Kamis, 2 Oktober 2025

Ramadan 2019

Nasihat Imam Al Ghazali Tentang Berbuka Puasa Dengan Makanan Yang Halal

Selain itu, perhatian Al-Ghazali tampak pada satu narasi hadis yang mungkin akrab di telinga kita, “Berapa banyak orang yang berpuasa

Editor: Husein Sanusi
TRIBUN JABAR/TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Sejumlah ibu-ibu relawan membungkus kurma di Ruang Lautze Muallaf Care Masjid Lautze-2, Jalan Tamblong, Kota Bandung, Kamis (16/5/2019). Sebanyak lebih kurang 700 bungkus kurma dan air mineral dibagikan relawan Masjid Lautze-2 setiap hari untuk takjil berbuka puasa bagi pengendara bermotor yang melintas di depan Masjid Lautze-2. Sementara bagi jemaah yang berbuka di Masjid Lautze-2 disediakan sekitar 150 dus makanan ringan dan nasi dus. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 

Dengan kata lain, semakin lezat makanan, maka nafsu makan pun bertambah. Dan ini akan meningkatkan syahwat-syahwat rendah yang menuntunnya pada altar kemalasan dan kemaksiatan.

Di dalam risalah Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin, Al-Ghazali menuliskan satu bab khusus tentang perut dan penjagaannya (al-bathnu wa hifzhuhu). 

Dia mengatakan, perut adalah tambang yang darinya kebaikan dan keburukan bergerak menjalar ke seluruh tubuh.

Sehingga perlu dijauhi karena tiga alasan: 1) menghindari neraka ; 2) seseorang yang mengkonsumsi makanan haram dan syubhat ditolak ibadahnya dan tak beroleh pertolongan dalam menjalankannya; 3) Pemakan haram dan syubhat kebaikannya akan ditolak dan tak dapat balasan.[6]

Dalam konteks kecerdasan nalar dan spiritual, Al-Ghazali pun menandaskan dalam risalahnya yang lain. Seperti disebutkan dalam Bidayatul Hidayah (Menjelang Hidayah): Jagalah urusan perut dari hal-hal haram dan mubah.

Berusahalah sekuat tenaga untuk mencari yang halal. Jika engkau telah mendapatkan, berusahalah membatasi diri sampai sebelum kenyang. Karena kenyang itu membuat hati keras, merusak kecerdasan, melupakan hafalan, memberatkan tubuh untuk ibadah dan mencari ilmu, memperkuat syahwat, dan membantu pasukan setan. Kenyang karena makanan halal merupakan pangkal segala keburukan, terlebih makanan haram.[7]

Berkaitan dengan hal di atas, sebuah studi yang sangat menarik dilakukan oleh Berg, dkk.[8] Pada tahun 1960-an mereka melakukan eksperimen dengan seekor tikus—eksperimen yang tidak apple to apple; antara manusia dan hewan; tapi tidak masalah, karena yang hendak diambil adalah substansi dan hikmahnya—dengan timbulnya penyakit ginjal kronis (glomerulonefritis kronis), gangguan jaringan tulang (periosteritis) dan semacam jantung koroner (degenerasi miokard), serta umur panjang dan kematian yang dipengaruhi oleh tingkat asupan makanan.

Dalam pemberian makan ad libitum (sebanyak dan sesering yang diinginkan), tikus mencapai ukuran besar dan mengalami obesitas. Ketika asupan makanan dibatasi 33% atau 46%, (tingkatan untuk mencegah akumulasi lemak dan sedikit efek memperlambat pertumbuhan tulang), usia pun semakin panjang dan timbulnya penyakit dapat dihindari.

Meskipun penyakit utama yang menyebabkan kematian pada tikus dan manusia berbeda secara alami, namun jaringan yang terkena penyakit sama. Pada kedua spesies, pembuluh darah, jantung, dan ginjal yang terkena hipertensi berpotensi menjadi komplikasi.

Dan terdapat bukti yang cukup bahwa kelebihan berat badan dan obesitas pada manusia menyebabkan harapan hidup pendek dan meningkatnya gangguan kardiovaskular, gangguan ginjal, dan hipertensi.

Selain untuk menghindari munculnya ragam penyakit seperti dibuktikan dalam penelitian di atas, jiwa dan rahasia puasa itu sejatinya untuk melemahkan kekuatan yang menjadi celah setan dalam menjerumuskan manusia pada kejahatan dan kehinaan.

Celah-celah itu tak akan tertutup ketika kita tidak segera menutupnya dengan mengurangi makan, terutama mengatur pola makan yang baik dan tidak berlebihan ketika buka puasa.

Dengan makan sedikit, kita dapatkan manfaat kemudahan dalam mengiba hati dan menghadang amalan-amalan saleh.

Seperti kata Al-Ghazali: “Barang siapa menjadikan antara hatindan dadanya tempat penampung makanan, maka dia terhijab dari-Nya. Dan siapa yang mengosongkan perutnya, demikian itu belum cukup untuk mengangkatkan hijabnya sebelum cita-citanya kosong dari selain Allah. Dan pangkal semua itu ada dalam menyedikitkan makanan.”

Artikel ini telah tayang di ganaislamika.com dengan judul: https://ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-6-psikologi-puasa-dalam-ihya-ulumuddin-2/

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved