Syahganda Nainggolan Paparkan Konsekuensi Indonesia Bergabung dengan BRICS
Syahganda memaparkan konsekuensi dari pilihan Indonesia bergabung dengan poros Brazil, Russia, India, China, dan South Africa (BRICS).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah diminta menghitung kembali berbagai kebijakan politik luar negeri Indonesia di tengah gejolak politik global, mulai dari perang Rusia-Ukraina sampai perang Iran-Israel, dan tentu saja persaingan AS dan BRICS.
Prabowo Subianto juga diimbau agar tidak menjadi presiden elitis yang tidak terkoneksi dengan akar rumput karena lebih sering dikelilingi menteri-menteri eks pemerintahan Joko Widodo yang sekadar ingin mempertahankan posisi di lingkaran kekuasaan.
Demikian antara lain disampaikan Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, ketika berbicara di sebuah forum diskusi terbatas yang diselenggarakan Grup Diskusi Patiunus 75 di Senayan Park, Kamis (10/7/2025) kemarin.
Syahganda mengawali uraiannya dengan memaparkan konsekuensi dari pilihan Indonesia bergabung dengan poros Brazil, Russia, India, China, dan South Africa (BRICS).
Syahganda khawatir pilihan politik ini dipengaruhi oleh kelompok menteri yang hanya sekadar ingin mempertahankan kekuasaan yang telah mereka duduki sejak era pemerintahan yang lalu.
“Itu kan orang-orang yang selama ini menikmati kekuasaan sebagai ABS, asal bapak senang. Mereka mungkin aja tipu-tipu Prabowo,” ujar Syahganda.
“Kalau kita mau serius, dihitung. Amerika itu meng-implan kekuatan intelijen dan militer di Indonesia sudah 30 tahun lebih. Kita berani nggak melawan itu. Orang-orang itu (eks menteri Jokowi) bicara gampang-gampang. Amerika itu anggaran militernya 963 miliar dolar AS. Belum lagi anggaran militer NATO sebesar 1,5 triliun dolar AS. Kekuatan kita apa?” urai Syahganda.
Syahganda mencontohkan salah satu pembicaraanya dengan perwira tinggi TNI yang aktif di dunia intelijen mengenai konsekuensi dari kemarahan Amerika Serikat atas keputusan politik luar negeri Indonesia.
Kepada sang perwira tinggi dia bertanya, kalau Amerika Serikat marah pada Indonesia, bisakah Papua dibantu mereka agar merdeka?
Menjawab pertanyaan itu, sang perwira tinggi ini berkata, “Tidak usah Amerika Serikat, proxy (kaki tangan) CIA saja yang bergerak, Papua bisa merdeka.”
Syahganda mengingatkan bahwa situasi di panggung politik global tidak bisa dianggap main-main.
Tanpa militansi dukungan rakyat semesta, kekuatan Indonesia terlalu kecil saat ini. Apalagi di era Jokowi lalu mentalitas rakyat rusak karena daya beli lemah dan praktek korupsi meluas.
Dia juga mengajak peserta diskusi memikirkan sekali lagi keputusan Amerika Serikat melibatkan diri di tengah perang Iran-Israel dengan menjatuhkan bom di tiga situs nuklir Iran.
“Kalau orang sudah berani membom negara lain, memang dia akan berhenti? Ya enggak dong. Dia bukan berhenti, tapi mengintai. Dia tidak takut pada Rusia dan pada China, tidak,” kata Syahganda lagi.
Hadiri The Taste of Papua, Fatma Saifullah Yusuf Puji Kelezatan Papeda Khas Papua |
![]() |
---|
Bobby Nasution Apresiasi Kunjungan PWI Sumut, Tekankan Dukungan Pers untuk PHTC |
![]() |
---|
All Sedayu Hotel Kelapa Gading, Pilihan Ideal untuk Acara Bisnis dan Keluarga di Jakarta Utara |
![]() |
---|
Hasil Badminton China Masters 2025: Skor Afrika Warnai Kegagalan Alwi Farhan ke 16 Besar |
![]() |
---|
4 Destinasi Wisata di Jawa dengan Pesona Alam Indonesia, Bak Raja Ampat! |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.