Minggu, 5 Oktober 2025

Korupsi KTP Elektronik

Setya Novanto Dapat Diskon Vonis, Remisi, Bebas Bersyarat, Feri Amsari: Hukum Tajam ke Orang Kecil

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, kasus Setya Novanto adalah cerminan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
SETNOV BEBAS BERSYARAT - Dalam foto: Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto mengenakan rompi tahanan saat digiring penyidik ke Gedung KPK Jakarta, Minggu (19/11/2017) dini hari. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menanggapi terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP atau KTP Elektronik Setya Novanto yang baru saja bebas dari bui. 

TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menanggapi terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP atau KTP Elektronik Setya Novanto yang baru saja bebas dari bui.

Sehari jelang HUT RI ke-80, Setya Novanto yang merupakan mantan Ketua DPR RI itu resmi menghirup udara bebas, Sabtu (16/8/2025), dengan status bebas bersyarat.

Ia keluar dari tahanan setelah mendekam selama 8 tahun di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. 

Setelah bebas, ia tetap wajib lapor setiap bulan hingga 1 April 2029 sebagai bagian dari pengawasan pembebasan bersyarat.

Adapun Setya Novanto resmi bebas bersyarat, setelah beberapa kali mendapat remisi dan hukumannya semakin ringan karena Mahkamah Agung (MA) menyunat vonisnya. 

Hal inilah yang disoroti oleh Feri Amsari.

Soal Keberpihakan

Feri Amsari meyakini, pembebasan bersyarat Setya Novanto sudah sesuai prosedur hukum yang ada, tetapi yang harusnya diperhatikan adalah soal keberpihakan hukum.

Menurutnya, kalau soal prosedur bebas bersyarat, itu bisa diatur agar sesuai ketentuan.

Namun, kata Feri, pembebasan bersyarat ini tidak wajar untuk koruptor, apalagi di Indonesia, negara yang 'penyakit' korupsinya sudah kronis.

Feri pun menyinggung pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang mengaku bertekad akan mengejar koruptor hingga ke Antartika dalam acara penutupan Rapimnas Partai Gerindra Sabtu, (31/8/2024).

Baca juga: 5 Koruptor yang Bebas Bersyarat: Pinangki Sirna Malasari hingga Setya Novanto

"Ya, kalau sesuai prosedur, saya yakin sesuai prosedur. Tapi ini bicara keberpihakan," kata Feri, dikutip dari tayangan Sapa Indonesia Malam yang diunggah di kanal KompasTV, Senin (18/8/2025).

"Jadi, kalau prosedur kan bisa dibuat agar kemudian sesuai dan itu layak untuk diberikan kepada siapa pun termasuk dalam kasus korupsi. Tapi, tidak lumrah di sebuah negara yang bercita-cita akan mengejar koruptor hingga ke Antartika," jelasnya.

Feri juga menyinggung sejumlah keringanan yang didapat oleh Setya Novanto yang mengurangi masa hukumannya.

Menurutnya, pengurangan masa hukuman terkesan begitu mudah terhadap terpidana kasus koruptor.

Padahal, seharusnya kasus korupsi harus ditindak secara tegas dan keras.

Hal ini menunjukkan bahwa orang yang berkuasa lebih mudah mendapat keringanan, dan upaya pemberantasan korupsi tidak didukung maksimal.

"Lalu diberikan kemudahan-kemudahan yang signifikan mengurangi masa pidana mereka. Bagi saya, [ini, red] keberpihakannya yang tidak terlihat," papar Feri.

"Apalagi sepengetahuan saya, konsep pemberantasan kasus-kasus extraordinary ya, white collar crime (sebutan lain untuk tindak pidana korupsi, dalam bahasa Indonesia artinya kejahatan kerah putih, red.) ini biasanya jauh lebih keras tegas begitu ya. gitu," ujarnya.

"Nah, pemberian seperti dicicil potongan remisinya berkali-kali, PK juga dimenangkan, memang tidak menunjukkan keberpihakan kita dalam upaya pemberantasan korupsi," jelasnya.

"Orang yang punya kuasa begitu mudah mendapatkan remisi dan mereka bisa bebas sedemikian rupa dalam hal-hal yang menurut kita tidak dialami oleh pelaku tindak pidana lain, terutama kasus-kasus yang juga dianggap sebagai extraordinary, misalnya tindak pidana terorisme. Itu tidak akan pernah dapat yang begini-beginian begitu ya," sambung Feri.

Cerminan Penitensier di Indonesia: Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Selanjutnya, Feri Amsari menyebut bahwa pembebasan bersyarat Setya Novanto ini merupakan cerminan dari tak hanya peradilan, tetapi juga hukum penitensier di Indonesia.

Catatan: 
Hukum penitensier (penitentiaire recht) adalah bagian dari hukum pidana yang mengatur tentang pelaksanaan pidana (hukuman) setelah putusan dijatuhkan oleh hakim pengadilan. Hukum ini mencakup bagaimana hukuman dijalankan, termasuk jenis hukuman, lamanya hukuman, dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan hukuman. 

Feri, yang menjadi salah satu tokoh utama dalam film dokumenter politik Indonesia tahun 2014 Dirty Vote itu menilai, kasus Setya Novanto cerminan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Misalnya, kasus maling ayam atau pencurian skala kecil malah pemidanaannya berlangsung lama.

Namun, untuk koruptor yang merugikan masyarakat luas, malah gampang mendapat keringanan.

PROFIL DAN SOSOK - Ketua DPR RI Setya Novanto mengenakan rompi tahanan digiring penyidik ke Gedung KPK Jakarta, Minggu (19/11/2017) dini hari. Kini, Setya bebas bersyarat, berikut profil mantan Ketua DPR tersebut.
PROFIL DAN SOSOK - Ketua DPR RI Setya Novanto mengenakan rompi tahanan digiring penyidik ke Gedung KPK Jakarta, Minggu (19/11/2017) dini hari. Kini, Setya bebas bersyarat, berikut profil mantan Ketua DPR tersebut. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"Ini tidak hanya soal peradilan ya, karena penghukuman pemidanaannya oleh pengadilan memang kasus PK dia diringankan. Tapi dalam konteks ini, juga sistem penitensier kita. Bagaimana penghukuman itu dijatuhkan kepada orang yang dianggap bersalah," kata Feri.

"Nah, sistem penitensier kita ini kadang-kadang kalau maling ayam itu bisa lama. Bahkan banyak kasus yang ditangani teman-teman LBH di seluruh Indonesia itu kejadian kecil-kecil ya, maling kecil-kecil itu bisa dipukulin habis itu di kantor-kantor kepolisian hingga di tahanan," paparnya.

"Tapi untuk kasus-kasus korupsi selalu ada pengistimewaan-pengistimewaan ya. hukuman terus dikurangi dalam 1 tahun itu bahkan bisa 2 tahun, terpidana kasus korupsi diberi remisi dan lain-lain," jelas Feri.

"Nah, bagi saya ini tidak sehat. Dalam kasus Setnov ini semua orang sudah tahu bahwa dari awal banyak sekali pengistimewaan. Orang akan semakin tahu bahwa sistem hukum kita itu tidak sedang bekerja dengan benar," ujarnya.

"Hanya kepada orang-orang kecil-lah hukum itu betul-betul tajam. Sementara hukum akan sangat menghormati orang-orang yang punya kekuasaan, punya kekuatan politik untuk kemudian diberikan keringanan-keringanan," tandasnya.

Setya Novanto Dapat Keistimewaan

Selama menjalani masa tahanan di Lapas Sukamiskin, Setya Novanto mendapat sejumlah keistimewaan yang mengarah ke keringanan hukumannya, seperti diskon vonis hingga remisi beberapa kali, sampai akhirnya dinyatakan bebas bersyarat.

Diskon Vonis

Dalam kasus korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto sebetulnya divonis hukuman 15 tahun penjara. Namun, ia mendapat diskon vonis sehingga hukumannya berkurang.

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan pria yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Golkar masa jabatan 17 Mei 2016 – 13 Desember 2017 tersebut.

Dalam Putusan PK Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 sebagaimana dikutip dari laman resmi MA, Rabu (2/7/2025), MA menyunat vonis hukuman Setya Novanto terkait kasus korupsi proyek e-KTP dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara. 

Dalam amar putusan PK ini, Setya Novanto juga dijatuhi denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan, serta uang pengganti Rp49 miliar subsider dua tahun penjara.

Selain itu, MA mengurangi masa pencabutan hak politik atau hak untuk menduduki jabatan publik Setya Novanto dari 5 tahun menjadi 2 tahun 6 bulan.

Dengan pengurangan masa tahanan setelah PK dikabulkan MA ini, Setya Novanto resmi bebas bersyarat karena telah menjalani 2/3 masa hukuman 12,5 tahun penjara.

Rentetan Remisi

Setelah itu dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi e-KTP pada 24 April 2018 dan divonis 15 tahun penjara, Setya Novanto mulai mendekam di balik jeruji besi. 

Namun, selama masa tahanannya, ia beberapa kali mendapat remisi (pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat tertentu), dengan total durasi lebih dari dua tahun.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan RI (Kemenimipas) Mashudi mengungkap, total remisi hukuman yang didapatkan Setya Novanto sebanyak 28 bulan 15 hari.

"28 bulan 15 hari," ujar Mashudi, saat ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Salemba, Jakarta, Minggu (17/8/2025), dikutip dari KompasTV.

Namun, tidak dirinci berapa kali tepatnya Setya Novanto mendapatkan remisi.

Terbaru, Setya Novanto menjadi satu dari 288 narapidana di Lapas Sukamiskin remisi Hari Raya Idul Fitri 2025 atau 1446 Hijriah.

Namun, besaran pasti remisi yang dia dapat itu tidak terungkap. 

Sebelumnya, Setya Novanto mendapatkan remisi khusus Hari Raya Idul Fitri 2023 dan 2024, masing-masing sebanyak 30 hari atau sebulan.

Ia juga mendapatkan remisi sebanyak 90 hari pada Peringatan HUT ke-78 RI.

Remisi sendiri diberikan oleh pemerintah pada momen-momen tertentu, seperti Hari Kemerdekaan atau hari besar keagamaan (misal, Hari Kemerdekaan atau hari besar keagamaan), sebagai bentuk penghargaan atas perilaku baik kompensasi dan kesempatan untuk kembali ke masyarakat. 

Remisi diberikan kepada narapidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang pemasyarakatan.

Grand Corruption

Kasus korupsi e-KTP yang menjerat nama Setya Novanto adalah salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun.

Jika menilik nominal kerugian negara yang ditimbulkan, maka kasus korupsi e-KTP ini termasuk kategori Grand Corruption atau korupsi kelas kakap.

Grand Corruption sendiri artinya korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, yakni miliaran hingga triliunan rupiah, sebagaimana dikutip dari artikel Mengenal Tiga Jenis Korupsi Berdasarkan Skala dan Paparannya yang diunggah di laman aclc.kpk.go.id.

Politisi kelahiran Bandung, Jawa Barat 12 November 1955 itu terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2013 senilai Rp5,9 triliun.

Setnov, sapaan Setya Novanto, diduga telah menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan dalam kasus ini.

Proyek e-KTP sejatinya bertujuan memperbaiki sistem administrasi kependudukan di Indonesia, tetapi malah menjadi lahan korupsi akibat pengaturan anggaran, tender, dan pengadaan yang melibatkan pejabat pemerintah, anggota DPR, dan pihak swasta.

Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa proyek ini dirancang untuk menguntungkan pihak tertentu melalui rekayasa sejak tahap penganggaran hingga pelaksanaan.

Setya Novanto yang dulunya merupakan politisi Partai Golkar (Golongan Karya) itu disebut menerima uang 7,3 juta dolar AS dan sebuah jam tangan mewah Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS.

Arti Bebas Bersyarat

Istilah bebas bersyarat artinya menggambarkan proses pembebasan seseorang yang telah menjalani hukuman penjara.

Biasanya, bebas bersyarat terjadi sebelum masa hukuman selesai. Sesuai namanya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi narapidana yang sudah diputuskan bebas bersyarat:

1. Narapidana harus telah menjalani minimal 2/3 masa pidananya.
2. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 bulan terakhir sebelum tanggal 2/3 masa pidana.
3. Mengikuti program pembinaan berupa pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pengembangan sosial dengan baik.
4. Melengkapi dokumen yang diperlukan, seperti salinan kutipan putusan hakim, laporan perkembangan pembinaan, laporan penelitian kemasyarakatan, dan surat pemberitahuan ke kejaksaan negeri tentang rencana pembimbing.

Seorang narapidana yang sudah mendapat status bebas bersyarat juga masih diharuskan untuk menjalani wajib lapor, sesuai ketentuan yang diputuskan oleh hakim.

(Tribunnews.com/Rizki A.)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved