Selasa, 30 September 2025

RUU KUHAP

Abraham Samad Sebut RUU KUHAP Akan Mempersulit KPK Berantas Korupsi

Abraham Samad buka suara soal RUU KUHAP khususnya soal sejumlah aturan dalam penanganan kasus bagi penyidik KPK.

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/ Abdi Ryanda Shakti
RUU KUHAP - Mantan Ketua KPK Abraham Samad di Gedung Joeang, Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2025). Samad buka suara soal RUU KUHAP khususnya soal sejumlah aturan dalam penanganan kasus bagi penyidik KPK. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua KPK, Abraham Samad buka suara soal RUU KUHAP khususnya soal sejumlah aturan dalam penanganan kasus bagi penyidik KPK.

Salah satu yang menjadi polemik dan bertentangan dengan praktik di KPK adalah soal penyadapan dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan tanpa memerlukan izin pengadilan, cukup dilaporkan kepada Dewan Pengawas (Dewas).

Abraham Samad menyebut nantinya kebijakan tersebut dapat membuat penyidik KPK mendapatkan kesulitan dalam rangka penegakkan hukum.

"Itu (RUU KUHAP) membuat KPK semakin sulit melakukan kerja-kerja penegakkan hukumnya," kata Abraham Samad saat ditemui di Gedung Joeang, Menteng Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2025).

Ada 17 Poin

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara terbuka menyuarakan kekhawatirannya terhadap draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). 

Lembaga antirasuah tersebut telah mengidentifikasi setidaknya 17 poin krusial yang dinilai tidak sinkron dan berpotensi mengebiri kewenangan khusus yang dimiliki KPK dalam memberantas korupsi.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa temuan ini merupakan hasil dari diskusi dan kajian mendalam di internal lembaga. 

Catatan kritis tersebut akan segera disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai masukan resmi dalam proses legislasi.

"Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan dan ini masih terus kami diskusikan," kata Budi dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).

Kekhawatiran utama KPK berpusat pada potensi degradasi status hukum UU KPK sebagai lex specialis (undang-undang khusus) yang seharusnya mengesampingkan hukum acara umum. 

Menurut KPK, RKUHAP memuat pasal-pasal yang dapat meniadakan kekhususan tersebut, sehingga mengancam efektivitas kerja KPK mulai dari tahap penyelidikan hingga penuntutan.

Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RKUHAP:

1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".

2. Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.

3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.

4. Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.

5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.

6. Penetapan Tersangka Terikat Tahapan: RKUHAP mengaitkan penetapan tersangka dengan tahap penyidikan, sementara KPK menetapkan tersangka berdasarkan temuan dua alat bukti, yang bisa didapat sejak penyelidikan.

7. Intervensi dalam Penghentian Penyidikan: RKUHAP mensyaratkan keterlibatan penyidik Polri dalam penghentian penyidikan, padahal mekanisme internal KPK adalah melalui pemberitahuan kepada Dewan Pengawas.

8. Birokrasi Baru Penyerahan Berkas: RKUHAP mengindikasikan penyerahan berkas perkara harus melalui penyidik Polri, bertentangan dengan UU KPK yang mengatur pelimpahan langsung dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK.

9. Pembatasan Wewenang Penggeledahan: RKUHAP membatasi penggeledahan hanya pada tersangka dan mewajibkan pendampingan penyidik Polri dari yurisdiksi setempat, menggerus wilayah hukum penyidik KPK yang bersifat nasional.

10. Izin Penyitaan dari Pengadilan: RKUHAP mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penyitaan, bertentangan dengan praktik KPK yang hanya perlu memberitahukan kepada Dewan Pengawas.

11. Izin Penyadapan dari Pengadilan: RKUHAP mensyaratkan izin Ketua PN untuk penyadapan dan hanya boleh dilakukan saat penyidikan. Ini menghapus kewenangan KPK menyadap sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.

12. Pembatasan Pencegahan ke Luar Negeri: RKUHAP membatasi larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka, padahal KPK seringkali perlu mencegah saksi atau pihak terkait lainnya.

13. Proses Praperadilan Menghambat Sidang Pokok Perkara: RKUHAP mengatur pokok perkara korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan berlangsung, bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana.

14. Kewenangan Perkara Koneksitas Tak Diakomodir: Kewenangan KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan perkara koneksitas (melibatkan sipil dan militer) yang telah dikuatkan putusan MK tidak diatur dalam RKUHAP.

15. Monopoli Perlindungan Saksi oleh LPSK: RKUHAP seolah menyerahkan perlindungan saksi hanya kepada LPSK, mengabaikan kewajiban dan hak KPK untuk melindungi saksi dan pelapornya sendiri.

16. Penuntutan Lintas Wilayah Dihambat: RKUHAP mewajibkan penuntut umum mendapat surat pengangkatan sementara dari Jaksa Agung untuk menuntut di luar daerah hukumnya, bertentangan dengan wewenang penuntut KPK yang berlaku di seluruh Indonesia.

17. Ambiguitas Status Penuntut Umum KPK: Definisi Penuntut Umum dalam RKUHAP dinilai berpotensi tidak secara eksplisit mengakui penuntut yang diangkat oleh KPK.

Budi Prasetyo menegaskan bahwa daftar catatan ini akan menjadi bahan advokasi KPK untuk memastikan bahwa revisi hukum acara pidana tidak justru menjadi langkah mundur bagi perang melawan korupsi di Indonesia.

"Dan tentu nanti hasilnya juga akan kami sampaikan kepada Bapak Presiden dan DPR sebagai masukan terkait dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut," katanya.

Sosok Abraham Samad

Abraham Samad merupakan seorang aktivis sekaligus pengacara dan advokat yang lantang menyuarakan gerakan anti korupsi.

Dia pernah menjabat sebagai Ketua KPK periode 2011 hingga 2015 dan juga penggagas berdirinya sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang diberi nama Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi.

Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan pada 27 November 1966 tersebut pernah mengenyam pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin Makassar.

Di sana, dia memperoleh gelar Sarjana Hukum saat menginjak usia 26 tahun.

Masih di kampus yang sama, Abraham Samad melanjutkan studi S2 dan S3 di bidang hukum.

Setelah lulus kuliah, Abraham Samad mengawali karier sebagai advokat pada 1995 dan mendirikan sebuah LSM ACC Sulawesi.

LSM ini bergerak dalam kegiatan pemberantasan korupsi, seperti melakukan kegiatan pembongkaran kasus-kasus korupsi, khususnya di Sulawesi Selatan.

Abraham Samad juga pernah mendaftar sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial (KY).

Namun, semuanya gagal hingga Abraham Samad memutuskan mengikuti seleksi calon pimpinan KPK sampai tiga kali, hingga akhirnya berhasil.

Saat menjabat sebagai ketua KPK, Abraham Samad pernah mengungkap kasus korupsi dari elite Partai Demokrat, seperti Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng, yang merupakan orang dekat dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan