150 Perajin Tahu Tempe Kartasura Mogok Produksi
Warga Kota Solo dan sekitarnya kemungkinan akan puasa mengkonsumsi tahu dan tempe dalam dua atau tiga hari mendatang.

Laporan Wartawan Tribun Jogya/ Ade Rizal
TRIBUNNEWS.COM SOLO - Warga Kota Solo dan sekitarnya kemungkinan akan puasa mengkonsumsi tahu dan tempe dalam dua atau tiga hari mendatang. Pasalnya, sebanyak
150 pengrajin tahu dan tempe yang tergabung dalam Paguyuban Perajin Tahu Tempe Wijaya Kusuma Kartasura, Sukoharjo menghentikan produksinya selama dua hari pada Rabu (25/07/2012) dan Kamis (26/07/2012).
Padahal, tahu tempe hasil produksi Paguyuban Perajin Tahu Tempe Wijaya Kusuma tersebut dipasarkan di sejumlah wilayah di eks Karesidenan Surakarta. Makanan berprotein yang menjadi primadona tersebut dipasarkan hingga ke Solo, Sragen, Sukoharjo dan Klaten. "Kita semua sudah sepakat untuk menghentikan produksi selama dua hari," kata
Sekretaris Paguyuban Perajin Tahu Tempe Wijaya Kusuma Kartasura,
Suradi Cokro Ismoyo, Rabu (25/07/2012).
Aksi mogok produksi tersebut, lanjut dia, sebagai bentuk protes kepada
pemerintah yang dinilai gagal mengendalikan harga kedelai sebagai
bahan baku pembuatan tahu dan tempe. Usaha para pengrajin tahu tempe
anggota paguyuban terancam kolaps dengan kenaikan harga kedelai dari
harga normal Rp 5 ribu menjadi Rp 8 ribu. "Kenaikan yang mencapai
lebih dari 50 persen ini semakin membuat pengrajin tercekik," katanya.
Para pengrajin pun tidak berani menaikkan harga jual tahu dan tempe
produksinya karena khawatir tidak laku di pasaran dan memberatkan
masyarakat. Akhirnya, para pengrajin memutuskan untuk menjual tahu dan
tempe ke pasaran dengan harga impas. "Kita akhirnya jual hampir tidak
ada keuntungan yang didapat. Yang penting impas saja dengan ongkos
produksinya," katanya.
Dijelaskan Suradi, dengan harga kedelai normal, yakni Rp 5 ribu / KG,
ongkos produksi satu kali masak tahu atau tempe membutuhkan ongkos
produksi Rp 35 ribu dan hasilnya dijual dengan harga Rp 50 ribu.
Sementara saat ini, dengan kenaikan harga kedelai menjadi Rp 8 ribu /
KG, ongkos produksi tahu dan tempe satu kali masak melonjak menjadi Rp
48 ribu. "Tapi harga jualnya tetap Rp 50 ribu, kami tidak untung,"
keluhnya.
Dalam satu hari lanjutnya, setidaknya satu pengrajin di Kartasura
membutuhkan total 1 kwintal kedelai per hari. "Jadi kalau ada 150
pengrajin, setidaknya kita butuh 150 kwintal sehari," ujarnya.
Sementara satu kali masakan tahu atau tempe, setidaknya membutuhkan
bahan baku kedelai seberat 25 kilogram.
Kesabaran para pengrajin akhirnya habis dan puncaknya pada Rabu
(25/07/2012) ratusan pengrajin tahu dan tempe di Kartasura menggelar
aksi unjukrasa menuntut pemerintah mengendalikan harga kedelai di
pasaran. Para pengrajin menggelar orasi di Bundaran Kartasura dan
melakukan longmarch menuju Kantor Kecamatan Kartasura. "Jika harga
kedelai tidak segera turun, kami akan mengajak pengrajin dari
kecamatan lain untuk menggelar aksi besar," kata Suradi.
Salah seorang perajin lain, Sumaryono mengaku, selama beberapa hari
terakhir mereka menyiasati kenaikan harga kedelai tersebut dengan
memperkecil ukuran tempe yang diproduksi. Namun cara tersebut justru
menimbulkan kekecewaan dari konsumen. "Pemerintah sepertinya hendak
membenturkan kami dengan masyarakat selaku konsumen," katanya.
Menurut dia, pemerintah seharusnya mengambil langkah untuk menurunkan
harga kedelai, di antaranya dengan memberi subsidi bagi para
pengrajin. Selain itu, ketergantungan pasokan bahan baku kedelai dari
luar negeri juga harus ditekan dengan meningkatkan produksi kedelai
dalam negeri. (ade)