Kasus Korupsi Pengadaan EDC
Duduk Perkara Korupsi Mesin EDC Bank BUMN: Duit Rakyat Rp744 M Raib Lewat Rekayasa Lelang
KPK mengungkap borok pengadaan mesin EDC di bank pelat merah: vendor ditunjuk sebelum lelang, harga diatur, hingga pejabat diberi gratifikasi sepeda m
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk, Indra Utoyo, sebagai salah satu tersangka atas kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di bank pelat merah periode 2020–2024 atau sewaktu dirinya menjabat Direktur Digital dan teknologi Informasi bank tersebut.
Indra tidak sendiri. Ia ditetapkan bersama empat orang lainnya, termasuk eks Wakil Direktur Utama bank pelat merah, Catur Budi Harto.
Skandal ini diperkirakan merugikan keuangan negara hingga Rp744,5 miliar, dengan modus rekayasa dalam pengadaan EDC melalui dua skema: beli putus dan sewa jangka panjang.
“Mereka diduga memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi dalam pengadaan EDC, dengan kerugian negara sekurangnya Rp744,5 miliar,” kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Rabu (9/7/2025).
Lalu, bagaimana duduk perkara maupun modus korupsi mesin EDC bank BUMN tersebut terjadi?
Baca juga: BREAKING NEWS: KPK Tetapkan Dirut Allo Bank Tersangka Korupsi Mesin EDC Rp744 M
Rekayasa Sejak Awal: Vendor Dipilih Sebelum Lelang
Modus korupsi dalam pengadaan mesin EDC di bank pelat merah ini tidak terjadi secara tiba-tiba.
KPK mengungkap bahwa praktik curang ini sudah dirancang sejak tahap perencanaan pada tahun 2019, bahkan sebelum proses lelang dimulai.
Dua skema pengadaan yang disorot adalah:
- EDC Android (beli putus) senilai Rp942,79 miliar untuk 346.838 unit
- Full Managed Service (FMS) EDC Single Acquirer (sewa) senilai Rp1,25 triliun untuk 200.067 unit selama 2021–2024
Dua vendor utama ditunjuk sejak awal:
- PT Pasifik Cipta Solusi (PCS), Direktur Utama: Elvizar
- PT Bringin Inti Teknologi (BRI IT), membawa merek Verifone, Direktur Utama: Rudy Suprayudi Kartadidjaja
Baca juga: Sosok Indra Utoyo, Dirut Allo Bank Jadi Tersangka Kasus Korupsi Mesin EDC Rp744 M
KPK menyebut Indra Utoyo, saat itu Direktur Digital dan TI bank pelat merah, sebagai pihak yang menandatangani seluruh dokumen strategis:
- Izin prinsip penggunaan anggaran pengadaan EDC (2020–2021)
- Izin pelaksanaan pengadaan (2020)
- Putusan hasil pengadaan (2020–2021)
Indra juga mendorong agar pengadaan beralih dari sistem konvensional menjadi EDC full Android, dan memerintahkan dua bawahannya, Danar Widyantoro dan Fajar Ujian, agar dua merek—Sunmi dan Verifone—diuji lebih dulu melalui proses Proof of Concept (POC).
Namun, hanya dua vendor itu yang diuji, sementara merek lain seperti Nira, Pax, dan Ingenico tak diberi kesempatan. Proses POC juga tidak diumumkan terbuka, menyalahi prinsip keterbukaan dan persaingan sehat.
“Proses POC hanya dilakukan untuk dua merek tertentu, padahal ada vendor lain. Ini menyalahi prinsip keterbukaan,” ujar Asep Guntur.
Lebih lanjut, dokumen Term of Reference (TOR) ikut direvisi.
Atas permintaan Elvizar, Catur Budi Harto meminta Dedi Sunardi (pejabat pengadaan) untuk merevisi Annex 2 TOR, dengan memasukkan batas waktu POC maksimal dua bulan. Spesifikasi teknis ini secara tidak langsung mengunci peluang vendor lain.
Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) juga bermasalah. Harga tidak merujuk ke prinsipal, melainkan ke harga dari vendor yang sebelumnya sudah diplot sebagai pemenang tender. Bahkan, SPK simulasi yang sudah dikondisikan dijadikan acuan.
“Jadi harga dasar pengadaan disesuaikan dengan vendor yang sudah disiapkan sebelumnya. Ini pola klasik rekayasa lelang,” ujar Asep.

Pada 4 November 2020, tiga pemenang pengadaan diumumkan:
- PT Bringin Inti Teknologi
- PT Pasifik Cipta Solusi
- PT Prima Vista Solusi
Dalam pelaksanaannya, PT BRI IT dan PT PCS justru mensubkontrakkan seluruh pekerjaan ke pihak ketiga tanpa izin bank pelat merah.
Timbal Balik Gratifikasi: Sepeda Mewah, Kuda, dan Puluhan Miliar
KPK mencatat adanya pemberian gratifikasi dari vendor kepada pejabat dan pihak terkait. Berikut rinciannya:
- Catur Budi Harto (eks Wadirut): menerima sepeda mewah dan dua ekor kuda senilai Rp525 juta dari Elvizar (PT PCS)
- Dedi Sunardi (pejabat pengadaan): menerima sepeda Cannondale senilai Rp60 juta
- Rudy Suprayudi Kartadidjaja (PT BRI IT): menerima total Rp19,72 miliar dari Verifone Indonesia selama 2020–2024
“Kami temukan bahwa spesifikasi teknis disesuaikan dengan kemampuan vendor tertentu. Ini jelas persekongkolan,” tambah Asep.
Lima Tersangka Resmi Ditetapkan
Berikut lima tersangka resmi dalam kasus ini:
- Indra Utoyo – Dirut Allo Bank, eks Direktur TI bank pelat merah
- Catur Budi Harto – Eks Wakil Direktur Utama bank pelat merah
- Dedi Sunardi – Eks pejabat pengadaan
- Elvizar – Dirut PT Pasifik Cipta Solusi
- Rudy Suprayudi Kartadidjaja – Dirut PT Bringin Inti Teknologi
Kelimanya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, belum ada yang ditahan. Proses penyidikan masih berlangsung.
Skema Kerugian Negara dan Subkontrak Ilegal

KPK menyebut total kerugian negara dalam proyek ini dihitung dengan metode real cost, yaitu selisih antara biaya aktual dan harga ideal yang seharusnya dibayarkan langsung ke prinsipal perangkat.
Rinciannya:
- Kerugian dari pengadaan EDC beli putus (BRILink): Rp241,06 miliar
- Kerugian dari pengadaan EDC FMS (sewa): Rp503,47 miliar
- Total kerugian negara: Rp744,54 miliar
Praktik subkontrak ilegal juga memperparah kerugian negara. PT BRI IT dan PT PCS mensubkontrakkan seluruh pekerjaan ke perusahaan lain, tanpa perjanjian atau izin resmi dari bank pelat merah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.