Kejati Didesak Menahan Bos PT Koya Coorporindo
Alwi Jaya mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan untuk segera melakukan upaya penahanan terhadap Direktur PT Koya Coorporindo
Laporan Wartawan Tribun Timur, Rudhy
TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Penasehat hukum terdakwa kasus tindak pidana korupsi Gerakan Nasional (gernas) Kakao Belopa, Kabupaten Luwu, Alwi Jaya mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan untuk segera melakukan upaya penahanan terhadap Direktur PT Koya Coorporindo Saleh Rahim yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang ditaksir merugikan negara senilai Rp 5,4 miliar.
Ismail adalah Pelaksana Teknis CV Koya Corporindo yang ditetapkan sebagai tersangka. Dan kini tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar.
"Untuk memperlancar dan memudahkan kejaksaan dalam proses penyidikan yang bersangkutan harus segera ditahan,” tegas Alwi Jaya saat dikonfirmasi, Sabtu (19/5/2012).
Selain meminta agar bos PT Koya Coorporindo ditahan kejaksaan, ia juga meminta agar kejaksaan segera memproses berkas tersangka, termasuk melimpahkannya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar untuk disidangkan.
"Tidak ada alasan kejaksaan untuk memperlambat berkas tersangka, karena penetapan Saleh Rahim sebagai tersangka itu sejak Februari lalu. Jadi data apa lagi yang diperlukan kejaksaan,” katanya menuding kejaksaan sengaja memperlambat proses pelimpahan berkas tersangka ke pengadilan.
Diketahui, dalam kasus ini selain Ismail yang kini sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Makassar, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Luwu sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen, Bambang Syam juga sudah dimejahijaukan.
Dalam persidangan beberapa waktu lalu, kedua terdakwa dituntut pidana penjara selama lima tahun oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Sulsel Muhammad Yusuf Putra. Tuntutan itu karena terdakwa diduga terbukti melanggar pasal 2 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain serta korporasi hingga menimbulkan terjadinya kerugian keuangan negara.
Atas tuntutan tersebut, Alwi yang bertindak selaku ketua tim pengacara terdakwa menuding tuntutan jaksa dinilai sangat tinggi dan tidak masuk akal.
Pasalnya, Dia meyakini kliennya sama sekali tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana sangkaan jaksa, melainkan yang semestinya bertanggungjawab dalam kasus ini adalah Saleh Rahim yang merupakan pemilik PT Koya Coorporindo.
"Semua uang yang berjumlah Rp 5 miliar itu sama sekali tidak pernah dinikmati terdakwa. Melainkan dana tersebut diparkir di rekening pribadi Saleh Rahim. Jadi sangat jelas siapa yang sebenarnya menikmati dan mengambil uang negara itu,” ujar Alwi.
Dia meminta agar pihak kejaksaan tidak menutup mata dalam melihat persoalan yang sebenarya terjadi. Dimana, menurut Alwi, pihak yang sebenarnya bertanggungjawab penuh secara pidana dalam kasus ini adalah Saleh Rahim. Bukan Ismail sebagaimana tuduhan jaksa.
Sementara, Asisten Pidana Khusus Kejati Sulsel Chaerul Amir yang dimintai keterangannya secara terpisah, berkas tersangka belum rampung lantaran pihaknya masih akan memeriksa (Saleh Rahim) terlebih dulu.
"Bukan kami memperlambat proses pelimpahan berkas tersangka. Namun yang bersangkutan harus kami periksa terlebih dulu sebagai tersangka. Menyangkut proses penahanan, itu menjadi kewenangan penyidik. Tapi jika dibutuhkan, tersangka akan kami tahan," tegas Chaerul.
Mantan Kajari Tangerang ini menjelaskan, penetapan Saleh Rahim sebagai tersangka karena turut membantu memanipulasi data jumlah luas lahan dan sambungan kakao.
Tersangka juga diduga mengurangi jumlah sambungan dari yang seharusnya dipasang. Total anggaran senilai Rp 14 miliar untuk Proyek Gernas Kakao pada 2009 itu. Jumlah itu diperuntukkan bagi program rehabilitasi kakao, intensifikasi lahan, dan peremajaan.
Penyidik menduga proyek untuk rehabilitasi kakao yang menelan anggaran Rp 10 miliar diduga bermasalah. Secara teknis, pelaksanaan sambung samping diperuntukkan bagi 2.000 hektare lahan atau setara dengan 2 juta pohon kakao.
Namun belakangan diketahui, setiap pohon malah diberi satu entris sambungan kakao. Padahal seharusnya dalam satu pohon terpasang 2 entris atau sama dengan 4 juta entris. "Bahkan fatalnya ada sekitar 369 ribu pohon yang tidak diberi sambung samping," tegas mantan Asisten Pengawasan Kejati Sulsel ini.
Baca juga: