Jumat, 3 Oktober 2025

Ramadan 2019

Nasihat Imam Al Ghazali Tentang Berbuka Puasa Dengan Makanan Yang Halal

Selain itu, perhatian Al-Ghazali tampak pada satu narasi hadis yang mungkin akrab di telinga kita, “Berapa banyak orang yang berpuasa

Editor: Husein Sanusi
TRIBUN JABAR/TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Sejumlah ibu-ibu relawan membungkus kurma di Ruang Lautze Muallaf Care Masjid Lautze-2, Jalan Tamblong, Kota Bandung, Kamis (16/5/2019). Sebanyak lebih kurang 700 bungkus kurma dan air mineral dibagikan relawan Masjid Lautze-2 setiap hari untuk takjil berbuka puasa bagi pengendara bermotor yang melintas di depan Masjid Lautze-2. Sementara bagi jemaah yang berbuka di Masjid Lautze-2 disediakan sekitar 150 dus makanan ringan dan nasi dus. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 

Menurutnya, ada tiga makna yang terkandung dalam hadis di atas. Pertama, orang yang berbuka dengan makanan haram.

Ini jelas sekali. Kedua, orang yang menahan diri atau berpuasa dari makanan halal, tetapi ketika berbuka dengan hidangan daging manusia dengan cara ghibah (bergunjing).

Ini dianalogikan dengan firman Allah SWT. (Lihat QS al-Hujurat [49]: 12). Dan ketiga, orang yang tidak menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa dan tercela.[2]

Selanjutnya, kelima, tidak memperbanyak makanan halal ketika berbuka sampai-sampai rongganya terisi penuh. Karena, sebagaimana disebutkan Al-Ghazali dengan mengutip hadis Nabi Saw. 

“Tidak ada tempat atau wadag yang lebih dibenci Allah dari perut yang penuh dengan yang halal.”[3] Ini artinya, ketika berpuasa, selayaknya pengaturan dan kontrol diri harus tetap kita pentingkan.

Karena puasa berarti al-imsak, yakni menahan. Dengan menahan itulah kita berharap ada faedah dan manfaat yang bisa kita dapatkan. Selain manfaat jasmani, tentu manfaat terbesarnya bagaimana kita semua menjadi hamba-hamba yang dekat dengan Allah SWT.

Poin penting dari pernyataan Al-Ghazali ini bukan dari faktor makanannya saja, tapi perolehannya harus dipastikan melalui jalan yang halal.

Sebab, sebenernya puasa juga harus memperhatikan gerak laju anggota tubuh lainnya. Jika perolehannya dari jalan yang haram, secara otomatis ketika menjelma hidangan menjadi haram.

Keharaman bukan terletak pada dzat dan wujud makanan, melainkan pada substansi dan nilai makanan tersebut. Sehingga ini akan mempengaruhi nilai dari ibadah puasa itu sendiri.

Maka, sesuatu yang haram atau menjadi haram, misalnya, dari kebanyakan makan atau substansi makanan yang diperoleh dari keharaman akan berpotensi merusak agama.

Sejalan dengan pernyataan di atas, ada istilah menarik mengenai makanan ini, Al-Ghazali mengistilahkan dengan fakhsy al-ghidza (makanan yang keji).

Menurutnya, makanan yang keji itu menzalimi dan mengakibatkan hati menjadi keras serta menjauhkan diri dari Allah SWT. 

Sedangkan makanan yang baik akan menerangi dan melahirkan kelembutan hati, serta mendekatkan dengan Allah, sebagaimana firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu. (QS Al-Baqarah [2]: 172)[4]

Karena itulah, Al-Ghazali mempertanyakan, bagaimana seseorang dapat mengambil manfaat puasa dengan menghancurkan musuh Allah dan meluluhlantakkan hawa nafsunya, manakala dia berpuasa lalu berbuka dengan apa yang tidak diperolehnya pada siang hari? Sehingga kebiasaan pun berlanjut dengan mengumpulkan dan mengkonsumsi makanan, bahkan yang tidak pernah dimakannya di luar bulan Ramadan sekalipun disantapnya sekalian.

Padahal tujuan puasa yaitu mengosongkan perut dan menghancurkan hawa nafsu guna memperkuat jiwa menuju takwa.[5] 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved