Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pilpres 2019

Indonesia Maju Vs Indonesia Menang: Buzzer Juara!

Hal terpenting bagi mereka adalah berita-berita tersebut bisa menjadikan polemik di tengah kampanye.

Editor: Hasanudin Aco
Ist for ribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM  - “Indonesia Maju” versus “Indonesia Menang”: siapa juara?

Itulah pertanyaan yang menggelayut di benak publik terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

“Indonesia Maju” adalah slogan atau “tagline” Tim Kampanye Nasional (TKN) dengan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Maruf Amin (01), sedangkan “Indonesia Menang” adalah slogan kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) dengan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (02).

Pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi juara atau pemenang Pilpres 2019 terus menggelayut karena hingga debat kandidat putaran pertama (17 Januari 2019), yang mempertemukan kedua pasang capres-cawapres, dan putaran kedua (17 Februari 2019), yang mempertemukan kedua capres, belum jelas kandidat mana yang diprediksi akan menang telak.

Debat putaran ketiga, kali ini hanya menghadirkan cawapres, akan digelar pada 27 Februari 2019, dengan mempertemukan KH Maruf Amin versus Sandiaga Uno.

Mengapa pertanyaan itu terus menggelayut?

Pertama, dalam survei berbagai lembaga, elektabilitas Jokowi-Maruf trend-nya terus menurun.

Sebaliknya, trend Prabowo-Sandi terus menanjak, sehingga selisih keduanya hanya satu digit. Bagi Jokowi selaku petahana, hal ini sangat mengkhawatirkan. Kalaupun Jokowi kembali menang, selisihnya sangat tipis sebagaimana pada Pilpres 2014.

Ini rawan gugatan, sehingga legitimasi pilpres pun akan dipertanyakan.

Kedua, berkaca dari Pilkada DKI Jakarta 2017, elektabilitas yang tinggi dalam survei tidak menjadi jaminan kandidat akan menang. Buktinya, calon gubernur-wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dikalahkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang elektabilitasnya dalam survei jauh tertinggal.

Mengapa ini terjadi? Berbagai lembaga survei menyimpulkan karena Anies-Sandi mengusung isu agama. Kini, ketika isu agama diusung Prabowo-Sandi, dikhawatirkan Jokowi-Maruf pun akan kalah.

Perang Hoaks

Bila kita cermati jalannya debat, tak berlebihan bila dikatakan terjadi perang hoaks alias data bohong, baik dari Jokowi ataupun Prabowo. Soal impor jagung, misalnya, data yang disampaikan Jokowi sedikit berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Prabowo menyebut Jawa Tengah lebih luas dari Malaysia, padahal sebaliknya.Data BPS, luas wilayah Jateng tahun 2017 adalah 32.544,12 kilometer persegi, sedangkan data Bank Dunia atau World Bank, luas Malaysia adalah 328.550 km persegi.

Jokowi menyampaikan selama tiga tahun terakhir sudah tidak pernah terjadi kebakaran hutan. Namun menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang Januari hingga 1 Juli 2017, luas kebakaran hutan di Indonesia mencapai 20.000 hektare, dan pada 2016 sekitar 480.000 hektare.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, terdapat 37.362 hektare lahan di Sumsel terbakar selama siaga Karhutla 2018. Kebakaran hutan dan lahan tersebar di 10 dari 17 kabupaten dan kota di Sumsel.

Prabowo mengatakan gaji gubernur Rp 8 juta. Sedangkan Menurut Keppres No. 86 Tahun 2001 besarnya tunjangan jabatan Kepala Daerah Provinsi sebesar Rp 5,4 juta, gaji gubernur Rp 3 juta, sehingga total Rp 8,4 juta.

Itu masih ditambah tunjangan operasional sesuai PP No. 109 Tahun 2000, yakni 0,12-0,15 dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Di tingkat grass roots (akar rumput), perang hoaks jauh lebih seru. Di arus bawah yang banyak menjadi korban adalah Jokowi. Teranyar adalah tiga orang emak-emak di Karawang, Jawa Barat, menyebarkan hoaks tidak akan ada lagi azan, dan perkawinan sesama jenis akan dilegalkan bila Jokowi menang.

Di dunia maya, perang hoaks jauh lebih seru lagi. Bahkan peran buzzer terhadap elektabilitas kandidat cukup besar. Peran buzzer dalam Pilpres 2019 adalah menyebarkan berita provokatif hingga hoaks.

Buzzer pada umumnya bekerja di media sosial. Mereka banyak menebar isu, berita bohong, hingga menjelek-jelekan kandidat lawan. Tujuannya, mengubah pandangan hingga mempengaruhi masyarakat terhadap capres yang membayarnya sehingga terpilih.

Hal terpenting bagi mereka adalah berita-berita tersebut bisa menjadikan polemik di tengah kampanye. Mereka membuat berbagai macam fake account hingga fake news dan berita-berita dengan kata kunci yang menjadi trending.

Soal kebenaran informasi yang disebarkan, mereka tak peduli. Pendek kata, siapa pun kandidat yang kelak menang, pemenang atau juara sesungguhnya adalah buzzer.

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved