Keponakan Prabowo Dorong Revisi UU TPPO: Harus Menitikberatkan Rasa Keadilan pada Korban
Saraswati Djojohadikusumo alias Sara, mendorong dilakukannya Revisi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
Penulis:
Rizki Sandi Saputra
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Jaringan Nasional (Jarnas) Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo alias Sara, mendorong dilakukannya Revisi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Menurut Sara, beleid yang mengatur soal penerapan aturan dan penegakan hukum atas TPPO ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.
"Ya undang-undang nomor 21 tahun 2007 adalah undang-undang tindak pidana perdagangan orang yang dimana memang sudah sangat lama, sudah tua dan perlu adanya revisi untuk bisa mengikuti dengan perubahan zaman," kata Sara saat ditemui awak media di Gedung LPSK, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Menurut keponakan Presiden RI Prabowo Subianto itu, saat ini modus operandi oleh pelaku TPPO sudah makin beragam.
Bahkan kata dia, yang marak terjadi saat ini di Indonesia yakni dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
TPPO ini kata Sara, masuk dalam tindak kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.
"Di mana modus-modus operandi dari para pelaku itu perdagangan orang ini sudah sangat berevolusi, berubah dan kita harus menyesuaikan terutama dari segi untuk digital, untuk dunia cyber, untuk perdagangan-perdagangan seperti online scamming dan seterusnya," tutur dia.
Tak hanya itu, aturan yang eksisting saat ini di Indonesia masih tidak menitikberatkan pada rasa keadilan terhadap korban dari TPPO.
Baca juga: Banyak Pelaku TPPO Enggan Bayar Restitusi kepada Korban, LPSK Ungkap Penyebabnya
UU TPPO yang ada saat ini menurut Sara hanya fokus pada pemberian atau penjatuhan hukuman terhadap pelaku.
"Dan tentunya bagaimana kita bisa hadir untuk korban karena undang-undang tersebut itu lebih menitikberatkan menghadirkan keadilan tapi dari segi hukuman kepada pelaku bukan kita fokus untuk korban," beber dia.
Atas hal itu, Sara meminta adanya kepastian terhadap pendekatan yang terpusat kepada korban TPPO bukan hanya pelaku atau victim-centered approach.
Sara yang juga merupakan anggota Komisi VII DPR RI ingin memastikan kalau pihaknya akan memperjuangkan suara-suara korban.
"Banyak dari mereka membutuhkan keadilan dan itu jangka panjang kita bicara bukan hanya restitusi, kita juga bicara kompensasi dari negara, kita juga bicara bagaimana untuk memastikan adanya rumah pemulihan di seluruh Indonesia untuk para korban agar mereka bisa menjadi penyintas dan bisa hidup secara produktif dan mandiri," ujarnya.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menerima sebanyak 2.373 permohonan perlindungan dari korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kata Ketua LPSK Achmadi, jumlah lebih dari dua ribu laporan itu merupakan akumulasi dari lima tahun.
Dalam rincian Achmadi, pada tahun 2020 LPSK menerima sebanyak 203 permohonan, selanjutnya pada 2021 ada 147 permohonan, lalu pada 2022 ada 150 permohonan, serta sempat melonjak pada 2023 menjadi 1.297 permohonan, dan 576 permohonan pada 2024.
Menurut Achmadi, dengan melonjaknya jumlah permohonan tersebut menandakan bahwa makin banyak korban yang berani bersuara untuk melapor.
"Peningkatan yang signifikan, khususnya pada Tahun 2023 mencerminkan bahwa semakin banyak korban yang berani bersuara dan mencari perlindungan," kata Achmadi saat membuka diskusi publik bertajuk 'Menakar Peluang dan Tantangan Penegakan Hukum serta Pemulihan Korban TPPO di Indonesia ' di Gedung LPSK, Jakarta, Kamis (31/7/2025) siang.
Dari sebagian besar pemohon mengajukan permohonan tersebut, kata Achmadi, mereka meminta adanya pergantian ganti rugi restitusi dari pelaku.
Di mana pada tahun 2024, LPSK memfasilitasi 439 permohonan restitusi yang totalnya mencapai Rp7,5 Miliar.
"Sebagian besar pemohon mengajukan permohonan restitusi. Sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 439 permohonan restitusi yang difasilitasi oleh LPSK, dengan total nilai restitusi yang dihitung mencapai Rp7.488.725.925," ucap Achmadi.
Hanya saja, tidak semua permohonan restitusi bisa berjalan dengan baik.
Salah satu hambatan dalam pemenuhan hak restitusi terhadap korban itu adalah permohonan yang tidak dikabulkan Majelis Hakim di pengadilan.
Sekalipun dikabulkan oleh majelis hakim, kemampuan membayar restitusi dari pelaku juga kerap kali tak terlaksana.
"Kalaupun dikabulkan, besarannya sering kali tidak sesuai dengan hasil perhitungan. Dan meskipun putusan telah berkekuatan hukum tetap, banyak pelaku yang enggan menjalankan kewajibannya," ucap dia
Achmadi mengakui kalau hingga saat ini belum ada regulasi yang memaksa pelaku untuk menjalankan kewajiban membayar restitusi kepada korban itu.
Hal itu yang menurut dia, menjadi tantangan seluruh stakeholder dalam upaya menerapkan putusan pengadilan.
"Belum adanya mekanisme pemaksaan yang efektif menjadi salah satu tantangan utama dalam pemenuhan hak restitusi bagi korban. Karena itu, perlu dicari solusi atau jalan keluar yang tepat untuk mengatasi hal ini," ujarnya.
Kepala BGN Dadan Mendadak Ditelepon Prabowo, Tanya Isu Ompreng MBG Diduga Mengandung Minyak Babi |
![]() |
---|
Sosok Gadis Sukabumi Korban TPPO di China, Ibu hanya Buruh Pabrik dan Diminta Tebusan Rp200 Juta |
![]() |
---|
Komisi I DPR Ungkap Sejumlah Tantangan Keamanan Dihadapi Menko Polkam Djamari Chaniago, Apa Saja? |
![]() |
---|
Harta Kekayaan Qodari Kepala KSP Baru Capai Rp 261 Miliar, Punya 176 Tanah dan Bangunan |
![]() |
---|
M Qodari Naik Pangkat Jadi Kepala KSP, Rocky Gerung: Kesannya Prabowo Tak Mengerti Demokrasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.