Mahfud MD Sebut Wamen Merangkap Komisaris Berisiko Terjerat Kasus Korupsi
Mahfud MD mengatakan wamen yang merangkap jabatan sebagai komisaris melanggar putusan MK berisiko pidana korupsi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan sebagai komisaris melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan berisiko memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Fenomena Wamen rangkap jabatan Komisaris BUMN sedang jadi sorotan publik di Indonesia. Dalam Kabinet Merah Putih era Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, tercatat 30 wamen merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN atau anak perusahaannya
Di antaranya: Stella Christie – Wamen Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi → Komisaris PT Pertamina Hulu Energi
Taufik Hidayat – Wamen Pemuda dan Olahraga → Komisaris PT PLN Energi Primer Indonesia
Fahri Hamzah – Wamen Perumahan dan Kawasan Permukiman → Komisaris PT Bank Tabungan Negara
Veronica Tan – Wamen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak → Komisaris PT Citilink Indonesia
Baca juga: Cak Imin Setuju Wakil Menteri Rangkap Jabatan Jadi Komisaris BUMN
Mahfud MD menilai pemerintah terkesan mengabaikan putusan MK tersebut, meskipun bersifat final dan mengikat.
Menurutnya, MK melarang wamen menjabat komisaris karena statusnya sebagai jabatan politik, bukan karier.
“Gini, MK sudah memberi putusan dengan jelas bahwa apa yang dilarang bagi menteri dilarang juga bagi wamen. Kan itu bunyi putusan,” kata Mahfud MD, dikutip dari kanal YouTube Hendri Satrio Official, Sabtu (26/7/2025).
Ia menyoroti terjadinya konflik kepentingan, khususnya ketika pejabat dari Kejaksaan Agung atau KPK merangkap jabatan di BUMN melalui Danantara, yang seharusnya diawasi secara independen.
“Memperkaya diri sendiri, tahu bahwa itu dilarang, tapi tetap mengambil gaji di situ. Yang mengangkat juga memperkaya orang lain, merugikan keuangan negara,” tegas Mahfud MD.
Mahfud MD menilai, praktik merangkap jabatan tersebut sama dengan memperkaya diri sendiri. Bahkan, merujuk pada pasal 55 KUHP, ia mengatakan yang memberikan jabatan pun bisa terseret dalam pusaran korupsi tersebut.
"Kalau di dalam hukum pidana ada tindak pidana bersama-sama. Pasal 55 ya, secara bersama-sama terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Tapi kan lalu alasan konyolnya itu sering ‘Pak itu kan hanya ada di pendapat Mahkamah bukan di amar?’ Sebenarnya pendapat Mahkamah itu ya itulah sebenarnya hukum karena itu yang disebut memori van toechlichting namanya,” jelas Mahfud MD.
Baca juga: MK Pernah Tegaskan Wamen tak Boleh Rangkap Jabatan Lewat Putusan Tahun 2019
Menurut Mahfud MD, membiarkan pelanggaran ini tetap berlangsung dapat merusak tatanan konstitusional dan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan serta membuka celah untuk penyalahgunaan kekuasaan yang lebih luas di masa yang akan datang.
“Tapi kan hukum tuh lagi-lagi produk politik. Kalau pemerintahnya masih (abai) seperti itu ya akan seperti itu. Tapi kalau pemerintah mau baik-baik, ya yang kemarin sudah terlanjur sekarang sudah putusan MK mari kita hentikan (pengangkatan wamen jadi komisaris),” kata Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud mengingatkan akan adanya risiko politik jika praktik pengangkatan wamen menjadi komisaris ini masih berlangsung. Dalam hal ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu melihat potensi penyalahgunaan jabatan untuk akomodasi politik.
“Nanti bahaya loh kalau yang akan datang wamennya tambah menjadi 200 atau dapat semua dikasih jabatan,” ucapnya.
Baca juga: MK Tolak Permohonan Gugat Rangkap Jabatan Wamen karena Pemohon Telah Meninggal Dunia
Mahfud menilai, pemerintah harus mencari solusi alternatif tanpa melanggar putusan MK.
Ia mencontohkan pengalamannya berdiskusi dengan KPK, yang sempat merencanakan aturan teknis untuk menjerat pelaku rangkap jabatan, meski terhambat dinamika politik, agar tata kelola pemerintahan tetap bersih.
“Kalau pemerintah mau baik-baik ya yang kemarin sudah terlanjur sekarang sudah putusan MK, mari kita hentikan. Kalau perlu dikasih uang lain carikan saja tapi jangan ngerangkap-rangkap gitu," pungkasnya.
Untuk diketahui saat ini, ada 26 Wakil Menteri yang merangkap jabatan menjadi Komisaris.
Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) menyatakan rangkap jabatan oleh wamen tidak melanggar hukum karena tidak ada larangan eksplisit dalam putusan MK
Namun, sejumlah pihak menilai ini sebagai kemunduran etika pemerintahan dan berisiko terhadap tata kelola BUMN
Baca juga: Profil 3 Kader PSI di Kabinet Merah Putih, Ada yang Rangkap Jabatan Jadi Komisaris
Rangkap jabatan oleh komisaris BUMN sebenarnya dilarang dalam Pasal 33 UU 19/2003 tentang BUMN.
Pasal 33 menyebutkan, anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: a. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau b. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya Penegasan ihwal Mahkamah Konstitusi (MK) melarang rangkap jabatan wakil menteri (wamen) disinggung dalam sidang pengujian Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara pada Kamis (17/7/2025).
Hal itu termuat dalam dokumen putusan atas sidang Perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 yang baru saja berlangsung di Gedung MK, Jakarta.
"Dengan adanya penegasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU 39/2008," dikutip dari isi dokumen itu melalui lama resmi MK.
Perkara 80 itu dimohonkan oleh Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Bayu Segara dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Novan Laliatthul Rizky.
Mereka juga menguji UU Kementerian Negara yang pada akhirnya tidak dapat diterima oleh MK.
Namun dalam pertimbangan hukumnnya, hakim konstitusi kala itu menegaskan ihwal rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara berlaku pula bagi wamen.
Baca juga: Bivitri Susanti Tegaskan Revisi UU BUMN Hanya untuk Mendukung Danantara
Terkini, UU Kementerian Negara kembali digugat Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy Roringkon dalam perkara Nomor 21 yang putusannya baru saja dibacakan oleh MK.
Juhaidy menilai sejumlah pasal dalam UU Kementerian bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan ia merasa dirugikan karena tidak adanya larangan bagi wamen untuk rangkap jabatan.
Namun MK juga tidak menerima permohonan Juhaidy. Sebab ia telah meninggal dunia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.