Senin, 6 Oktober 2025

Demo Buruh

DPR Belum Sahkan UU Ketenagakerjaan Baru, Said Iqbal Sindir Kerjanya Cuma Minta Naik Gaji dan Joget

Said Iqbal berani melontarkan sindiran kepada DPR karena belakangan ini kinerja serta kesejahteraan anggota dewan itu tengah menjadi sorotan publik. 

Penulis: Rifqah
Editor: Tiara Shelavie
Tangkapan Layar YouTube Kompas TV
DEMO BURUH - Tangkapan layar foto Presiden Partai Buruh, Said Iqbal saat menyampaikan tuntutan buruh dalam aksi demo di depan Gedung DPR, Kamis (28/8/2025). Said Iqbal berani melontarkan sindiran kepada DPR karena belakangan ini kinerja serta kesejahteraan anggota dewan itu tengah menjadi sorotan publik.  

TRIBUNNEWS.COM - Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyinggung soal Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan yang tidak kunjung dibahas dan disahkan oleh DPR RI, terhitung sudah satu tahun lamanya.

Padahal, DPR RI diberi waktu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) maksimal dua tahun untuk segera membuat UU Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Pada Oktober 2024 lalu, MK mengabulkan sebagian permohonan tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU yang diajukan kalangan serikat pekerja atau buruh.

Menurut MK, pembuatan UU ketenagakerjaan yang baru itu diperlukan karena UU Ketenagakerjaan yang lama sudah tidak utuh, sebab sebagian materi atau substansi UU Ketenagakerjaan telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam perkara uji materi terdahulu.

Dijelaskan lagi oleh MK bahwa tumpang tindih norma yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi pekerja maupun pemberi kerja.

Namun, sudah satu tahun berlaku sejak 2024 lalu, DPR diketahui belum juga membahas dan mengesahkan UU Ketenagakerjaan yang baru tersebut.

Padahal, MK sudah memberikan mandat kepada DPR agar segera mengesahkan UU Ketenagakerjaan itu.

"MK menyatakan dalam 2 tahun rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru tanpa Omnibus Law sudah harus disahkan," kata Said saat menyampaikan tuntutan buruh dalam aksi demo di depan Gedung DPR, Kamis (28/8/2025).

Said Iqbal lantas menyindir kinerja DPR selama ini, dia menyebut lembaga perwakilan rakyat itu kerjanya hanya meminta gaji dan tunjangan naik saja.

Bahkan, dia juga tak segan menyebut DPR kerjanya cuma joget-joget.

"Ini sudah setahun. Terus kerja DPR ngapain? Minta naik gaji doang, minta naik tunjangan perumahan, minta fasilitas, joget-joget."

Baca juga: Buruh Demo, Gedung DPR Kosong

"1 tahun dia (DPR) nggak bahas Undang-Undang Ketenagakerjaan, kita minta itu (dibahas dan disahkan)," tegasnya.

Said Iqbal berani melontarkan kritik tersebut karena belakangan ini kinerja serta kesejahteraan anggota DPR tengah menjadi sorotan publik. 

Isu mengenai gaji dan tunjangan yang dikabarkan bisa mencapai Rp100 juta per bulan memicu kemarahan masyarakat, mengingat angka tersebut dinilai tak sebanding dengan kondisi ekonomi rakyat saat ini.

Namun, kabar itu dibantah oleh Wakil Ketua DPR, Adies Kadir. Dia menyatakan bahwa gaji anggota dewan tidak pernah mencapai angka tersebut, bahkan tidak mengalami kenaikan signifikan dalam 15–20 tahun terakhir.

Meski demikian, publik kembali dikejutkan dengan kebijakan baru terkait tunjangan rumah bagi anggota DPR periode 2024–2029, yang kini diganti dengan pemberian uang sebesar Rp50 juta per bulan. 

Kebijakan ini menuai pro dan kontra karena muncul di tengah situasi ekonomi yang memberatkan masyarakat.

Selain itu, sikap para anggota DPR juga dikritik usai mereka berjoget massal dalam penutupan Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD pada 15 Agustus 2025. 

Aksi mereka yang terlihat bersuka ria mengikuti alunan lagu daerah dinilai kurang sensitif terhadap penderitaan rakyat di luar gedung parlemen.

Putusan MK soal UU Ketenagakerjaan Baru

Dilansir mkri.id, dalam putusan UU Ketenagakerjaan baru berjumlah 687 halaman itu, MK meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023.

Pertimbangan hukum tersebut dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. 

MK menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja, terutama  terkait dengan norma dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah (baik berupa pasal dan ayat) sulit dipahami secara awam, termasuk sulit dipahami oleh pekerja atau buruh.

Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan atau diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.

Dalam putusan tersebut, MK membagi pertimbangan hukum ke dalam enam klaster dalil permohonan, sebagai berikut:

Dahulukan Tenaga Kerja Indonesia

Terkait dalil penggunaan tenaga kerja asing, MK mengabulkan sebagian permohonan terutama norma Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 yang diubah dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 yang menyatakan:

“Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” yang tidak mengatur pembatasan secara teĝas dan rigid serta hanya menggunakan frasa “hanya dalam” merupakan rumusan norma yang menimbulkan ketidakpastian (multitafsir) sebagaimana yang dikhawatirkan oleh para Pemohon.

Agar tidak terjadi penyimpangan dalam penerapannya, penting bagi MK untuk menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.

Jangka Waktu PKWT Lima Tahun

MK juga menegaskan soal aturan durasi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sebelumnya, dalam UU Cipta Kerja, dikembalikan pada perjanjian/kontrak kerja. 

Pasalnya, UU Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur agar durasi tersebut didasarkan pada waktu yang ditentukan oleh undang-undang. 

Melalui putusan ini, untuk memberikan perlindungan atas pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh sebelum dilakukan perubahan Pasal 81 angka 12 UU 6/2023, maka menurut MK terkait dengan pengaturan jangka waktu PKWT yang saat ini sudah berjalan yaitu, paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan PKWT sebagai dasar perjanjian kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 perlu ditegaskan sebagaimana selengkapnya dalam amar Putusan a quo.

Penentuan Jenis Pekerjaan Outsourcing

MK juga meminta supaya undang-undang kelak menyatakan agar menteri menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya (outsourcing) demi perlindungan hukum yang adil bagi pekerja. 

Menurut MK, perusahaan, penyedia jasa outsourcing, dan pekerja perlu punya standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat dibuat outsourcing, sehingga para buruh hanya akan bekerja outsourcing sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian.

Batasan ini juga diharapkan dapat mempertegas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik outsourcing yang kerap memicu konflik/sengketa pekerja dengan perusahaan.

Waktu Kerja Lima Hari

MK juga mengembalikan alternatif bahwa terdapat opsi libur 2 hari dan 5 hari kerja seminggu untuk para pekerja. 

Sebelumnya, aturan dalam UU Cipta Kerja hanya memberi jatah libur 1 hari seminggu untuk pekerja tanpa opsi alternatif libur 2 hari. 

Padahal, UU Ketenagakerjaan sejak awal menyediakan opsi libur 2 hari seminggu untuk pegawai yang dibebaskan berdasarkan produktivitas masing-masing perusahaan.

Dalil Mengenai Upah

UU Cipta Kerja melenyapkan penjelasan mengenai komponen hidup layak pada pasal soal penghasilan/upah yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan

“Berkenaan dengan norma baru tersebut, menurut Mahkamah tetap diperlukan adanya penjelasan maksud ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan tersebut merupakan bagian penting dalam pengupahan," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan. 

Oleh karena itu, MK meminta pasal soal pengupahan harus "mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua".

(Tribunnews.com/Rifqah)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved