Senin, 29 September 2025

Solidaritas Antar-Etnis Dinilai Efektif Tangkal Upaya Pecah-belah Bangsa

Seperti diaspora Indonesia yang sudah menjadikan negara asing sebagai tanah airnya, Tionghoa pun memandang Indonesia sebagai tanah air mereka

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
istimewa
KOHESI ETNIS TIONGHOA - Dari kiri ke kanan: Sejarawan Didi Kwartanada, Peneliti Pasca Doktor Monash University, Australia; Ravando Lie, Peneliti Pusat Riset politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Lidya Christin Sinaga, Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta Daniel Winarta, dan moderator Sekretaris Forum Sinologi Indonesia (FSI) Muhammad Farid di Seminar “Bagi Indonesia: Tionghoa dan Aktivisme dari Masa ke Masa.” Diskusi ini diselenggarakan Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), Aspertina, dan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta 13 September 2025.   

“Selama kebenaran belum terungkap, kita akan tetap mengalami diskriminasi,” ungkapnya. Namun ia menjelaskan bahwa terdapat juga tantangan internal dalam komunitas Tionghoa sendiri, yaitu ketakutan dari kalangan generasi tua, yang berujung pada larangan kepada anak-anak mereka untuk ikut serta dalam aktivisme. 

Selain itu, resiko yang dihadapi oleh pemuda dan pemudi Tionghoa ketika mengekspresikan pandangannya cenderung lebih tinggi dibandingkan resiko yang dihadapi oleh kelompok masyarakat yang lain.

“Bahkan untuk turut melakukan ‘klik’ pun lebih beresiko,” kata Daniel. 

Dalam pandangan peneliti BRIN, Lidya Christin Sinaga, berbagai cerita yang disampaikan di atas, merupakan hal yang sangat penting untuk disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia, demi mempertahankan apa yang ia sebut sebagai memori kolektif bangsa. 

“Upaya merawat memori kolektif bangsa ini penting karena suatu peristiwa publik meninggalkan jejak yang mendalam pada mereka yang mengalaminya, terutama orang muda yang sedang dalam proses mengonstruksi indentitas,” ungkap Lidya. 

Lidya mengatakan, Tionghoa dalam memori kolektif dan historiografi, khususnya sepanjang era orde baru, cenderung ‘diingat sekaligus dihapuskan.’

Itulah sebabnya Lidya menganggap upaya memelihara atau membangkitkan kembali memori kolektif, seperti dengan membangun Museum Benteng Heritage di Tangerang,

Museum Kebudayaan Indonesia Tionghoa di Bandung, dan Perpustakaan Medayu Agung di Surabaya, sebagai upaya yang sangat penting. 

Lidya berpesan kepada saudara sebangsa yang berlatar belakang etnik Tionghoa tetap mempertahankan identitas dan budaya Tionghoa untuk menjadi Indonesia. “Tetaplah menjadi Indonesia dengan menjadi Tionghoa,” ungkapnya.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan