang tidak ada masalah sih berstatus janda. Tetapi harus ada unsur edukasi, bukan sekadar mengekspos diri.
Masyarakat seperti dicekoki sesuatu yang sebenarnya bukan realitas di sekitarnya. Dunia keartisan jauh berbeda dengan realitas masyarakat.
Jangan sampai kemudian apa yang rerjadi di kalangan selebritas itu malah menjadi ‘realitas’ di masyarakat. Tentu saja hal ini akan menabrak norma-norma luhur kita.
Saya ingin katakan, pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Saksinya bukan cuma manusia. Tuhan juga turut campur dalam urusan jodoh ini.
Pasangan yang hendak menikah, harus serius memikirkan apa dan bagaimana pernikahan itu dijalani.
Kuatkan komitmen bahwa pernikahan adalah ‘alat’ untuk mencapai tujuan hidup.
Ketika terjadi perselisihan, komunikasi dua arah menjadi kunci untuk mencairkan masalah. Libatkan seseorang yang dipercaya untuk memberikan nasihat-nasihat.
Jangan hanya cek-cok terus ngomong cerai. Mereka yang mudah sekali mengucapkan kata itu, sebenarnya menjadi bukti ketidaksiapan mereka menjalani pernikahan.
Coba kembali dipikirkan, bagaimana dampak dari perceraian ini bagi anak-anak.
Jangan sampai, keputusan dua orang dewasa ini malah mengorbankan hak-hak anak-anak.
Dalam masalah perceraian, anak-anak yang mengalami kerugian terbesar, baik secara psikologis maupun sosial.
Ada pranata-pranata sosial yang bisa dimanfaatkan. Ambil contoh, tokoh masyakat dan agama.
Para tokoh ini kan memiliki komunitas kuat. Mereka juga menguasai ilmu sosial dan agama serta pengalaman berumah tangga dalam rentan waktu yang lama.
Nah, negara harusnya memanfaatkan mereka untuk menjadi konseling yang baik.
Di beberapa komunitas keagamaan yang saya ketahui, ada kelompok yang aktif memberikan konseling untuk merawat pernikahan anggotanya menjadi langgeng.
Dalam forum-forum itu, para pasangan muda dibantu bagaimana menyelaraskan komunikasi serta proses pengambilan keputusan setelah menikah.
Jadi, nilai yang terbentuk di komunitas ini tidak akan memudahkan para pasangan suami istri berkata cerai. Kata-kata itu harusnya menjadi kata terakhir yang terucap.
Bukan misalnya cek-cok terus dijadikan dalil gugatan cerai, ini berbahaya. Harusnya ada pembicaraan yang intens yang menjelaskan apa itu cek-cok.
Begitu juga saat sudah memasuki proses hukum. Harusnya, sebelum memasuki sesi persidangan, peran mediator menjadi sangat penting.
Para mediator yang sudah ditunjuk pengadilan adalah orang-orang yang bukan sekadar bertanya-tanya apa penyebab gugatan cerai di masukkan pengadilan agama.
Di sesi mediasi ini tidak boleh sekadar formalitas. Targetnya tentu saja agar gugatan itu bisa ditarik kembali sehingga pernikahan bisa diselamatkan. Diskusinya harus mendalam.
Kecenderungannya memang kalau sudah tidak ada kecocokan, ya sudah cerai. Bukan itu kan ujungnya. (idl)