Dijual di Salon dan Toko Kelontong, Penjualan Buku Paket di Bandung Marak
Penjualan buku-buku paket diantaranya terjadi kepada murid-murid di SDN Sejahtera 4, Kota Bandung.
Pembelian LKS tersebut, kata dia, bukanlah di toko buku atau koperasi sekolah, melainkan melalui salah satu orang tua murid. "Belinya bisa langsung ke mamahnya V, tapi bisa juga langsung ke bu guru (sambil menyebut nama seorang guru)," katanya yang sudah membeli LKS sejumlah mata pelajaran.
Praktik serupa juga terjadi di Ciwidey, Kabupaten Bandung. Padahal pihak sekolah sebenarnya dilarang menjual buku paket kepada siswa karena sudah dibiayai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Seorang orang tua murid di SDN di Ciwidey mengatakan, praktik jual beli buku ini berulang setiap tahun. Bahkan setiap pergantian semester, siswa dituntut membeli buku. Modus penjualan buku pun tidak langsung dilakukan pihak sekolah, melainkan menyuruh siswa membeli buku ke tempat yang telah ditentukan.
"Memang di sekolah enggak jual buku. Tapi guru nyuruh untuk membeli buku di samping sekolah. Tempat yang ditunjuk itu di warung kelontongan samping sekolah. Sepertinya rekanan pihak sekolah atau gurunya. Masa beli buku, tapi sudah ditentukan tempatnya," ujarnya.
Tiga buku paket dianjurkan wali kelas anaknya untuk dibeli dari total 10 buku paket. Harga setiap buku bervariasi. Harga buku paket Rp 25.000 hingga Rp 30.500 per buku. Buku yang dianjurkan untuk dibeli yaitu buku pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan IPA.
"Saya enggak ngerti dana BOS itu digunakan untuk apa. Padahal kan setiap tahun sekolah itu dapat dana dari pemerintah. Ini kok malah memberatkan orangtua. Tidak semua orangtua mampu untuk membeli buku kan. Ini seperti ada indikasi gurunya pengin punya pemasukan tambahan," katanya.
Selain pembelian buku paket, lanjut dia, pihak sekolah juga meminta kepada para murid untuk membeli LKS. Alasannya, buku LKS ini untuk menunjang para siswa agar bisa melatih kemampuan belajarnya. Anaknya pun membeli empat buku LKS dari warung kelontongan yang sama. Harga yang paling murah Rp 10.000.
Berdasarkan penelusuran Tribun Jabar (Tribunnews.com Network), warung yang menjual buku tersebut tidak jauh dari SD Negeri tersebut. Warung kelontongan tersebut tidak nampak menjual buku pelajaran. Orangtua yang akan membeli buku tidak akan mengetahui jika di warung tersebut menjual buku pelajaran. Pemilik warung akan menawarkan buku tersebut setelah ada orang yang menanyakan. Buku paket dan LKS tidak disimpan di pelataran warung.
Di Garut, sejumlah orang tua siswa mengeluhkan harga buku paket dan LKS yang dijual sekolah dengan harga yang dianggap tinggi. Akhirnya, mereka pun terpaksa membeli buku tersebut supaya anaknya tidak mendapat diskriminasi atau ketinggalan pelajaran di sekolah.
Seorang warga Desa Tarogong, Kecamatan Tarogongkidul, Yati, bukan nama sebenarnya, mengatakan, anaknya harus membeli buku paket seluruh pelajaran di sekolahnya seharga Rp 450 ribu. Putri Yati ini sekolah di kelas III sebuah SD favorit di Kecamatan Tarogongkidul.
"Saya cari buku-buku yang sama di toko, ternyata harganya lebih murah. Kalau di toko, harganya didiskon sampai 25 persen, tetapi yang di sekolah tidak didiskon. Makanya saya beli di toko saja, mengirit sampai Rp 100 ribuan," kata Yati, Selasa (27/8/2013).
Hal serupa dialami Arya, warga Desa Margamulya, Kecamatan Cikajang. Arya harus membeli LKS dari sekolah untuk anaknya yang sekolah di salah satu SMP di Kecamatan Cikajang. Walaupun berharga sekitar Rp 10 ribu per LKS-nya, dia tetap keberatan.
"Untungnya sekolah tidak menjual buku paket karena dilarang dan tidak disetujui orang tua siswa. Tapi kenapa LKS masih bisa dijual. Padahal kan ada dana BOS untuk buku. Percuma kalau buku-buku bantuan tersebut hanya untuk pajangan perpustakaan," kata Arya. (aa/ddh/tif/sam/pin)